Claim Missing Document
Check
Articles

PELAKSANAAN KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN NOMOR M.01.PL.01.01 TAHUN 2003 TENTANG POLA BANGUNAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PEMASYARAKATAN PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIB NARKOTIKA RUMBAI DI PROVINSI RIAU Saputra, Ega; Triana, Yeni; Afrita, Indra
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol 11, No 9 (2024): NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jips.v11i9.2024.3642-3651

Abstract

Keamanan di Lembaga Pemasyarakatan bukan hanya mengenai pengawasan terhadap narapidana, tetapi juga mencakup keamanan struktural bangunan, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PL.01.01 Tahun 2003 tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan memberikan pedoman mengenai standar dan spesifikasi teknis bangunan untuk Lapas. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa desain dan konstruksi bangunan mampu mendukung fungsi pemasyarakatan dengan optimal, termasuk aspek keamanan. Namun, dalam praktiknya, implementasi dari kebijakan ini masih menghadapi berbagai tantangan. Infrastruktur yang memadai dan dirancang dengan baik dapat mendukung upaya petugas dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Misalnya, struktur bangunan yang kokoh, penggunaan teknologi keamanan yang canggih, serta tata letak ruang yang strategis dapat mencegah terjadinya kekerasan dan gangguan keamanan. Adapun dengan kondisi lingkungan dan karakteristik narapidana yang spesifik, memerlukan strategi keamanan yang terintegrasi dalam struktur bangunan untuk mencegah terjadinya gangguan keamanan seperti pelarian narapidana, perkelahian antar narapidana, serta penyelundupan barang terlarang. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi sejauh mana struktur bangunan yang ada telah memenuhi standar yang ditetapkan dan bagaimana strategi keamanan dapat dioptimalkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Narkotika Rumbai yang berada di Provinsi Riau
CRIMINAL RESPONSIBILITY OF BUSINESS ENTITY LEADERS FOR DEDUCTIONS OF PARTICIPANTS OF EMPLOYMENT SOCIAL SECURITY ORGANIZING AGENCY IN PEKANBARU CITY Silaen, Gabriel Francius; Afrita, Indra; Harahap, Irawan
EKSEKUSI Vol 6, No 2 (2024): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v6i2.32891

Abstract

ABSTRACTArticle 55 of Law Number 24 of 2011 concerning the Social Security Administering Body regulates criminal sanctions in imprisonment and fines for business entities that do not pay and deposit their workers' BPJS employment membership contributions to the local BPJS employment. The purpose of the study is to analyze criminal liability; and to examine obstacles and efforts to overcome them. The research method is sociological legal research, legislative approach, and cases; the research location is the Pekanbaru BPJS Employment Branch Office; population and samples from relevant sources; data sources are primary, secondary, and tertiary; data collection techniques are observation, structured interviews, and document/literature studies; data analysis is qualitative with conclusions: inductive. The study results are that Article 55 of Law Number 24 of 2011 concerning BPJS has not been fully implemented, because of the 25 business entities in Pekanbaru City that have not paid and deposited membership contributions, only 2 business entities have been subject to criminal sanctions. The implementation of criminal sanctions against the leaders of the business entity has encountered obstacles. The obstacles and efforts to overcome the obstacles are legal factors/legislation, namely: Legal factors/legislation, namely the lack of regulations governing expert witnesses so that evidence is difficult, the police's efforts to allocate a budget to present expert witnesses; Criminal law enforcement procedures in regulations must go through long and multi-sector stages, efforts to improve coordination and cooperation between agencies. Law enforcement/government factors, namely the lack of coordination and cooperation between agencies for settlement through litigation, these agencies by improving coordination and cooperation to take the litigation route; police investigators' knowledge is still limited, investigators are taking Vocational Education; ultimatum remidium is prioritized by the police, efforts if it has been 2 times then the police must apply criminal penalties; The commitment to law enforcement that has not been fully implemented by the Riau Regional Police, efforts to enforce the law according to the law; Lack of socialization so that companies are not aware of the existence of criminal sanctions, efforts to increase the intensity of the approach in terms of coaching and supervision. Community factors, namely differences in worker positions make workers afraid to report their superiors, efforts are made so that workers have the courage to report; Low worker awareness to protect themselves from the risk of work accidents, efforts are made to organize education and training; uncooperative business entities and workers have complicated the handling process at the Riau Province Manpower and Transmigration Service, efforts are made to provide guidance by the agency to business entities. Keywords: Criminal Liability, BPJS Contributions, Pekanbaru            ABSTRAKPasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengatur sanksi pidana penjara dan denda bagi badan usaha yang tidak membayar dan menyetorkan iuran kepesertaan BPJS kerenagakerjaan pekerjanya kepada BPJS kerenagakerjaan setempat. Tujuan penelitian ialah Untuk menganalisispertanggungjawaban pidananya; Untuk menganalisis hambatan dan upaya mengatasinya. Metode penelitiaan yaitu penelitian hukum sosiologis, pendekatan perundang–undangan dan kasus; lokasi penelitian yaitu Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Pekanbaru; populasi dan sampel dari narasumber–narasumber relevan; sumber data ialah primer, sekunder dan tersier; teknik pengumpulan data ialah observasi, wawancara terstruktur dan studi dokumen/kepustakaan; analisis datanya kualitatif dengan kesimpulan: induktif.  Hasil penelitian yaitu belum terlaksana sepenuhnya dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS , dikarenakan dari 25 badan usaha di Kota Pekanbaru yang belum membayar dan menyetor iuran kepesertaan  baru 2 badan usaha yang diterapkan sanksi pidananya. Penerapan sanksi pidana terhadap pimpinan badan usaha tersbeut mengalami hambatan. Hambatan dan upaya mengatasi hambatannya adalah Faktor hukum/peraturan perundang-undangan, yaitu: Faktor Hukum/peraturan perundang-undangan yaitu masih kurang regulasi yang mengatur saksi ahli sehingga sulitnya pembuktian, upayanya pihak Kepolisian mengalokasikan anggaran guna menghadirkan saksi ahli; Prosedur penegakan hukum pidana dalam regulasi harus melalui tahapan panjang dan multi sektor, upayanya meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar instansi. Faktor aparat penegak hukum/pemerintah yaitu Kurangnya koordinasi dan kerjasama  antar instansi untuk penyelesaian secara litigasi, para instansi tersebut dengan meningkatkan  koordinasi dan kerjasama untuk menempuh jalur litigasi; pengetahuan penyidik kepolisian masih terbatas, penyidiknya mengikuti Pendidikan Kejuruan; ultimum remidium dikedepankan kepolisian, upayanya jika sudah 2 kali maka pihak kepolisian harus menerapkan pemidanaan; Komitmen penegakan hukum yang belum sepenuhnya oleh Kepolisian Daerah Riau, upayanya melaksanakan penegakan hukum sesuai undang-undang; Kurangnya sosialiasai sehingga perusahaan tidak mengetahui adanya sanksi pidana, upayanya meningkatkan intensitas pendekatan dalam hal pembinaan dan pengawasan. Faktor masyarakat yaitu  perbedaan posisi pekerja membuat pekerja takut melaporkan pimpinannya, upayanya Agar pekerja mempunyai keberanian melaporkan; Rendahnya kesadaran pekerja untuk memproteksi diri dari resiko kecelakaan kerja, upayanya menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan; badan usaha dan pekerjanya yang tidak kooperatif telah mempersulit proses penangannnya di Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Riau, upayanya dilakukan pembinaan oleh Dinas instansi tersebut terhadap badan usaha.Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Iuran BPJS, Pekanbaru
PENERAPAN REHABILITASI TERHADAP PECANDU NARKOTIKA OLEH PENYIDIK DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESOR INDRAGIRI HILIR Alexander Simamora Debata Raja; Indra Afrita; Yelia Nathassa Winstar
YUSTISI Vol 12 No 1 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i1.19068

Abstract

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika terus dilakukan oleh aparat penegak hukum berpedoman pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun dalam kenyataan justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat peredaran dan penyalahgunaan narkotika terutama pelaku yang berstatus sebagai pengguna di wilayah hukum Polres Inhil. Faktor penjatuhan sanksi pidana tidak memberikan efek jera terhadap para pelakunya. Sehingga dicari alternatif lain yang bersifat non penal yaitu melalui rehabilitasi bagi para penyalahguna narkotika. Penelitian ini fokus terhadap dua pokok permasalahan, yaitu : Bagaimana Bentuk Pencemaran Nama Baik Terkait Dengan Implementasi Hak Kebebasan Berpendapat Di Indonesia serta Bgaimana Perlindungan Terhadap Kebebasan Berpendapat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika Oleh Penyidik Kepolisian Resor Indragiri Hilir serta Hambatan Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika Oleh Penyidik Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Indragiri Hilir. Penelitian ini termasuk dalam golongan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang mempunyai objek kajian mengenai Penerapan Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika Oleh Penyidik Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Indragiri Hilir. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyidik memiliki kewenangan untuk menetapkan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika. Penerapan rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika oleh penyidik Polres Indragiri Hilir dilakukan dengan mengkualifikasi pelaku sebagai pengedar maupun pelaku sebagai penyalahguna Narkotika yang didasarkan pada mekanisme penyidikan sampai dengan pemberkasan perkara. Penyidik mengkonstruksikan kasus penyalahguna narkotika kedalam rehabilitasi yakni pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dari banyaknya barang bukti, dilakukan asesmen oleh tim TAT yang dibentuk BNN. Hambatan dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika oleh penyidik kepolisian di wilayah hukum Kepolisian Resor Indragiri Hilir meliputi :Kurang Koperatifnya Pihak Keluarga; Keterbatasan Fasilitas; Kurangnya Koordinasi; Kondisi Kesehatan Korban. Kata kunci: Penerapan, Rehabilitasi, Penyidik, Kepolisian Resor Indragiri Hilir.
Penetapan Ketentuan Hak-Hak Pekerja Akibat Perselisihan Hubungan Industrial dalam Pemutusan Hubungan Kerja Mayren Hemfy; Indra Afrita; Yelia Natassa Winstar
urn:multiple://2988-7828multiple.v3i14
Publisher : Institute of Educational, Research, and Community Service

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Campur tangan pemerintah dalam hukum perburuhan atau ketenagakerjaan dimaksudkan untuk menciptakan hubungan perburuhan atau ketenagakerjaan yang adil. Apabila hubungan antara pekerja dan pengusaha diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan kerja akan sangat sulit tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah. Apabila terjadi perselisihan dalam hubungan industrial, sebaiknya diupayakan penyelesaiannya melalui musyawarah bipartit untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada Pasal 156 ayat 1 menyebutkan: dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa kasus PHK yang dilakukan oleh perusahaan tidak membayarkan hak-hak pekerja yang telah diputuskan melalui pengadilan hubungan industrial sehingga hal ini jelas merugikan pekerja bahkan keluarganya, hal inilah yang menjadi permasalahan dalam penelitian yang berjudul “Penentuan Ketentuan Hak-Hak Pekerja Akibat Perselisihan Hubungan Industrial Dalam Pemutusan Hubungan Kerja”. Jenis penelitian ini adalah hukum normatif yang bersifat deskripsi analitis dimana hak-hak pekerja akibat PHK menjadi kewajiban perusahaan, bahkan jika tidak dilaksanakan menimbulkan tanggung jawab bagi perusahaan yang memuat sanksi baik secara perdata maupun pidana.
TANGGUNG JAWAB HUKUM TENAGA MEDIS TERHADAP STANDAR KOMPETENSI ATAS TINDAKAN MEDIS Mahendra, Mahendra; Afrita, Indra; Triana, Yeni
Jurnal Kesehatan Tambusai Vol. 6 No. 1 (2025): MARET 2025
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jkt.v6i1.41831

Abstract

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat penting. Untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, orang yang hidup bersama orang lain membutuhkan apa yang disebut nilai agar tidak berkonflik. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis tanggung jawab hukum yang sesuai standar kompetensi tenaga medis dalam pelaksanaan tindakan medis. Untuk menganalisis akibat hukum tenaga medis terhadap standar kompetensi dalam pelaksanaan tindakan medis.Tanggung Jawab Hukum Standar Kompetensi Tenaga Medis Dalam Pelaksanaan Tindakan Medis bahwa Setiap Tenaga Medis (Dokter dan Dokter Gigi) dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan berkewajiban untuk mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijazah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten. Tenaga Medis (dokter dan dokter gigi) tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Akibat Hukum Tenaga Medis Terhadap Standar Kompetensi Dalam melakukan Tindakan Medis terhadap pasien bahwa berdasarkan kasus yang penulis sajikan bahwa dokter dalam melakukan Tindakan Medis terhadap pasien berupa operasi pembedahan telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum, yang disebut dengan Malpraktik medis sehingga terhadap dokter yang melakukan tindakan operasi pembedahan maka dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum, pertanggungjawaban secara administrasi dan pertanggungjawaban secara etika atau moral.
KEWENANGAN DALAM MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS KEDOKTERAN GIGI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN Setianari, Ira; Yetti, Yetti; Afrita, Indra
Jurnal Kesehatan Tambusai Vol. 6 No. 1 (2025): MARET 2025
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jkt.v6i1.41832

Abstract

Kesehatan menjadi salah satu kebutuhan utama manusia di samping pangan, pemukiman, dan pendidikan karena hanya dalam keadaan sehat, manusia hidup, tumbuh dan berkarya dengan lebih baik. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kewenangan dalam melakukan tindakan medis kedokteran gigi berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Untuk menganalisi tanggung jawab hukum terhadap tenaga kesehatan dan non kesehatan dalam melakukan tindakan medis kedokteran gigi. Kewenangan Dalam Melakukan Tindakan Medis Kedokteran Gigi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 bahwa Tenaga Kesehatan bertanggung jawab atas kesalahan ataupun kelalaian dalam melaksanakan tindakan medis kedokteran gigi. Namun apabila hal itu dilakukan melalui pelimpahan wewenang maka tidaklah dapat sepenuhnya kelalaian Tenaga Kesehatan menjadi tanggung jawabnya itu sendiri, sebaiknya dapat diteliti terlebih dahulu mengenai bagaimana terjadinya kelalaian tersebut. Tanggung Jawab Hukum Penyedia Layanan Jasa Kesehatan Gigi Dalam Melakukan Tindakan Medis Kedokteran Gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien maka sejak itu telah lahir suatu akibat hukum dari pemberian pelayanan kesehatan tersebut. Dimana Tenaga Kesehatan selaku subyek hukum yang telah memberikan pelayanan Medik kepada para pasien, memiliki tanggungjawab hukum berdasarkan pelimpahan kewenangan medik yang telah diberikan sebelumnya oleh Dokter yang memberikan pelimpahan wewenang tersebut, sehingga baik Dokter dan Tenaga Kesehatan memiliki akibat hukum yang sama dalam melaksanakan tindakan medis kedokteran gigi kepada pasien.
AKIBAT HUKUM TERHADAP HASIL PEMERIKSAAN VISUM ET REPERTUM PSIKIATRIKUM OLEH DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN JIWA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA Sari, Nining Gilang; Afrita, Indra; Triana, Yeni
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 13, No 1 (2025): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v13i1.17429

Abstract

Penelitian ini membahas peran visum et repertum psikiatrikum yang disusun oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dalam menentukan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana. Visum ini berfungsi untuk menilai kondisi kejiwaan pelaku saat melakukan tindak pidana, guna menentukan apakah pelaku dapat dimintai tanggung jawab pidana atau memerlukan rehabilitasi kejiwaan. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan menganalisis peraturan hukum pidana, doktrin hukum, serta putusan pengadilan yang menggunakan visum psikiatrikum sebagai alat bukti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa visum psikiatrikum memiliki pengaruh signifikan dalam proses peradilan, khususnya sebagai dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan kelayakan pelaku untuk bertanggung jawab secara hukum. Meski demikian, tantangan tetap ada, seperti subjektivitas laporan, keterbatasan pemahaman hakim terhadap aspek medis, serta minimnya jumlah dokter spesialis jiwa. Penelitian ini merekomendasikan pelatihan, standarisasi laporan, dan kolaborasi lebih baik antara ahli medis dan aparat penegak hukum untuk memastikan keadilan yang obyektif dan menghormati hak asasi manusia.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL ANAK PEREMPUAN PENYANDANG DISABILITAS WILAYAH HUKUM POLRESTA BARELANG Aprianti, Dwi Putri; Triana, Yeni; Afrita, Indra
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 13, No 1 (2025): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v13i1.17601

Abstract

Kekerasan seksual terhadap anak perempuan penyandang disabilitas merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang memerlukan perhatian serius, baik dari segi perlindungan hukum maupun penegakan hukum. Anak penyandang disabilitas sering kali menjadi kelompok rentan karena keterbatasan fisik maupun mental yang dimilikinya, sehingga mudah menjadi sasaran tindakan kekerasan seksual. Selain itu, hambatan sosial seperti stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas semakin memperburuk kondisi mereka, terutama dalam upaya mencari keadilan. Di wilayah hukum Polresta Barelang, fenomena ini mencerminkan tantangan yang kompleks dalam sistem penegakan hukum, mulai dari minimnya personel kepolisian, kurangnya sarana dan prasarana, hingga rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak perempuan penyandang disabilitas di wilayah hukum Polresta Barelang, dengan mengacu pada kerangka hukum yang berlaku di Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum sosiologis, yang tidak hanya berfokus pada peraturan perundang-undangan, tetapi juga mengeksplorasi penerapan hukum dalam praktik, termasuk bagaimana faktor-faktor sosial memengaruhi efektivitas perlindungan hukum bagi korban.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN DI WILAYAH HUKUM POLRES DUMAI R., Fransiskus Putra P.; Triana, Yeni; Afrita, Indra
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 2 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i2.1445

Abstract

Banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil yang kini diadili di pengadilan cukup mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat umumnya menilai bahwa sangatlah tidak adil jika perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya. Jika kita bandingkan dengan para pelaku tindak pidana berat misalnya koruptor, tentu hal ini menimbulkan reaksi yang membuat geram masyarakat. Hakim dalam mengadili suatu perkara sering dihadapkan pada suatu ketentuan bahwa kasus tersebut belum diatur dalam suatu peraturan, yang menyebabkan terhambatnya upaya mewujudkan penegakan hukum. Hal ini dikarenakan peraturan terdahulu tidak lengkap dan sudah ketinggalan dengan dinamika perubahan zaman. Mau tidak man Hakim harus mampu mengatasi problem tersebut dengan kewajiban mencari, menggali fakta, serta menemukan hukum sesuai nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ringan Di Wilayah Hukum Polres Dumai adalah belum berjalan sebagaimana mestinya, karena masih adanya kasus tindak pidana pencurian ringan yang masih menggunakan KUHP. Meskipun KUHP memberikan dasar hukum yang jelas, pendekatan ini sering kali kurang memperhatikan konteks kasus tertentu, seperti keadaan ekonomi pelaku atau nilai barang yang dicuri, yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam memberikan sanksi yang lebih proporsional. Penanganan kasus pencurian ringan sering kali tidak konsisten. Ada pelaku yang diproses secara hukum penuh, sementara pelaku lain mendapatkan keringanan atau penyelesaian di luar pengadilan. Hambatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ringan Di Wilayah Hukum Polres Dumai adalah keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas penunjang yang dimiliki aparat penegak hukum, kurangnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat karena banyak masyarakat yang enggan melaporkan tindak pidana pencurian ringan dengan alasan barang yang dicuri tidak bernilai tinggi atau mereka takut menghadapi proses hukum yang dianggap rumit dan memakan waktu, dan proses hukum yang dirasa tidak adil atau tidak memberikan efek jera karena hukuman ringan, atau bahkan ada kesempatan untuk dibebaskan atau dihakimi dengan cara yang lebih ringan karena pelanggaran yang dilakukan dianggap sebagai kejahatan kecil. Upaya Mengatasi Hambatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ringan Di Wilayah Hukum Polres Dumai adalah meningkatkan kapasitas dan profesionalisme aparat penegak hukum, meningkatkan kesadaran hukum di kalangan masyarakat, mempercepat proses administrasi dan meningkatkan koordinasi antar lembaga, dan menegakkan hukuman yang tegas dan adil sesuai dengan peraturan yang berlaku.
IMPLEMENTASI PENYITAAN TERHADAP ASET PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI WILAYAH HUKUM POLRES INDRAGIRI HILIR Salman Alfarisi; Indra Afrita; Irawan Harahap
JOURNAL EQUITABLE Vol 10 No 1 (2025)
Publisher : LPPM, Universitas Muhammadiyah Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37859/jeq.v10i1.8487

Abstract

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan danPemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan peraturan terbaru. undang-undang ini ditemukan penggunaan pendekatan-pendekatan danasas-asas dalam hukum pidana yang penerapan kurang sesuai . Selain ketidaksamaan antara pemberian wewenang institusi dalam penanganan tindak pidana pencucianuang.Permasalahan yang diangkat Bagaimana Implementasi penyitaan terhadap seluruh aset pelaku tindak pidana pencucian uang berdasarkan,Apa saja Hambatan yang dihadapi aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penyitaan aset Adapun Objek Penelitian Untuk Mengkaji dan mengetahui Bagaimana bentuk pengaturan Hukum terhadap Tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia. dan juga Untuk mengetahui bagaimana bentuk implementasi hukum terhadap tindak pidana pencucian uang tersebut.Berdasarkan peneletian ini Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan peraturan terbaru. undang-undang ini ditemukan penggunaan pendekatan-pendekatan danasas-asas dalam hukum pidana yang penerapan sesuai . pemberian wewenang institusi dalam penanganan tindak pidana pencucian uang.Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:Dalam mengoptimalisasi penyidikan TPPU perlu penambahan personil penyidik yang memiliki kualifikasi penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang di setiap lembaga/instansi.Bagi aparat penegak hukum, sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya penegakan hukum nya Kata kunci: Penyitaan Aset Pelaku, Tindak pidana pencucian uang, Penyidik.