Claim Missing Document
Check
Articles

The Life of Mask Puppet in Jombang: Its Functions and Continuity Yanuartuti, Setyo
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 2 (2014): Komunitas, September 2014
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v6i2.3302

Abstract

Wayang Topeng (Mask Puppet) in Jombang is a folk performance whose presence is needed by the society. Along with the development of the society, it experiences downturn. Currently, various attempts have been made by artists in Jombang to preserve the performance. The study aims to investigate the function and continuity Wayang Topeng functions in today’s society. Observation, interviews and literature studies were used to collect the data. The interactive analysis was used as the data analysis model. The result of the study shows that Wayang Topeng in Jombang still has manifest functions such as a vow ritual, a giver of inner experience, a breadwinner, and an entertainment; and latent function which is to form social solidarity. The life of Wayang Topeng after being raised by Purwa has received good response from the people and gained popularity. However, because the regeneration process is not well managed, the existence of this art performance is at the tip of torpor and deterioration. The revival of Wayang Topeng in Jombang is realized soon after a primary school teacher has tried to revitalize it.Wayang Topeng di Jombang merupakan pertunjukan rakyat yang kehadirannya dibutuhkan oleh masyarakat.Seiring dengan perkembangan masyarakat wayang topeng ini mengalami kegoncangan sehingga hilang. Berbagai usaha telah dilakukan oleh seniman-seniman di Jombang hingga saat ini telah muncul kembali. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fungsi wayang topeng di masyarakat saat ini dan mengetahui kontinuitas kehidupannya. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan studi pustaka, dan analisis interaktif sebagai model analisis datanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wayang topeng di Jombang masih memiliki fungsi manifes yaitu fungsi ritual nadzar, sebagai pemberi pengalaman batin, sebagai pencari nafkah dan sebagai hiburan; serta fungsi laten yaitu pembentuk solidaritas sosial. Kehidupan wayang topeng setelah dimunculkan oleh Purwa mendapatkan tanggapan yang baik oleh masyarakat sehingga cukup eksis, namun karena proses regenerasi tidak dilakukan menyebabkan kesenian ini mati suri dan kemerosotan.Kebangkitan kembali telah dialami oleh wayang topeng di Jombang setelah ada seseorang guru SD berusaha untuk melakukan revitalisasi.
Building Creative Art Product in Jombang Regency by Conserving Mask Puppet Yanuartuti, Setyo
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 16, No 1 (2016): (Nationally Accredited, June 2016)
Publisher : Department of Drama, Dance, and Musik (Sendratasik), Semarang State University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v16i1.6148

Abstract

Building creative industry is one the effort chose to keep up with the ongoing of era development. Traditional art is one of the resource to produce creative art products. Gate Duwur Mask Puppet is a mask performance in Jombang Regency East Java that contains local wisdom. The local wisdom was one of the creativity sources to develop creative art products in Jombang Regency because maintaining Jati Duwur Mask Puppet performance was hard in the middle of the fast society development. The transformation of the source culture (mask puppet) to become the current target culture is one of the efforts made to build creative art. The research on mask dance conservation on mask puppet performance in Jombang was needed. The research method used was an art development through conservation. There were three products of mask dance created as a result of this research. The dances were Gladhen dancers – a couple dance, Mbanmban mask dance – a theatrical group dance, Maduretno-citralanggenan dance – a dance fragment. These mask dance products were a creative realization of a mask performance originated from mask puppet. The community and mask, puppet performer agreed to the development of mask dance to become a more creative art product that could be enjoyed by the young generation.
The Life of Mask Puppet in Jombang: Its Functions and Continuity Yanuartuti, Setyo
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture Vol 6, No 2 (2014): Komunitas, September 2014
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v6i2.3302

Abstract

Wayang Topeng (Mask Puppet) in Jombang is a folk performance whose presence is needed by the society. Along with the development of the society, it experiences downturn. Currently, various attempts have been made by artists in Jombang to preserve the performance. The study aims to investigate the function and continuity Wayang Topeng functions in today’s society. Observation, interviews and literature studies were used to collect the data. The interactive analysis was used as the data analysis model. The result of the study shows that Wayang Topeng in Jombang still has manifest functions such as a vow ritual, a giver of inner experience, a breadwinner, and an entertainment; and latent function which is to form social solidarity. The life of Wayang Topeng after being raised by Purwa has received good response from the people and gained popularity. However, because the regeneration process is not well managed, the existence of this art performance is at the tip of torpor and deterioration. The revival of Wayang Topeng in Jombang is realized soon after a primary school teacher has tried to revitalize it.Wayang Topeng di Jombang merupakan pertunjukan rakyat yang kehadirannya dibutuhkan oleh masyarakat.Seiring dengan perkembangan masyarakat wayang topeng ini mengalami kegoncangan sehingga hilang. Berbagai usaha telah dilakukan oleh seniman-seniman di Jombang hingga saat ini telah muncul kembali. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fungsi wayang topeng di masyarakat saat ini dan mengetahui kontinuitas kehidupannya. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan studi pustaka, dan analisis interaktif sebagai model analisis datanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wayang topeng di Jombang masih memiliki fungsi manifes yaitu fungsi ritual nadzar, sebagai pemberi pengalaman batin, sebagai pencari nafkah dan sebagai hiburan; serta fungsi laten yaitu pembentuk solidaritas sosial. Kehidupan wayang topeng setelah dimunculkan oleh Purwa mendapatkan tanggapan yang baik oleh masyarakat sehingga cukup eksis, namun karena proses regenerasi tidak dilakukan menyebabkan kesenian ini mati suri dan kemerosotan.Kebangkitan kembali telah dialami oleh wayang topeng di Jombang setelah ada seseorang guru SD berusaha untuk melakukan revitalisasi.
VISUALISASI ADEGAN KALONGKING DALAM PERTUNJUKAN SANDUR TUBAN PADA KARYA TARI “KERTA PANCER” PRATIWI, YOHANA; YANUARTUTI, SETYO
Solah Vol 8, No 1 (2018)
Publisher : Solah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sandur merupakan kesenian tradisional yang berangkat dari sebuah seni teater tradisional dan tari. Pertunjukkan Sandur yang bersifat sporadif/ musiman sehingga kesenian ini dapat dikategorikan kesenian yang langka karena sudah jarang untuk dijumpai, khususnya Sandur di Kabupaten Tuban. Pada zaman yang sudah semakin canggih dan maju seperti sekarang ini tak luput kesenian daerah sebagai sarana hiburan sudah mulai mengalami penurunan peminat untuk menikmatinya. Namun disamping itu pertunjukkan Sandur masih memiliki hati tersendiri bagi para penikmatnya, sebab dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa Sandur memiliki sifat magis dan sakral. Adapun pertunjukkan Sandur digelar di tengah-tengah masyarakat untuk upacara ritual sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah. Dalam pertunjukkan Sandur terdapat adegan-adegan yang memiliki simbol-simbol tersendiri. Seperti adegan Kalongking yang terdapat pada akhir pertunjukan yang merupakan titik klimaks. Pada adegan inilah yang sangat menarik karena terdapat adegan akrobatik yang bersifat magis. Berdasarkan hasil penciptaan dalam karya ini adalah karya Semi Kontemporer karena pertunjukkan ini berasal dari desa sehingga perpaduan antara tari tradisi dan kontemporer perlu dibangun. Ide kreatif dari Sandur menjadikan rangsang awal terciptanya sebuah karya tari ?Kerta Pancer? yang memvisualisasikan dengan gerak tentang makna dibalik pertunjukan Kalongking yakni merupakan adegan puncak dari pertunjukan Sandur. Kata ?Kerta? yang diartikan dalam bahasa Jawa Kawi sebagai menuju dan ?Pancer? yang berarti pusat. Makna dari kedua kalimat tersebut yakni manusia sebagai pusat dan semua tujuan yang akan dicapai selalu mengingat kepada Yang Maha Esa. Tujuan koreografer membuat karya tari yang disajikan dalam panggung prosenium agar semua kalangan bisa menikmati sajian pertunjukan tari yang dikemas secara berbedaKata Kunci : Kesenian Tradisional, Sandur, Adegan Kalongking, Kerta Pancer
KARYA TARI ‘’MBUKLIMBUK’’ UNGKAPAN SOSOK LIMBUK DALAM PEWAYANGAN JAWA MANGGARRANI PRATIWI, GESTI; YANUARTUTI, SETYO
Solah Vol 8, No 1 (2018)
Publisher : Solah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tokoh Limbuk hanya dikenal dalam cerita pedalangan jawa. Ia merupakan gambaran seorang emban/abdi wanita di sebuah keputrian keraton kerajaan yang rajanya seorang satria. Karena itu Limbuk ada di setiap keputrian keraton kerajaan para satria manapun baik pada jaman Lokapala, Ramayana sampai Mahabarata. Seseorang selalu melihat bahwa wanita gemuk itu identik dengan di pandang sebelah mata . Pada karya ini fokus karya adalah menceritakan tentang sekumpulan tokoh limbuk yang sedang bersama bersenang-senang dan berdandan. Suatu saat ada yang mengejek sehingga tokoh limbuk itu marah dan membuktikan bahwa dia suka berdandan normal seperti wanita remaja pada umumnya. Kajian pustaka dan kajian teori yang digunakan dalam penyusunan karya diantaranya mengunakan teori bentuk Jaquelin Smith, dan teori koreografi dari Sal Murgianto. Metode penciptaan menggunakan pendekatan konstruksi yaitu metode yang ada pada Jaquelin Smith. Tipe tari ini adalah tipe dramatik karena merupakan tari kelompok dan memunculkan seorang tokoh pada suasana tertentu. Mode penyajian dalam karya tari ini adalah simbolik dengan tujuh orang penari.Gerak adalah suatu perubahan tempat kedudukan pada suatu benda dari titik keseimbangan awal. Sebuah benda dikatakan bergerak jika benda itu berpindah kedudukan terhadap benda lainnya baik perubahan kedudukan yang menjauhi maupun yang mendekati.Pada karya tari ini konsep gerak ini koreografer mengambil gerakan yang simbolis pada berbagai gerakan tokoh limbuk. Gerakannya menggambarkan tentang gerakan sehari-hari dan tingkah laku limbuk yang merupakan tokoh wayang bersifat lucu, berbadan gemuk, berwatak jujur,endel ,kemayu,dan setia serta berwawasan luas. Kata kunci : Limbuk, Gaya
KONSTRUKSI KESENIAN TAYUB DI KAMPUNG TANDHAK KABUPATEN MOJOKERTO MELALUI KOREOGRAFI LINGKUNGAN PADA KARYA TARI “LANGEN BEKSAN” HARDINA CANDRA WULAN, YULAI; YANUARTUTI, SETYO
Solah Vol 8, No 1 (2018)
Publisher : Solah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kabupaten Mojokerto memiliki kesenian yang bervariasi, misalnya Kesenian Tayuban dari Dusun Rembu Lor, Desa Japanan, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto. Kegiatan Tayuban dilaksanakan saat bersih Desa setiap tahunnya. Pagelaran Tayuban dimulai dengan Gendhing Giro, Tari Remo sebagai pembuka, setelah itu Tayuban/ Ngibing. Koreografer tertarik mengangkat kesenian Tayub karena generasi Tandhak sekarang kurang mempercayai Ritual Gembyangan. Gembyangan dilakukan setelah para Tandhak berlatih pada guru, apabila sudah mumpuni Tandhak tersebut melaksanakan Ritual Gembyangan, sehingga dapat menjalankan profesinya sebagai Tandhak. Ritual Gembyangan dilaksanakan di Punden belakang Balai Dusun Rembu Lor. Karya tari ini terdiri dari fokus isi gembyangan/ wisuda tandhak, kemudian fokus bentuk koreografi lingkungan, karena pagelaran karya dilakukan di Balai Dusun Rembu Lor dan Punden Nyai Pandan Sari yang berada di belakang Balai Dusun tersebut. Koreografer pada karya tari ini menggunakan metode pendekatan Konstruksi (rangsang awal, penentuan tipe tari, penentuan mode penyajian representasional atau simbolis, improvisasi, evaluasi improvisasi, seleksi dan penghalusan, motif). Kemudian teori yang digunakan pada karya ?langen beksan? yaitu Koreografi Lingkungan dan Komposisi prinsip-prinsip bentuk seni. Nilai-nilai yang didapat koreografer pada proses karya tari ini yaitu Nilai Sosial Budaya masyarakat setempat, kebersamaan, gotong royong, kerjasama, dsb. Wujud visualisasi karya tari ini, bentuk pertunjukan lingkungan yaitu melibatkan masyarakat sekitar untuk berpartisipasi pada pagelaran, misalnya arak-arakan menuju Punden, kemudian Ritual di Punden, selanjutnya ngibing dilakukan oleh penonton bersama para penari. Kebanyakan gendhing yang mengiringi pagelaran yaitu gendhing-gendhing tayuban, misalnya eling-eling saat arakan-arakan dan ritual, srampat, walang kekek. Busana karya ini, menggunakan konsep remo putri (kemben, jarit, rapek depan-belakang, pedang-pedangan kanan-kiri, sabuk, sampur, lalu menggunakan sanggul jawa), serta riasan cantik pada penari (pensil alis hitam, eyeshadow berwarna merah dibaur dengan warna hitam, blush on berwarna merah, shading coklat, kemudian lipstik merah gelap). Kata Kunci : Gembyangan, Tayuban, Koreografi Lingkungan
CHATTAM AMAT REDJO SEBAGAI PENGEMBANG SENI TARI DI KOTA MALANG (STUDI KASUS PEMADATAN TARI BESKALAN) NADYA ASMARA, GLADIS; YANUARTUTI, SETYO
Solah Vol 8, No 2 (2018)
Publisher : Solah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Chattam Amat Redjo merupakan salah satu seniman yang telah lama melakukan pengembangan seni tari di Kota Malang. Ada beberapa tari yang telah dikembangkan oleh Chattam Amat Redjo. Salah satu tari yang menonjol bahkan sekarang menjadi ikon Malang adalah tari Beskalan. Proses pengembangan tari Beskalan ini melalui metode pemadatan. Hal ini menarik untuk dikaji. Fokus penelitian ini yaitu mendeskripsikan riwayat hidup kehidupan dan kesenimanan Chattam Amat Redjo, mendeskripsikan konsep pengembangan yang dilakukan Chattam Amat Redjo dalam mengembangkan tari Malangan, mendeskripsikan tentang proses pemadatan dan bentuk pertunjukkan tari Beskalan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pengembang seni oleh Edy Sedyawati, teori kreativitas oleh Jakob Sumardjo, konsep latar belakang dari teori Studi Tokoh oleh Arief Furchan dan Agus Maimun, konsep pemadatan dari S.D Humardani yang ditulis oleh Sutopo lalu konsep seni tari yang dikemukakan oleh Sumandiyo Hadi. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan yaitu reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, dan validitas data menggunakan triangulasi sumber, metode, dan waktu. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Chattam Amat Redjo gemar terhadap seni karena pengaruh dari keadaan lingkungan sekitar (keluarga danlingkungan sekitar). Beliau memutuskan untuk menggeluti dan mengembangkan seni tari gaya Malangan. Dirinya beranggapan bahwa seni tari gaya Malangan harus tetap lestari dan semua penari di Malang harus memiliki teknik yang bagus saat menari tari gaya Malangan. Secara kualitatif pengembangan tari gaya Malangan Chattam Amat Redjo memiliki konsep pengembangan yang berpegang teguh pada teknik tari yang kuat. Teknik tari yang dimaksud oleh Chattam Amat Redjo adalah 5 teknik tari Malangan yaitu patrap, solah, greged, ulat, pandeleng. Salah satu tari yang dikembangkan secara kualitatif oleh Chattam Amat Redjo yaitu tari Beskalan dengan menggunakan metode pemadatan. Tari Beskalan mengalami pemadatan dengan menjadikan tari Beskalan lebih singkat, mengurangi gerakan-gerakan yang sama, serta mengubah tempo tarian menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Dalam penelitian ini peneliti juga membahas tentang bentuk pertunjukkan tari Beskalan setelah mengalami pemadatan yaitu dari segi gerak, tata rias dan busana, iringan musik, tempat pertunjukkan, properti, tata sinar/lighting. Secara kuantitatif Chattam Amat Redjo menyebarkan tari-tari yang telah dikembangkannya dengan membuka Sanggar Swastika, di rumahnya dan melatih ke berbagai sanggar, instansi, sekolah hingga ke luar negeri. Dalam bidang seni tari Chattam Amat Redjo juga banyak meraih prestasi dan penghargaan salah satunya Penghargaan dari Gubernur Jawa Timur atas pengabdiannya di bidang seni dan budaya. Tari Beskalan merupakan salah satu tari yang telah dikembangkan oleh Chattam Amat Redjo melalui proses pemadatan. Tari ini memiliki kuakitas yang baik terbukti dengan dijadikannya tari ikon Kota Malang. Penelitian ini membuktikan bahwa Chattam Amat Redjo telah melakukan pengembangan seni tari Malangan dengan banyak hal dalam meningkatkan kualitas seni tari salah satunya memadatkan tari Beskalan, sehingga Chattam Amat Redjo bisa dikatakan sebagai pengembang tari di Kota Malang. Kata kunci: Chattam Amat Redjo, pengembang, seni tari, pemadatan dan tari Beskalan
KREASI TARI CELENG PUTRI SEBAGAI PENINGKAT KUALITAS DALAM PERTUNJUKAN JARANAN MANGGOLO CAHYO MUDO DARMAWANTI, ANIS; YANUARTUTI, SETYO
Solah Vol 8, No 2 (2018)
Publisher : Solah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana asal-usul penari celeng putri dalam pertunjukan jaranan MCM, dan bagaimana kreasi tari celeng putri dalam pertunjukan jaranan MCM.Penelitian ini berlokasi di Paguyuban Jaranan MCM yang beralamat di Dusun Rembang Ngreco, Desa Rembang, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Objek penelitian ini yaitu penari celeng putri. Metode yang digunakan yaitu dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa MCM menampilkan penari celeng putri dengan tujuan untuk kiat bisnis, inovasi, serta kreasi pertunjukan agar tidak terkesan membosankan.Kreasi tari celeng putri memiliki pengaruh pada kualitas pertunjukan jaranan MCM. Kreasi tersebut menjadikan pertunjukan jaranan lebih menarik melalui komponen sajian tari celeng. Simpulan penelitian ini yaitu penari celeng putri memiliki peranan yang sangat kuat dalam pertunjukan Jaranan Manggolo Cahyo Mudo. Penari celeng putri memiliki kontribusi dan manfaat yang dapat membangun eksistensi dari sebuah paguyuban.Kata kunci: Peranan, Perempuan, Penari Celeng Putri, Kesenian Jaranan
KREATIFITAS GONG GUMBENG DALAM BERSIH DESA DI DESA WRINGINANOM KECAMATAN SAMBIT KABUPATEN PONOROGO HAPPY LUPITASARI, ARLINA; YANUARTUTI, SETYO
Solah Vol 8, No 2 (2018)
Publisher : Solah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kesenian Gong Gumbeng merupakan salah satu kesenian di Kabupaten Ponorogo, tepatnya di Desa Wringinanom Kecamatan Sambit. Kesenian ini diperkirakan ada sejak 1637 M atau sekitar tahun 1838. Sejak munculnya kesenian Gong Gumbeng dijadikan sebagai ritual bersih desa hingga sekarang ini. Masyarakat Desa Wringinanom meyakini kesenian Gong Gumbeng harus selalu dilaksanakan dalam upacara ritual bersih desa, untuk mengindari datangnya masa paceklik. Dengan demikian keberadaan kesenian Gong Gumbeng bagi masyarakat Desa Wringinanom masih sangat bermakna sampai sekarang. Hal ini merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji lebih dalam dan dilakukan penelitian lebih lanjut, mengingat hanya terdapat satu kelompok kesenian Gong Gumbeng dan satu-satunya kesenian yang berbeda dan unik dari kesenian-kesenian yang ada di Kabupaten Ponorogo. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk penyajian kesenian Gong Gumbeng dalam ritual bersih desa di Desa Wringinanom Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan mengamati secara langsung ke lapangan dengan melakukan wawancara kepada pelaku seni, lembaga, dan masyarakat sekitar.Kata Kunci: Kesenian Gong Gumbeng, Bentuk.
Revitalization of Jatidhuwur Jombang Mask Dance as An Effort To Reintroduce Local Cultural Values Yanuartuti, Setyo; Winarko, Joko
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 19, No 2 (2019): December 2019
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v19i2.20437

Abstract

Millennial era is an era where this generation is generally characterized by increasing the use and familiarity of communication, media and digital technology. This era will bring even further gaps in the attitude of this generation from the values of Indonesian life. The value of this nation’s life has long been stored under the arts and culture. In the midst of the downfall of the traditional art life, like the Jatid masked dance, we need the strategy for the young generation to value the local culture for filtering the exposure of foreign culture. This becomes the ground of current Jombang society which directing their art revitalization to the present cultural forms. That becomes the reason behind this study to be conducted. The purpose of this study is to realize the Jatidhuwur mask dance as a medium to introduce Jombang local cultural values to the current generation. The method used for revitalization is dance reconstruction. Reconstruction was carried out with the stages of excavation, setting the structure, developing elements of motion and accompaniment, and packaging, and introducing it to young people in Jombang. Data analysis uses an interactive model in the stages of data collection, data reduction, data presentation and conclusions. The results show that in the Jatidhuwur Mask dance performance there are local cultural values such as religious values, discipline values, life values, and the value of struggle. These local cultural values are revitalized and visualized through art elements such as themes (stories), plot, performance structure, and accompaniment in the touch of new cultivation. The dance is presented in the form of a single dance and a short dance drama (fragmentary), with a touch of technology.