Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search
Journal : Humanika : Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum

Peran keluarga dalam pendidikan: kontekstualisasi pemikiran Pestalozzi dan Imam al-Ghazali Anam, Ahmad Muzakkil; Rukiyati, Rukiyati
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum Vol. 24 No. 2 (2024): Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/hum.v24i2.75840

Abstract

Pendidikan adalah proses esensial dalam perkembangan karakter dan kemampuan manusia yang dimulai sejak lahir hingga tutup usia, dan keluarga menjadi lembaga pendidikan pertama dan utama. Penelitian ini mengkaji pemikiran dua tokoh pendidikan dengan latar belakang dan konteks yang berbeda, yaitu Johann Heinrich Pestalozzi dan Imam al-Ghazali. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam terkait dengan topik yang diteliti, kemudian mengidentifikasi celah penelitian, dan membangun dasar teori yang kuat. Pestalozzi adalah seorang ahli pendidikan yang berasal dari Swiss yang sangat menekankan pentingnya cinta, kasih sayang, dan keaktifan jiwa raga. Selain itu, ia juga percaya bahwa pendidikan sudah seharusnya diawali dari keluarga dengan peran utama orang tua, terutama ibu yang merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak. Sementara itu, Imam al-Ghazali yang juga dikenal sebagai ulama besar dalam Islam, memberikan penekanan pada pendidikan yang penuh kasih sayang, keteladanan yang konsisten, serta pemahaman mendalam yang terkait dengan tingkat pemahaman setiap anak. Imam Al-Ghazali juga berpendapat bahwa keluarga merupakan lingkungan yang sangat dominan dalam upaya pembentukan akhlak dan budi pekerti anak. Oleh karena itu, pendidikan keluarga harus diberikan semaksimal mungkin, karena akan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak dari kecil hingga dewasa kelak.Education is an essential process in the development of human character and abilities starting from birth until the end of age, and the family becomes the first and main educational institution. This research examines the thoughts of two educational figures with different backgrounds and contexts, namely Johann Heinrich Pestalozzi and Imam al-Ghazali. In this research, the method used is library research to gain a deep understanding related to the topic under study, then identifying research gaps, and building a strong theoretical basis. Pestalozzi was a Swiss educationist who emphasized the importance of love, affection, and physical activity. In addition, he also believed that education should start from the family with the main role of parents, especially mothers who are the first and main educators for children. Meanwhile, Imam al-Ghazali, who is also known as a great scholar in Islam, emphasizes loving education, consistent role modeling, and deep understanding related to the level of understanding of each child. Imam Al-Ghazali also argues that the family is a very dominant environment in efforts to shape the morals and character of children. Therefore, family education must be given as much as possible, because it will greatly influence the development of children from childhood to adulthood. 
PERCIKAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN HUMANIS RELIGIUS -, Rukiyati -
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum Vol. 13 No. 1 (2013): Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/hum.v13i1.3325

Abstract

Abstrak : Terminologi pendidikan humanis religius diperkenalkan akhir-akhir inisebagai konsep pendidikan yang menarik dibincangkan lebih lanjut, setidaknyakarena dipandang sesuai dengan dasar falsafah pendidikan di Indonesia: Pancasila.Walaupun demikian, secara konseptual belum banyak ahli yang membahasnya.Penjernihan konsep pendidikan humanis religius perlu dilakukan sebagai upayamerumuskan teori pendidikan yang khas Indonesia. Merujuk pada tujuan pendidikannasional, dapat diketahui bahwa pendidikan di Indonesia sedikit banyak dilandasioleh konsep pendidikan humanis religius. Pemaparan lebih lanjut merupakanpercikan pemikiran penulis dengan metode analisis-sintesis mencoba menarikmakna yang terkandung di dalam konsep pendidikan humanis religius, dan landasanontologis yang mendasarinya. Di samping itu, juga dilakukan refleksi atas fenomenapendidikan yang terjadi di Yogyakarta dilihat dari perspektif pendidikan humanisreligius.Kata kunci: Refleksi Pemikiran, Pendidikan, Humanis-Religius.
LANDASAN DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA Rukiyati, Rukiyati
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum Vol. 12 No. 1 (2012): Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/hum.v12i1.3651

Abstract

Pendidikan multikultural adalah sebuah ide, pendekatan untuk perbaikan sekolah dan gerakan kesetaraan, keadilan sosial  dan demokrasi. Pendidikan multikultural menekankan komponen dan kelompok budaya yang beragam, tetapi dapat dibangun konsensus berupa penghargaan pada prinsip-prinsip utama, konsep-konsep dan tujuan. Tujuan utama pendidikan multikultural adalah untuk merestrukturisasi sekolah sehingga semua siswa memperoleh pengetahuan, sikap  dan keahlian yang dibutuhkan dalam memfungsikan bangsa dan dunia yang secara etnis dan ras berbeda. Kata kunci: pendidikan multikultural, sekolah.
Front Rukiyati, Rukiyati
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum Vol. 17 No. 1 (2017): Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/hum.v17i1.23118

Abstract

Halaman Judul, susunan redaksi, kata pengantar, daftar isi
PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH Rukiyati, Rukiyati
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum Vol. 17 No. 1 (2017): Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/hum.v17i1.23119

Abstract

Pendidikan moral di sekolah perlu dilaksanakan secara bersungguh-sungguh untukmembangun generasi bangsa yang berkualitas. Walaupun peran utama untuk mendidikmoral anak adalah di tangan orang tua mereka, guru di sekolah juga berperan besar untukmewujudkan moral peserta didik yang seharusnya. Keluarga, sekolah, dan masyarakatbersama-sama bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak muda agar bermoral baiksekaligus pintar secara intelektual sehingga terwujud generasi muda yang unggul. Itulahtujuan utama pendidikan sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles. Pendidikan moral disekolah harus dirancang komprehensif mencakup berbagai aspek, yaitu: pendidik, materi,metode, dan evaluasi sehingga hasilnya diharapkan akan optimal. Moral education in schools needs to be carried out seriously to build a qualitygeneration of the nation. Although the main role of educating children's morals is in thehands of their parents, teachers in schools also play a major role in realizing the moral ofthe students they should be. Families, schools, and communities are jointly responsible foreducating young people to be morally good and intellectually smart so that they excel as ahuman being. That is the main purpose of education as stated by Aristotle. Moraleducation in schools must be designed comprehensively covering various aspects, namely:educators, materials, methods, and evaluations so that the results are expected to beoptimal.
Tujuan pendidikan nasional dalam perspektif Pancasila Rukiyati, Rukiyati
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum Vol. 19 No. 1 (2019): Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/hum.v19i1.30160

Abstract

The educational objectives contained in Act Number 20 of 2003 concerning theNational Education System in Indonesia is to develop multidimensional and holistichuman nature. The relationship between the components of the goal as an integral wholeand there is a hierarchy of values in the achievement of goals. The natural aspects ofhumanity are seen as a potential that needs to be developed so that humans reach personalqualities as human beings who have noble character, both when dealing with the Creatorin terms of faith and piety (believe in one God) and when dealing with fellow creatures inworld life (humanity, unity, democracy, and social justice). The purpose of education isactually the values of Pancasila in another formulation because, in fact, the foundation ofIndonesia's national education philosophy is Pancasila.
Singularitas teknologi dalam perspektif filsafat pendidikan Wardani, Helda Kusuma; Rukiyati, Rukiyati; Prabowo, Mulyo
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum Vol. 22 No. 2 (2022): Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/hum.v22i2.47079

Abstract

Singularitas teknologi yang diprediksi akan terjadi tahun 2045, bersamaan dengan titik waktu generasi emas, merupakan peristiwa adanya teknologi supercerdas AGI yang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki, mengembangkan, dan menciptakan diri-sendiri. Kemampuan supercerdas yang melampui kecerdasan manusia, menyebabkan manusia akan kehilangan kemanusiaannya (terjadinya post-human atau dehumanisasi). Filsafat pendidikan yang merupakan pemikiran radikal terhadap upaya-upaya optimalisasi kualitas hidup dan kehidupan mempunyai tanggungjawab moral, maupun nilai dan etika untuk mengkaji peristiwa singularitas teknologi. Dengan menggunakan metode reviu literatur, diharapkan diperoleh gambaran lebih jelas tentang dampak peristiwa tersebut agar dapat diantisipasi sejak awal melalui pendidikan. Kesimpulan yang diperoleh dari kajian literatur diperoleh bahwa (1) titik waktu tahun 2045 terjadinya singularitas teknologi yang diprediksi oleh Ray Kurzweil merupakan keniscayaan yang harus diantisipasi terutama pada generasi emas Indonesia, (2) kemanfaatan AI baik yang supercerdas atau hipercerdas dalam pendidikan, sepanjang selalu terkontrol untuk tidak tergelincir dalam dehumanisasi patut tetap dijalankan sebagai media terancang atau media dimanfaatkan, dan (3) kerterlambatan dan keterhambatan untuk aktivitas antisipasi singularitas teknologi akan mengakibatkan kerugian yang mendunia bagi seluruh umat manusia.The technological singularity that is predicted to occur in 2045, along with the golden generation time point, is an event of the existence of AGI supercerdas technology that has the ability to improve, develop, and create itself. Supercerdas abilities that exceed human intelligence, causing humans to lose their humanity (post-human or dehumanization). The philosophy of education which is a radical thought towards efforts to optimize the quality of life and life has a moral responsibility to examine the events of technological singularities. By using the method of review literature, it is expected to get a clearer picture about the impact of the event so that it can be anticipated from the beginning through education. The conclusion obtained from the literature study obtained that (1) the time point in 2045 the occurrence of technological singularities predicted by Ray Kurzweil is an inevitability that must be anticipated especially in the future. (2) the expediency of AI, whether supercer smart or hypercerdas in education, as long as it is always controlled not to slip in dehumanization should still be carried out as a designed medium or media utilized, and (3) slowness and inhibition for anticipatory activities of technological singularity will result in worldwide losses for all mankind.
Hukuman yang diterima santri di pesantren Rukiyati, Rukiyati; Siswoyo, Dwi; Hendrowibowo, L; Saputri, Evi Rovikoh Indah
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum Vol. 24 No. 1 (2024): Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum
Publisher : Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/hum.v24i1.70669

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis jenis-jenis hukuman yang diterima  oleh santri di sebuah pesantren X di Sleman, Yogyakarta. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalah 20 santri putra dan putri serta tiga orang ustad. Metode pengumpulan data adalah wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus dan observasi. Metode analisis data menggunakan metode interaktif Miles, Huberman & Saldana dengan tahapan: kondensasi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menyimpulkan ada empat jenis hukuman, yaitu hukuman fisik, denda, dan hukuman berupa melakukan aktivitas, dan hukuman dikeluarkan dari pesantren. Hukuman fisik berupa peserta didik dicukur rambut, dipukul dengan rotan, dipukul dengan tasbih, berdiri di lapangan di siang hari, disiram air comberan, dan berdiri satu jam di depan asrama santri perempuan. Hukuman denda berupa membayar uang dua ribu rupiah, menyetorkan lima kantong semen, menyita telpon seluler yang dibawa dari rumah. Hukuman berupa kegiatan yaitu membaca Al-Quran selama 15 menit, membaca surat Yasin, membersihkan toilet, membersihkan kamar, mencuci piring teman sekamar selama satu minggu. Hukuman yang paling berat adalah dikeluarkan dari pesantren. Secara umum, semua hukuman dapat diterima/disetujui oleh peserta didik karena dianggap masih dalam batas wajar untuk mendidik mereka menjadi disiplin.This study aimed to analyze the types of punishments received by students at an Islamic boarding school X in Yogyakarta. This research method uses a qualitative approach. The research subjects were 20 male and female students and three religious teachers. Data collection methods are in-depth interviews, focus group discussions, and observation. The data analysis method uses the stages of data condensation, data presentation, and conclusion. The results of the study concluded that there were five types of punishment: 1) point accumulative punishment; 2) Corporal punishments included shaving their hair, beating them with rattan sticks, beating them with prayer beads, standing in the field during the day, being doused with sewage water, and standing for one hour in front of the female students' dormitory; 3)The fine is in the form of paying two thousand rupiahs, depositing five bags of cement, and confiscating the cell phone brought from home; 4) Punishment in the form of activities, namely reading the Koran for 15 minutes, reading Yasin's letter, cleaning the toilet, cleaning the room, and washing the roommates' dishes for one week; 5) The most severe punishment is expulsion from the pesantren. In general, all punishments can be accepted/approved by students because they are considered within reasonable limits to educate them to be disciplined.