Claim Missing Document
Check
Articles

Legalitas Pencatatan Perkawinan Melalui Penetapan Isbat Nikah Lubis, Akma Qamariah; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4605

Abstract

Itsbat of marriage is an endorsement of the assignment process, which has been held on the basis of Islamic jurisprudence, but not recorded at KUA. The goal of itsbat is to get a marriage license deed as evidence of legitimate marriage in accordance with the legislation in force in Indonesia, as provided for in article 2 paragraph (1) and (2) of law No. 1 of the year 1974 and article 7 paragraph (1), (2) and (3) Compilation Of Islamic Law. Itsbat matter of marriage (endorsement of marriage) may be filed in voluntair (the petition) and filed in kontentius (the suit) to the Court. Basic consideration of judges in giving the setting of itsbat marriage in a religious Court of which namely: 1) Legal standing (legal position) the applicant to litigate itsbat marriage in a religious court based on the provisions of article 7 paragraph (4) KHI, 2) Posita (facts and legal facts of the incident), 3) witnesses and evidence in the trial, as well as 4) the reasons for filing the itsbat marriage. This study aims to determine the legality of marriage registration through marriage isbat. This research uses the type of normative research. The results of the study indicate that the legitimacy of marriage registration through the determination of isbat. 
Konsep Kafa’ah Untuk Menentukan Calon Pasangan Dalam Membentuk Keharmonisan Rumah Tangga Wahyudi, Nano; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4714

Abstract

The achievement of the goal of marriage is not absolutely determined by the balance or comparability factor alone, but this can be the main support, and it is the religious and moral aspects that are more important and must be prioritized in creating a harmonious and better household guaranteeing the safety of the fostered household life.
Kedudukan Hukum Peminangan Dalam Perkawinan Perspektif Hukum Adat Dan Hukum Islam Khailid, Muhammad; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4651

Abstract

This research is motivated by the large number of prospective married couples who do not carry out the ta'aruf process in khitbah in accordance with Islamic teachings. In the practice of khitbah, there are still customary rules which make it difficult, resulting in the prevention of marriage. The purpose of this research is to dig up information on how the concept of Khitbah in the concept of Malay custom, its correlation and relationship with Islamic teachings. The method used in this research is field research by observing and interviewing, and studying books related to this discussion. The primary source is in the form of books by scholars' which are related to the concept of Khitbah. Ta'aruf and khitbah in Shari'a recommend prioritizing religious aspects over other factors. Because only religion will be able to perpetuate marriage. While wealth, lineage, position, beauty, good looks will fade and one day will disappear and avoid khalwat elements in it
Plaatsvervulling(Ahli Waris Pengganti) Disebabkan Murtad, Membunuh Serta Hilang (Mafqud) Menurut UU dan KHI & Analisis Dasar Putusan Pengadilan atau MA Ritonga, Ali Bata; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4652

Abstract

The position of the heir who has apostatized is a barrier for him to get the inheritance from the heir, this is because the distribution of inheritance must be given to heirs who are Muslim. The barrier to inheritance is killing. The majority of scholars agree that the heir who kills his muwarris is prevented from receiving an inheritance because his rights as an heir have fallen due to the murder. The killing of his prospective muwarris was an act that severed the ties of silaturrahmi between them as relatives. Kinship relationship is one of the causes of inheritance relations between muwarris and their heirs.
Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Beda Agama Perspektif KHI dan Hukum Islam Izhar, Izhar; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4606

Abstract

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat 1 dan 2 menyebutkan “ wasiat wajibah diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tuanya meninggal dunia tanpa wasiat, atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia tanpa wasiat”.[1]  Akan tetapi putusan dari Mahkamah No 16 K/AG/2010 dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada istri yang non muslim. MA memberikan bagian wasiat wajibah kepada istri non muslim tentunya berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 209. Begitu juga halnya kepada orang tua atau anak kandung beda agama yang  terhalang mendapat hak warisan.Sementara dalam Pasal 171 KHI, ketentuan umum tentang orang yang berhak mendapat warisan dengan ketentuan bagian tertentu, namun ada hal lain yang tidak disebutkan secara khusus oleh KHI, yaitu agama yang diyakini ahli waris, sebagiamana hal tersebut tersirat dari pasal 171 huruf (c) KHI yang mendefinisikan ahli waris, yaitu: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Berdasarkan ketentuan tersebut, berlainan agama akan terhalang haknya mendapat harta warisan layaknya ahli waris lainnya. Ketentuan ini merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menentukan 3 hal yang menjadi halangan seseorang menjadi ahli waris yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Islam sebagai rahmatan lil alamin maka hukum yang terdapat dalam Isalampun harus mewujudkan kerahmatan itu, terlebih bahwa asas dari hukum itu adalah, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.[1]Kompilasi Hukum Islam (KHI).Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat 1 dan 2 menyebutkan “ wasiat wajibah diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tuanya meninggal dunia tanpa wasiat, atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia tanpa wasiat”.[1]  Akan tetapi putusan dari Mahkamah No 16 K/AG/2010 dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada istri yang non muslim. MA memberikan bagian wasiat wajibah kepada istri non muslim tentunya berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 209. Begitu juga halnya kepada orang tua atau anak kandung beda agama yang  terhalang mendapat hak warisan.Sementara dalam Pasal 171 KHI, ketentuan umum tentang orang yang berhak mendapat warisan dengan ketentuan bagian tertentu, namun ada hal lain yang tidak disebutkan secara khusus oleh KHI, yaitu agama yang diyakini ahli waris, sebagiamana hal tersebut tersirat dari pasal 171 huruf (c) KHI yang mendefinisikan ahli waris, yaitu: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Berdasarkan ketentuan tersebut, berlainan agama akan terhalang haknya mendapat harta warisan layaknya ahli waris lainnya. Ketentuan ini merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menentukan 3 hal yang menjadi halangan seseorang menjadi ahli waris yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Islam sebagai rahmatan lil alamin maka hukum yang terdapat dalam Isalampun harus mewujudkan kerahmatan itu, terlebih bahwa asas dari hukum itu adalah, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.[1] Kompilasi Hukum Islam (KHI).Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat 1 dan 2 menyebutkan “ wasiat wajibah diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tuanya meninggal dunia tanpa wasiat, atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia tanpa wasiat”.[1]  Akan tetapi putusan dari Mahkamah No 16 K/AG/2010 dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada istri yang non muslim. MA memberikan bagian wasiat wajibah kepada istri non muslim tentunya berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 209. Begitu juga halnya kepada orang tua atau anak kandung beda agama yang  terhalang mendapat hak warisan.Sementara dalam Pasal 171 KHI, ketentuan umum tentang orang yang berhak mendapat warisan dengan ketentuan bagian tertentu, namun ada hal lain yang tidak disebutkan secara khusus oleh KHI, yaitu agama yang diyakini ahli waris, sebagiamana hal tersebut tersirat dari pasal 171 huruf (c) KHI yang mendefinisikan ahli waris, yaitu: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Berdasarkan ketentuan tersebut, berlainan agama akan terhalang haknya mendapat harta warisan layaknya ahli waris lainnya. Ketentuan ini merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menentukan 3 hal yang menjadi halangan seseorang menjadi ahli waris yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Islam sebagai rahmatan lil alamin maka hukum yang terdapat dalam Isalampun harus mewujudkan kerahmatan itu, terlebih bahwa asas dari hukum itu adalah, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.[1] Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pengaruh kelembapan udara terhadap efektivitas pelaksanaan rukyatul hilal awal bulan qamariyah Hayati, Zahra; Tanjung, Dhiauddin
Jurnal EDUCATIO: Jurnal Pendidikan Indonesia Vol 9, No 2 (2023): Jurnal EDUCATIO: Jurnal Pendidikan Indonesia
Publisher : Indonesian Institute for Counseling, Education and Therapy (IICET)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29210/1202323206

Abstract

OIF UMSU merupakan salah satu tempat yang dapat dilakukan pelaksanaan rukyatul hilal. Namun tempat tersebut sering gagal dalam pengamatan hilal, salah satu penyebabnya adalah kelembapan udara, dimana pada saat hendak melakukan rukyatul hilal ada berbentuk gumpalan awan. Karena itu penelitian ini akan mencari jawaban dari pengaruh kelembapan udara terhadap efektivitas pelaksanaan rukyatul hilal di OIF UMSU dan nilai kelembapan yang efektif untuk melaksanakan rukyatul hilal di OIF UMSU. Bentuk studi ini melibatkan penelitian lapangan, dan data yang diperoleh bersifat kualitatif. Penelitian ini menyatakan bahwa kelempaban udara tidak secara langsung mengubah rukyatul hilal, tetapi mempengaruhi pembentukan awan dan curah hujan. Selain itu, pelaksanaan rukyatul hilal di OIF UMSU dapat efektif jika kelembapan udara di bawah 65% dan tidak efektif jika kelembapan udara di atas 65%.
Martuppak Tradition in The Marriage of Mandailing Tribe in Pasaman District from The Perspective of Islamic Law Reski, M.; Hafsah, Hafsah; Tanjung, Dhiauddin
Law Development Journal Vol 6, No 1 (2024): March 2024
Publisher : Universitas Islam Sultan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30659/ldj.6.1.18-34

Abstract

This research is motivated by the Mandailing tribe in Pasaman Regency considers that the practice of the Martuppak tradition is a form of debt and credit that is carried out when they want to hold a marriage. Then in the practice of the Martuppak tradition there is an obligation for someone to pay back the money that has been given. This is the cause and effect of the Martuppak tradition practice system, there is a reciprocal relationship between the giver of tuppak money and the recipient of tuppak money. Martuppak is giving some money to someone or to the suhut and then must be returned based on the amount given with an additional amount of at most 10% and at least 1% (sincerely). Therefore, researchers are interested in researching the problem, as for the formulation of the problem in this study is first, how is the implementation of the Martuppak tradition at the Mandailing tribe community marriage in Pasaman Regency. Second, what are the views of religious leaders, traditional leaders and the people of Pasaman Regency about the Martuppak tradition, third, how is the legal analysis of the Martuppak tradition at the Mandailing tribe community marriage in Pasaman Regency in the perspective of Islamic law? The aims of this research is to find out how the implementation of the Martuppak tradition at the Mandailing tribe community marriage in Pasaman Regency. To find out how religious leaders, traditional leaders and the people of Pasaman Regency view the Martuppak tradition and to find out the legal analysis of the Martuppak tradition at the Mandailing tribe's marriage in Pasaman Regency in the perspective of Islamic law. The method used is field research using interview techniques, then the data is analyzed using qualitative descriptive analysis methods. From the results of the analysis that the author conducted on the data, it can be concluded that every debt and credit that contains benefits is usury, and everything that contains usury is forbidden. Therefore, the Martuppak tradition practiced by the Mandailing tribe in Pasaman Regency is included in debts and credits that contain benefits and the tradition is a fasid tradition.
Maqasid Syariah Perspective Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali Dayrobi, Mhd; Tanjung, Dhiauddin
AMK : Abdi Masyarakat UIKA Vol. 3 No. 3 (2024): SEPTEMBER
Publisher : Universitas Ibn Khaldun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/amk.v3i3.2218

Abstract

Maqasid sharia, if traced from its development, has existed since the time of Rasulullah SAW. Even though at that time the theme of maqasid syari'ah had not been clearly stated, at least maqasid syari'ah had provided color and contribution to Islamic legal legislation in accordance with the objectives of establishing Islamic law. This research aims to describe Imam Ghazali's thoughts regarding maqasid Sharia. This research is library research and is included in descriptive research and is a type of bibliographic research because it tries to collect data, describe and analyze Imam al Ghazali's thoughts regarding maqashid sharia. In this research, it is concluded that Imam al-Ghazali's Maqasid Syari'ah Thought can be traced from his books, especially in the book al-Mustasfa min Ilmi al-Usul. He classifies maslahah based on whether the syara' is accepted or not accepted into 3 (three) types, namely Maslahat al-mu'tabarah (benefits that are justified by the syara'), Maslahat mulgah (benefits that are rejected by the nashsyara'), and Maslahah murlahah (benefits that are not justified and not canceled by Sharia'). Al Ghazali also divided the levels of maqasid sharia into 3 (three), namely the levels of daruriyah (primary needs), al-hajjiyat (secondary needs) and tahsiniyat (tertiary needs). Of these three levels, only the emergency level can serve as a guide in determining Islamic law. Meanwhile, at the hajiyat and tahsiniyat levels, they cannot be used as guidelines in determining laws unless they are strengthened by evidence.
Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam Meminjam Barang pada Wilayah Publik Tanpa Akad Sharih Handoko, Riki; Tanjung, Dhiauddin
Alauddin Law Development Journal (ALDEV) Vol 5 No 1 (2023): ALDEV
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/aldev.v5i1.35024

Abstract

Islam mengatur tentang tatacara ber-mu’amalah sebagai sarana hablun minnan nas dengan menerapkan akad yang sesuai dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Pinjam-meminjam barang adalah hal yang umum dalam ber-mu’amalah, namun dalam hal pinjam-meminjam pada area publik tidak jelas apa akad yang digunakan sehingga tidak diketahui batasan-batasan tentang pinjam meminjam di area publik. Sehingga tujuan penulisan ini untuk mengetahui kedudukan hukum fiqh terhadap meminjam barang pada wilayah publik tanda akad sharih. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif berdasarkan kajian Pustaka secara umum. Dari hasil penelitian ditemukan meminjam barang tanpa akad sharih pada wilayah publik secara umum dapat dikatagorikan sebagai ariyah, dimana merupakan pinjam meminjam dengan tujuan tolong menolong, dimana musta’ir meminjam barang kepada mu’ir untuk diambil mamfaatnya, dan setelah selesai barang yang dipinjam haruslah dikembalikan, dimana akad dapat dilihat dari niat peminjam sebagai mu’ir kepada yang meminjam sebagai musta’ir.
Juridical Analysis of the Tradition of Consuming Tritis (Case Study of the Muslim Community in Karo from 2011 to 2022) Sitepu, Fahri Roja; Tanjung, Dhiauddin; Syahputra, Akmaluddin
Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Vol 11 No 1 (2024): Volume 11 Nomor 1 Juni 2024
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum uin alauddin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/jurisprudentie.v11i1.47923

Abstract

The Law on Consuming Tritis from the Perspective of the Fatwa of the Indonesian Ulema Council (MUI) of North Sumatra Province No. 5 of 2011 Concerning the Law on Tritis and Law No. 33 of 2014 of the Republic of Indonesia Regarding Halal Product Assurance (Case Study of the Muslim Karo Community from 2011-2022) This journal explores the traditions of the Muslim Karo community in consuming tritis in relation to the implementation of the MUI North Sumatra Province Fatwa No. 5 of 2011, which discusses the legal status of consuming tritis. Tritis, a traditional food derived from undigested cow food processed with certain spices, holds significant cultural meaning for the Muslim Karo community. This study aims to explain the practice of consuming tritis in the Karo region and how these practices align with the religious guidelines provided by the MUI fatwa. Using an empirical juridical research approach and case study methodology, this research includes observations, interviews, and document studies. Through qualitative data analysis and deductive reasoning, this study examines the consumption habits of the Muslim Karo community and evaluates them based on the fatwa's provisions. The findings show that the tradition of consuming tritis is deeply embedded in Karo culture, influenced by long-held beliefs about the health benefits of tritis and the ease of obtaining its ingredients. However, the legal status of consuming tritis, as outlined by the MUI Fatwa No. 5 of 2011, states that the practice is haram because it derives from animal materials prohibited under Islamic law. The implementation of this fatwa has been inadequate due to a lack of religious knowledge, insufficient fatwa socialization, and deeply rooted cultural factors.
Co-Authors Al-Fitrah, Ramadhan Amin, Muhammad Habibul Annisa Annisa Anshari Nasution, Muhammad Zaid Ariga, Ramadhan Asmuni Asmuni Aulia, Nurul Bayu Suhairi, Mhd. Arbi Daulay, Indi Ramadhani Dayrobi, Mhd Faruqi, Ahmad Hafsah Hafsah Hamdani Hamdani Handoko, Riki Harahap, Mhd. Yadi Harisman Hayati, Zahra Hidayat Hidayat Hisyamsyah Dani, Muhammad Izhar Izhar, Izhar Jamil, M. Julianti, Alvionita Khafi, Kasaful Khailid, Muhammad Khair, Nispul Lauhin Mahfudz Lubis, Akma Qamariah Lubis, Fauziah Lubis, Gumri Panawari Mahfuzah, Nandani Zahara Mastsum, Hasan Matsum, Hasan Mhd. Syahnan Misran Misran Muhammad Abduh Muhammad Agung Muhammad Syukri Albani Nasution Muhammad Yasir Muhammad Yusuf, Januddin Mukhlis Siregar Nasuha, Mhd. Mahya Nasution, Evriza Noverda Nasution, Hasan Bakti Nawir Yuslem, Nawir Nita Wati, Asrat Padang, Bukti Pagar, Pagar Pratama, Muhammad Roni Purnama, Deni Rahmawati Siregar, Lili Ramadhan Syahmedi Siregar Randi Hermawan, Randi Rangkuti, Lukman Hakim Rangkuti, Muhammad Alawy Reski, M. Ritonga, Ali Bata Rizki Maulana, Rizki Rizky Fadhilah, Rizky Safitri, Bujing Safpuriyadi Sakban, Muhammad Sandra Dewi, Atika Sarumpaet, Muhammad Idris Sebayang, Muhammad Alfalah Sinaga, Istiqomah Siregar, Rais Abdurrahman Sitepu, Fahri Roja Suhairi, Mhd. Arbi Bayu Sukiati Sukiati Surya Surya Syafaruddin Syafaruddin Syafrowi, Syafrowi Syahmedi Siregar , Ramadhan Syahputra, Akmaluddin Tuseno, Tuseno Uswatun Hasanah Wahyudi, Nano Yamamah, Ansari Yusuf Harahap, Bahtiar Zein, Hanafi Zulkarnain Zulkarnain