Claim Missing Document
Check
Articles

PENGARUH MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PEMANFAATAN BIOFLOK UNTUK PERTUMBUHAN IKAN BANDENG Usman Usman; Neltje Nobertine Palinggi; Enang Harris; Dedi Jusadi; Eddy Supriyono
Jurnal Riset Akuakultur Vol 6, No 3 (2011): (Desember 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.27 KB) | DOI: 10.15578/jra.6.3.2011.433-445

Abstract

Upaya konversi limbah budidaya ikan menjadi bioflok mulai banyak dilakukan oleh pembudidaya untuk memperbaiki kualitas air dan menekan biaya pakan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan bioflok sebagai makanan ikan bandeng melalui pengaturan dosis pemberian pakan. Perlakuan yang dicobakan adalah ikan uji dipelihara dengan: (A) bioflok tanpa diberi pemberian pakan buatan, (B) bioflok + pakan buatan sebanyak 2,5% per hari, (C) bioflok + pakan buatan sebanyak 5% perhari, (D) pemberian pakan buatan sebanyak 5%/hari tanpa bioflok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan bandeng ukuran awal rata-rata 1,6 g yang hanya diberi bioflok dapat tumbuh dengan laju pertumbuhan 1,82%/hari, namun laju pertumbuhan ini masih lebih rendah dibandingkan yang diberi pakan buatan 5%/hari yaitu 2,01%/hari. Tanpa memperhitungkan jumlah pemberian molase, ikan yang diberi pakan buatan sebanyak 2,5%/hari dalam media bioflok, dapat meningkatkan efisiensi pakan sebanyak 58,5% dan efisiensi pemanfaatan protein sebanyak 59,2%. Kandungan TAN, nitrit dan oksigen terlarut dalam media budidaya cukup baik bagi pertumbuhan ikan bandeng.
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN Moina sp. SEBAGAI PAKAN AWAL PADA PEMELIHARAAN LARVA IKAN GABUS Channa striata DENGAN SISTEM AIR HIJAU Adang Saputra; Dedi Jusadi; Muhammad Agus Suprayudi; Eddy Supriyono; Mas Tri Djoko Sunarno
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 3 (2018): (September 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.119 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.3.2018.239-249

Abstract

Ikan gabus Channa striata merupakan salah satu komoditas ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Kendala dalam pengembangan budidaya ikan gabus adalah tingginya tingkat kematian pada stadia pemeliharaan larva. Tingginya kematian pada stadia larva karena kecukupan jumlah pakan dan nutrisi pakan awal yang tidak optimum. Tujuan percobaan adalah menentukan frekuensi pemberian Moina sp. yang tepat sebagai pakan awal pada pemeliharaan larva ikan gabus pada sistem air hijau (dengan menambahkan Chlorella sp.). Penelitian dirancang dengan rancangan acak lengkap. Perlakuan yang diberikan adalah frekuensi pemberian Moina sp. per hari sebagai pakan awal: A. enam kali tanpa pemberian Chlorella sp. (kontrol), B. enam kali + Chlorella sp., C. empat kali + Chlorella sp., dan D. dua kali + Chlorella sp. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pakan awal dari jenis Moina sp. pada pemeliharan larva ikan gabus pada sistem air hijau dengan frekuensi pemberian dua, empat, dan enam kali dalam sehari memberikan performa sintasan (93,42%-94,29%) dan pertumbuhan tidak berbeda secara nyata (P>0,05). Frekuensi pemberian Moina sp. sebanyak dua kali sehari merupakan perlakuan yang efektif untuk sintasan dan pertumbuhan larva ikan gabus pada pemeliharaan dengan sistem air hijau.Snakehead fish Channa striata is one of the highly-valued freshwater fish commodity. However, its aquaculture development is hampered by a high mortality during larval stage rearing. This high mortality is suspected to be caused by insufficient quantity and quality of food. The purpose of this study was to determine the appropriate feeding frequency using Moina sp. as an initial food for snakehead fish larvae reared in a green water system (Chlorella sp.). A completely randomized design was arranged for this experiment where the treatments consisted of different feeding frequencies of Moina sp. given to the larvae as follows: A) six times a day without the addition of Chlorella sp. (control); B) six times a day with the addition of Chlorella sp.; C) four times a day with the addition of Chlorella sp.; and D) two times a day with the addition of Chlorella sp. The results of the experiment showed that the survival rate (93.42%- 94.29%) and growth of the larvae reared in the green water system with were not significantly different (P>0.05). However, this study suggested that feeding frequency of two times per day was sufficient to support an optimum growth and survival of snakehead larvae reared in a green water system.
ANALISIS TINGKAT KECERNAAN PAKAN DAN LIMBAH NITROGEN (N) BUDIDAYA IKAN BANDENG SERTA KEBUTUHAN PENAMBAHAN C-ORGANIK UNTUK PENUMBUHAN BAKTERI HETEROTROF (BIOFLOK) Usman Usman; Neltje Nobertine Palinggi; Enang Harris; Dedi Jusadi; Eddy Supriyono; Munti Yuhana
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (510.627 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.3.2010.481-490

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kecernaan pakan dan beban limbah nitrogen (N) dan karbon organik (C) pada pembesaran ikan bandeng untuk dijadikan acuan penumbuhan bakteri heterotrof (bioflok). Pakan uji yang digunakan adalah pakan komersial yang memiliki kadar protein berbeda yaitu 17%, 21%, dan 26%. Pakan tersebut digiling ulang, lalu ditambahkan kromium oksida (Cr2O3) sebagai indikator kecernaan. Untuk menentukan total limbah N termasuk ekskresi amonia, dilakukan juga pemeliharaan ikan bandeng selama 45 hari dan menghitung retensi N. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan ketiga pakan tersebut tidak berbeda nyata yaitu antara 77,2%-78,2% untuk bahan kering; 88,6%-90,0% untuk protein; dan 81,6%-83,1% untuk C-organik. Namun total limbah N per 100 g pakan yang masuk ke perairan meningkat secara nyata dengan meningkatnya kadar protein pakan yaitu 2,27 g N untuk pakan berprotein 17%; 2,76 g N untuk pakan berprotein 21%; dan 3,28 g N untuk pakan berprotein 26%. Untuk mengkonversi limbah N dari budidaya bandeng ini menjadi bakteri heterotrof (bioflok), diperlukan aplikasi C-organik sebanyak 22,7 g; 27,6; dan 33 g per 100 g pakan berturut-turut untuk pakan yang berprotein 17%, 21%, dan 26%.This experiment was conducted to analyze the feed digestibility and nitrogen (N) waste of milk fish grow-out and assessment of organic-C addition to promote heterotrophic bacteria (biofloc). The three commercial diets were used containing different protein levels i.e. (A) 17%, (B) 21%, and (C) 26%. Chromic oxide was used as the digestibility marker. To assess the total nitrogen waste, the milk fish with initial weight of 48 g/fish were reared for 45 days and the protein retention was calculated. The results showed that the apparent digestibility of the all three tested diets was not significantly different (>0.05) i.e. 77.2%-78.2% for dry matter, 88.6%-90% for protein, and 81.6%-83.1% for organic-C. However, the total nitrogen waste per 100 g of feed released to the waters tended to increase with the increase of protein content of the feed, i.e. 2.27g N for 17% of diet protein content; 2.76 g N for 21% of diet protein content, and 3.28 g N for 26% of diet protein content. Conversion of the total N waste of milk fish grow-out to promote heterotrophic bacteria needed additional organic-C of 22.7 g; 27.6 g; 33 g per 100 g of feed which have 17%, 21%, and 26% protein contents.
PENGARUH BERBAGAI RASIO ENERGI PROTEIN PADA PAKAN ISO PROTEIN 30% TERHADAP KINERJA PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) Mas Bayu Syamsunarno; Ing Mokoginta; Dedi Jusadi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 6, No 1 (2011): (April 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (103.58 KB) | DOI: 10.15578/jra.6.1.2011.63-70

Abstract

Tujuan percobaan ini adalah untuk menentukan rasio energi protein optimum yang menghasilkan pertumbuhan maksimum benih ikan patin (Pangasius hypophthalmus). Percobaan menggunakan 5 (lima) pakan iso protein dengan rasio energi protein berbeda, yaitu: 8,5; 9,0; 9,5; 10,0; dan 10,5 kkal DE/g protein. Benih patin berukuran 1,84±0,02 g ditebar secara acak ke dalam 15 akuarium (50 cm x 40 cm x 35 cm) dengan kepadatan 20 ekor per akuarium. Benih ikan patin tersebut diberi pakan uji dua kali sehari sekenyangnya (satiation) selama 40 hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kandungan protein tubuh tertinggi dihasilkan oleh pakan dengan rasio energi protein 9,0 kkal DE/g protein, sedangkan lemak tubuh terendah dicapai oleh perlakuan 8,5 kkal DE/g protein. Namun, protein karkas adalah sama untuk perlakuan 8,5–9,5 kkal DE/g protein dan kandungan lemak karkas terendah dicapai oleh 8,5 kkal DE/g protein. Konsumsi pakan, retensi protein, dan pertumbuhan tertinggi dihasilkan oleh pakan dengan rasio energi protein 9,0 kkal DE/g protein (P<0,05) dan konversi pakan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Oleh karena itu, kandungan optimum rasio energi protein 9,0 kkal DE/g protein memberikan pertumbuhan tertinggi pada benih ikan patin
EVALUASI KECERNAAN PAKAN, KANDUNGAN GOSSYPOL DAN ASAM SIKLOPROPENOAT DALAM ORGAN, DAN PERTUMBUHAN IKAN MAS YANG DIBERI FORMULASI PAKAN DENGAN KANDUNGAN TEPUNG BIJI KAPUK BERBEDA O.D. Subakti Hasan; Enang Harris; M. Agus Suprayudi; Dedi Jusadi; Eddy Supriyono
Jurnal Riset Akuakultur Vol 8, No 1 (2013): (April 2013)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (455.884 KB) | DOI: 10.15578/jra.8.1.2013.97-107

Abstract

Biji kapuk memiliki potensi sebagai bahan baku lokal pakan ikan karena ketersediaannya dan mengandung protein dan asam lemak linoleat yang cukup tinggi, namun juga mengandung zat antinutrisi gossypol dan asam siklopropenoat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemanfaatan tepung biji kapuk ini dalam pakan terhadap kecernaan pakan, gambaran darah, dan kinerja pertumbuhan ikan mas. Hewan uji yang digunakan adalah ikan mas berukuran 5 g, yang dipelihara dalam akuarium kaca berukuran 80 cm x 50 cm x 40 cm dengan kepadatan 20 ekor/akuarium. Perlakuan yang dicobakan adalah pakan uji yang mengandung tepung biji kapuk berbeda yaitu 0%,10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% bahan kering. Ikan diberi pakan uji secara satiasi tiga kali sehari selama 60 hari. Hasil penelitian menunjukkan perbedaankadar tepung biji kapuk dalam pakan memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan ikan dan pemanfaatan pakan. Laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein, dan lemak menurun dengan meningkatnya kandungan tepung biji kapuk dalam pakan. Aktivitas enzim pencernaan dan koefisien kecernaan pakan juga menurun dengan meningkatnya kandungan tepung biji kapuk dalam pakan. Peningkatan tepung biji kapuk dalam pakan meningkatkan kandungan gossypol dalam darah, hati, dan ginjal ikan mas, dan selanjutnya menurunkan kecernaan dan pemanfaatan nutrien pakan bagi pertumbuhan ikan mas. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kandungan biji kapuk 7 10% memperlihatkan pertumbuhan terbaik.
PENUMBUHAN BIOFLOK DALAM MEDIA BUDIDAYA IKAN BANDENG Usman Usman; Enang Harris; Dedi Jusadi; Eddy Supriyono; Munti Yuhana
Jurnal Riset Akuakultur Vol 6, No 1 (2011): (April 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (139.224 KB) | DOI: 10.15578/jra.6.1.2011.41-50

Abstract

Bioflok merupakan agregat campuran heterogen mikroba yang diinisiasi oleh bakteri heterotrof dan memiliki nutrisi yang cukup baik yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan oleh beberapa jenis ikan. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi metode menumbuhkan bioflok dalam media budidaya ikan bandeng intensif. Penumbuhan bakteri heterotrof dilakukan dengan mempertahankan keseimbangan rasio Karbon/Nitrogen (C/N) sebesar 10 dalam media budidaya. Sumber nitrogen berasal dari limbah 40 ekor ikan bandeng (bobot rata-rata 75 g/ekor) yang dipelihara dalam bak fibre glass berisi air bersalinitas 25 ppt sebanyak 625 L. Ikan uji diberi pakan komersial dengan kadar protein 26%. Molase digunakan sebagai sumber Corganik. Perlakuan yang dicobakan adalah: (A) tanpa inokulasi bakteri heterotrof (0 cfu/mL), (B) inokulasi bakteri heterotrof sebanyak 102 cfu/mL, (C) inokulasi bakteri heterotrof sebanyak 104 cfu/mL, dan (D) inokulasi bakteri heterotrof sebanyak 106 cfu/mL. Hasil percobaan selama masa 30 hari menunjukkan bahwa penambahan inokulasi bakteri heterotrof sebanyak 106 cfu/mL cenderung lebih meningkatkan laju konversi limbah N menjadi bioflok dibandingkan jumlah inokulasi bakteri yang lebih rendah dan kontrol. Indikator utamanya dapat dilihat dari pola penurunan konsentrasi TAN dan peningkatan VSS. Penambahan inokulasi bakteri heterotrof (Bacillus sp.) cenderung meningkatkan kandungan asam amino bioflok
Development of Siganid (Siganus guttatus) larvae during the transition period Darsiani Darsiani; Mia Setiawati; Dedi Jusadi; Muhammad Agus Suprayudi; Asda Laining
Depik Vol 11, No 1 (2022): April 2022
Publisher : Faculty of Marine and Fisheries, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (296.223 KB) | DOI: 10.13170/depik.11.1.22296

Abstract

Siganid is better known as rabbit fish. In hatcheries, constraint that is still faced is the low survival, which was assumed to occur because of the timing for initial feeding is not solidly known. This research aimed to examine the best initial feeding time for siganus, based on evaluation on eyes and yolk reserves during the transition. The research was conducted from 24-29 March 2021 in IPUW Barru, South Sulawesi. Larvae were obtained from the second progeny (G2) of domesticated Siganus guttatus. Larvae were reared for 5-6 days without feeding. Evaluated parameters include eyes diameter and yolk reserves. Samples were observed with microscope and will be explained descriptively. Water quality parameters were measured, namely DO, salinity, pH and temperature. Eyes diameter at 6 Hour After Hatching (HAH) ranges between 81.5-128.9 µm, 13 HAH= 125.5-167.7 µm, 24 HAH= 138.2-213.9 µm, two days after hatching 2 Day After Hatching (DAH) = 113.6-193.1 µm, 3 DAH= 163.1-219.2 µm, 4 DAH= 190.4-212.6 µm. Yolk reserves diameter ranged between 137-194µm (6 HAH), 13 HAH= 152-191µm, 24 HAH= 94.0-185µm, 2 DAH= 75.3-99.63µm, 3 DAH= 42.33-87.58µm, 4 DAH= 38.17-55.59µm. After age 5 DAH, there are no larvae found alive (dead). Eyes developed at age 6 HAH and experienced pigmentation at age 24 HAH. Conversely, yolk reserves diameters were getting smaller since age 24 HAH and completely disappear at age 4 DAH. It indicates that eyes effectively see feeds at age 2 DAH. Therefore, initial feeding should be started. The water quality parameters measured were still in normal conditions according to the life of S. guttatus larvae. From this research, it can be concluded that eyes have been well functioned at age 2 DAH and yolk reserves was finished at age 4 DAH. Therefore, the initial feeding should be done at the age of 2 DAH.Keywords:Development, Siganus guttatus larvae,Transition
Development of Siganid (Siganus guttatus) larvae during the transition period Darsiani Darsiani; Mia Setiawati; Dedi Jusadi; Muhammad Agus Suprayudi; Asda Laining
Depik Vol 11, No 1 (2022): April 2022
Publisher : Faculty of Marine and Fisheries, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.13170/depik.11.1.22296

Abstract

Siganid is better known as rabbit fish. In hatcheries, constraint that is still faced is the low survival, which was assumed to occur because of the timing for initial feeding is not solidly known. This research aimed to examine the best initial feeding time for siganus, based on evaluation on eyes and yolk reserves during the transition. The research was conducted from 24-29 March 2021 in IPUW Barru, South Sulawesi. Larvae were obtained from the second progeny (G2) of domesticated Siganus guttatus. Larvae were reared for 5-6 days without feeding. Evaluated parameters include eyes diameter and yolk reserves. Samples were observed with microscope and will be explained descriptively. Water quality parameters were measured, namely DO, salinity, pH and temperature. Eyes diameter at 6 Hour After Hatching (HAH) ranges between 81.5-128.9 µm, 13 HAH= 125.5-167.7 µm, 24 HAH= 138.2-213.9 µm, two days after hatching 2 Day After Hatching (DAH) = 113.6-193.1 µm, 3 DAH= 163.1-219.2 µm, 4 DAH= 190.4-212.6 µm. Yolk reserves diameter ranged between 137-194µm (6 HAH), 13 HAH= 152-191µm, 24 HAH= 94.0-185µm, 2 DAH= 75.3-99.63µm, 3 DAH= 42.33-87.58µm, 4 DAH= 38.17-55.59µm. After age 5 DAH, there are no larvae found alive (dead). Eyes developed at age 6 HAH and experienced pigmentation at age 24 HAH. Conversely, yolk reserves diameters were getting smaller since age 24 HAH and completely disappear at age 4 DAH. It indicates that eyes effectively see feeds at age 2 DAH. Therefore, initial feeding should be started. The water quality parameters measured were still in normal conditions according to the life of S. guttatus larvae. From this research, it can be concluded that eyes have been well functioned at age 2 DAH and yolk reserves was finished at age 4 DAH. Therefore, the initial feeding should be done at the age of 2 DAH.Keywords:Development, Siganus guttatus larvae,Transition
Development of Siganid (Siganus guttatus) larvae during the transition period Darsiani Darsiani; Mia Setiawati; Dedi Jusadi; Muhammad Agus Suprayudi; Asda Laining
Depik Vol 11, No 1 (2022): April 2022
Publisher : Faculty of Marine and Fisheries, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.13170/depik.11.1.22296

Abstract

Siganid is better known as rabbit fish. In hatcheries, constraint that is still faced is the low survival, which was assumed to occur because of the timing for initial feeding is not solidly known. This research aimed to examine the best initial feeding time for siganus, based on evaluation on eyes and yolk reserves during the transition. The research was conducted from 24-29 March 2021 in IPUW Barru, South Sulawesi. Larvae were obtained from the second progeny (G2) of domesticated Siganus guttatus. Larvae were reared for 5-6 days without feeding. Evaluated parameters include eyes diameter and yolk reserves. Samples were observed with microscope and will be explained descriptively. Water quality parameters were measured, namely DO, salinity, pH and temperature. Eyes diameter at 6 Hour After Hatching (HAH) ranges between 81.5-128.9 µm, 13 HAH= 125.5-167.7 µm, 24 HAH= 138.2-213.9 µm, two days after hatching 2 Day After Hatching (DAH) = 113.6-193.1 µm, 3 DAH= 163.1-219.2 µm, 4 DAH= 190.4-212.6 µm. Yolk reserves diameter ranged between 137-194µm (6 HAH), 13 HAH= 152-191µm, 24 HAH= 94.0-185µm, 2 DAH= 75.3-99.63µm, 3 DAH= 42.33-87.58µm, 4 DAH= 38.17-55.59µm. After age 5 DAH, there are no larvae found alive (dead). Eyes developed at age 6 HAH and experienced pigmentation at age 24 HAH. Conversely, yolk reserves diameters were getting smaller since age 24 HAH and completely disappear at age 4 DAH. It indicates that eyes effectively see feeds at age 2 DAH. Therefore, initial feeding should be started. The water quality parameters measured were still in normal conditions according to the life of S. guttatus larvae. From this research, it can be concluded that eyes have been well functioned at age 2 DAH and yolk reserves was finished at age 4 DAH. Therefore, the initial feeding should be done at the age of 2 DAH.Keywords:Development, Siganus guttatus larvae,Transition
SUPLEMENTASI L-KARNITIN DAN KAYU MANIS PADA PAKAN TERHADAP PENURUNAN LEMAK DAN TEKSTUR FILET IKAN PATIN Pangasianodon hypophthalmus PADA FASE PEMBESARAN Imam Tri Wahyudi; Dedi Jusadi; Mia Setiawati; Julie Ekasari; Muhammad Agus Suprayudi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 18, No 1 (2023): (Maret 2023)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.18.1.2023.1-14

Abstract

upaya untuk mengurangi kadar lemak tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi suplementasi L-karnitin dan tepung kayu manis terhadap kadar lemak dan tekstur daging ikan patin pada fase pembesaran. Ikan patin berukuran 125,4 ± 7,85 g dan panjang 24,71±0,68 cm dipelihara selama 60 hari dalam wadah hapa berukuran 2 x 1 x 1 m3. Ikan diberi pakan tiga kali sehari ad satiation dengan perlakuan, sebagai berikut: kontrol (K), penambahan L-karnitin 1 g kg-1 (LK 1), L-karnitin 2 g kg-1 (LK 2), kayu manis 5 g kg-1 (KM 5), dan kayu manis 10 g kg-1 (KM 10). Sampel diambil pada awal, pertengahan, dan akhir pemeliharaan untuk pengukuran kadar lemak daging. Parameter yang diamati yaitu lemak daging dan tekstur daging. Hasil menunjukkan bahwa pemberian KM 10 menghasilkan kadar lemak yang lebih rendah dari perlakuan lainnya setelah 30 hari dan penurunan yang lebih besar yaitu berkisar 51,06% dan 42,55% pada perlakuan LK 2 dan KM 10 pada hari ke-60. Nilai indeks hepatosomatik juga menurun yang diikuti oleh penurunan kadar lemak hati. Nilai kekerasan daging menunjukkan peningkatan kualitas yang terlihat dari nilai yang semakin rendah. Pemberian tepung kayu manis 10 g kg-1 pada fase pembesaran menunjukkan hasil terbaik pada pemberian selama 60 hari dalam menurunkan lemak daging ikan patin hingga memenuhi standar filet, karena adanya proses lipolisis serta pemanfaatan lemak menjadi energi. Kayu manis ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan sebagai feed additive dalam upaya memperbaiki kualitas daging ikan patin fase pembesaran.Striped catfish meat has a high-fat content which is undesirable to markets and customers alike and needs to be reduced. This study aims to evaluate the effect of dietary L-carnitine and cinnamon powder on reducing the fat content of striped catfish meat in the grow-out stage. Striped catfish measuring 125.4 ± 7.85 g and 24.71 ± 0.68 cm body length were kept for 60 days in a hapa with size 2 x 1 x 1 m3. Thefish were fed three times a day at satiation with the following treatments: control (K), the addition of L-carnitine 1 g kg-1 (LK 1), L-carnitine 2 g kg-1 (LK 2), cinnamon 5 g kg-1 (KM 5) and cinnamon 10 g kg-1 (KM 10). Sampling was conducted on the initial, middle and final day for meat fat content analysis. The parameters observed were meat fat and meat texture. The results showed that dietary KM 10 significantly reduced meat fat content compared to controls on the 30th and it showed a more significant reduction, namely 51.06% and 42.55%, in the treatment LK 2 and KM 10 after 60 days treatment. The hepatosomatic index value also decreased, followed by decreased liver fat levels. The lower values of meat hardness imply an increase in meat quality. It can be concluded that the application of dietary cinnamon powder at 10 g kg-1 (KM 10) is the best level to reduce the fat content of striped catfish meat in meeting the fillet standards. This cinnamon has excellent potential to be developed as a feed additive to improve the quality of striped catfish meat in the rearing phase.
Co-Authors , Sarmin , Sofian, , . Syafiuddin A. Shofy Mubarak A.I. Nirwana Achmad Noerkhaerin Putra Adang Saputra Ade Sunarma Adiasmara Giri, I Nyoman Agustinus Ngaddi Ahmad Ghufron Mustofa Ahmad Yazid Latif Aimma, Muhammad Ariful Alimuddin Aliyah Sakinah, Aliyah Andi Tiara Eka Diana Puteri, Andi Tiara Eka Diana Anny Hary Ayu Apriana Vinasyiam Arbajayanti, Rahma Dini Asda Laining Asda Laining Ayi Rahmat Azis Kurniansyah B.A. Hasyim Dadang Syafruddin Darina Putri Darsiani Darsiani Darsiani Darsiani Deddy Yaniharto Deddy Yaniharto dedy yaniharto Dewi Sulasingkin Diamahesa, Wastu Ayu Didi Humaedi Yusuf, Didi Humaedi Dinamella Wahjuningrum Dini Harianto Dodi Hermawan E. Gandara Eddy Supriyono Enang Harris Enang Harris Enang Harris Enang Harris Enang Harris Enang Harris Endang Purnama Sari Fardila Putri, Rizqiyatul Febrina Rolin Fitriani, Farida Hasan Abidin Hasan Nasrullah Hendriana, Andri Hestirianoto, Totok I Made Artika I MADE ARTIKA I Nyoman Adi Asmara Giri I. Mokoginta Ichsan Achmad Fauzi Ika Wahyuni Putri Imam Tri Wahyudi Imron Imron, Imron Ing Mokoginta Ing Mokoginta ING MOKOGINTA Ing Mokoginta ING MOKOGINTA Ing Mokoginta Ing Mokoginta Irzal Effendi Ismail Rahmat Ismarica, Ismarica Jefry Jefry Juli Ekasari Julie Ekasari Jullie Ekasari Ketut Sugama Ketut Sugama Kukuh Nirmala M. Zairin Junior Mas Bayu Syamsunarno Mas Tri Djoko Sunarno Mas Tri Djoko Sunarno Mas Tri Djoko Sunarno, Mas Tri Djoko Meilisza, Nina Mia Setiawati Mohamad Amin MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI Muhammad Roikhan Amanullah Muhammad Zairin Jr. Muhammad Zairin Jr. Muhammad Zairin Jr. MUHAMMAD ZAIRIN Jr. Mujizat Kawaroe MUNTI YUHANA Nadisa Theresia Putri Neltje Nobertine Palinggi Neltje Nobertine Palinggi nFN Safratilofa Nina Meilisza Nur Bambang Priyo Utomo Nur Bambang Priyo Utomo Nur Bambang Priyo Utomo Nur Hikma Mahasu Nur, Abidin NurBambang Priyono Utomo Nurina Pratiwi O.D. Subakti Hasan Odang Carman Pangentasari, Dwinda R Rifai Rakhmawati, Rakhmawati, Rasidi Rasidi Rasidi Rasidi Ria Septy Anggraini, Ria Septy Ricky Ramadhan RIDWAN AFFANDI Rina Hirnawati Riska Diana Rizkan Fahmi Robin, , Shella Marlinda Shidik, Taufik Shidik Adi Nugroho Siti Komariyah Siti Murniasih Sri Nuryati Sri Nuryati Suardi Laheng Sumantri, Iwan Sumiana, I Kadek Syarifah Ruchyani Syefti Palmi, Revita T.L. Pelawi Talita Shofa Adestia Thoy Batun Citra Rahmadani Tira Silvianti Titin Kurniasih Toshiro Masumoto Triana Retno Palupi Tulas Aprilia Ucu Cahyadi Usman Usman Usman Usman Usman Usman Uttari Dewi Wahyu Pamungkas Wahyu Pamungkas Wasjan Wasjan Wasjan WIDANARNI WIDANARNI Widya Puspitasari Wijianti, Hani Wiwik Hildayanti Yulfiperius, Yulfiperius Yulintine Yulintine YULISMAN Yuni Puji Hastuti Yutaka Haga Zuraida .