Claim Missing Document
Check
Articles

Found 40 Documents
Search

Local Wisdom in the Creative Economy of the Baduy Community Supendi, Usman; Permana, Agus; Ruswanda, Asep Sandi; Samsudin, Samsudin
International Journal of Nusantara Islam Vol 13 No 1 (2025): International Journal of Nusantara Islam
Publisher : UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/ijni.v13i1.45055

Abstract

Local wisdom is cultural values ​​and traditions that are passed down from generation to generation, playing an important role in supporting the sustainability of the creative economy in the Baduy community. This study aims to examine how the local wisdom of the Baduy community is integrated into their creative economy practices, which include handicrafts, traditional weaving, and honey products. A qualitative approach was used in this study, with data collection through direct observation, in-depth interviews, and documentation studies. The results of the study indicate that the local wisdom of the Baduy community, such as the principle of living in harmony with nature and strict customary rules, is the main foundation in the production and marketing of their creative products. In addition, these values ​​also encourage environmental sustainability and maintain their cultural identity amidst the influence of modernization. This study concludes that the integration of local wisdom into the creative economy not only provides added value to the product, but also strengthens the social, cultural, and economic sustainability of the Baduy community.
Islam Pada Zaman Kerajaan Sumedanglarang (Abad 14-15) Supendi, Usman; Putra, M Zikril Oksa; Nurcahya, Yan
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 1 No. 1 (2025): JANUARI-MARET 2025
Publisher : Indo Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kerajaan Sumedanglarang, yang terletak di wilayah Jawa Barat, Indonesia, merupakan salah satu kerajaan yang memainkan peran penting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Pada masa kejayaannya, kerajaan ini menjadi salah satu pusat pertemuan kebudayaan dan agama, termasuk masuknya ajaran Islam melalui jalur perdagangan, dakwah, dan interaksi dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Islam mulai diperkenalkan di Sumedanglarang pada abad ke-15, dengan pengaruh besar dari para wali songo dan pedagang Muslim yang datang dari kawasan pesisir utara Jawa. Proses islamisasi di Sumedanglarang berlangsung secara bertahap, menggabungkan unsur-unsur tradisi lokal dengan ajaran Islam, sehingga menciptakan bentuk khas dalam praktik keagamaan dan budaya masyarakatnya. Meskipun bukti-bukti sejarah yang jelas tentang proses islamisasi di Sumedanglarang terbatas, catatan-catatan dari sumber sejarah menunjukkan bahwa raja dan masyarakat Sumedanglarang mulai menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan. Perubahan ini juga terlihat dalam kebijakan politik dan sosial, seperti penerimaan terhadap hukum Islam dan adaptasi dalam sistem pemerintahan. Islamisasi di Sumedanglarang juga berhubungan erat dengan penyebaran kebudayaan Islam, termasuk seni, arsitektur, serta pendidikan agama yang semakin berkembang. Abstrak ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai proses islamisasi di Kerajaan Sumedanglarang, peran Islam dalam perubahan sosial dan budaya, serta kontribusinya terhadap perkembangan sejarah Islam di Jawa Barat pada masa itu.
KAJIAN FOLKLORE: MAKNA DAN SIMBOL PRABU SILIWANGI BERTAPA DAN MENYUCIKAN DIRI SEBELUM MASUK ISLAM DI MATA AIR CITARUM Nurcahya, Yan; Supendi, Usman
Historia Islamica: Journal of Islamic History and Civilization Vol 4 No 1 (2025): Historia Islamica
Publisher : Program Studi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30984/historia.v4i1.1249

Abstract

Abstract: Folklore is a discipline, which stands alone in Indonesia, which has not been developed for long. Folklore is part of a collective culture, which is spread and passed down from generation to generation. To be able to distinguish it from culture. History is an empirical science. The consequence is that every historical statement must be based on a reliable source (fact). There is no historical source, no historical source then there is no history. This is what distinguishes history from fairy tales. Storytelling is a product of fictional imagination. In fairy tales, there is no claim that the story is told based on empirical facts or not, whether it really happened or not. Through Patilasan Dipatiukur and Prabu Siliwangi we can reflect on the struggle and courage that shaped the history of this nation. The traces of Dipatiukur and Prabu Siliwangi carved in every stone and puddle of water in this place remind us of the importance of respecting and studying valuable historical heritage.Keywords: Pajajaran Kingdom, Spread of Religion, Islam, Sundanese History Abstrak:Folklor merupakan suatu disiplin, yang berdiri sendiri di Indonesia, yang belum lama dikembangkan. Folklore merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun. Untuk dapat membedakan dengan kebudayaan. Sejarah merupakan ilmu empiris. Konsekuensinya adalah setiap pernyataan sejarah harus didasarkan pada sumber (fakta) yang dapat diandalkan. Tidak ada sumber sejarah, tidak ada sumber sejarah maka tidak ada sejarah. Inilah yang membedakan sejarah dari dongeng. Bercerita merupakan produk imajinasi fiktif. Dalam dongeng, tidak ada klaim bahwa cerita tersebut diceritakan berdasarkan fakta empiris atau tidak, benar-benar suatu kejadian atau tidak. Melalui Patilasan Dipatiukur dan Prabu Siliwangi kita dapat merenungi perjuangan dan keberanian yang membentuk sejarah bangsa ini. Jejak Dipatiukur dan Prabu Siliwangi yang terukir dalam setiap batu dan genangan air di tempat ini mengingatkan kita akan pentingnya menghormati dan mempelajari warisan sejarah yang berharga Keywords: Kerajaan Pajajaran, Penyebaran Agama, Sejarah Sunda, Folklor
Seren Taun dan Dinamika Sosial: Akulturasi Tradisi Agraris dalam Manuskrip Meteumeuyan Supendi, Usman; Sopiah, Eva
Tamadduna: Jurnal Peradaban Volume 2 No. 1, Mei 2025
Publisher : UPT Publikasi Ilmiah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/tamadduna.v2i1.5673

Abstract

In the existence of a cultured society, various customs and traditions emerge as a result of the knowledge available. This also applies to agrarian communities. Indonesia itself is the largest agrarian country ever recorded in Asian history, particularly in the agricultural sector of rice cultivation. For hundreds of years, Indonesia has been one of the largest rice-producing countries, especially in Parahyangan or West Java. The Sundanese people in this region have practiced agrarian customs for centuries. One of the traditions that remains preserved is Seren Taun, a traditional ceremony held to celebrate the harvest. This ceremony is still practiced and maintained in traditional villages such as Kanekes Baduy, Ciptagelar in Sukabumi, Cigugur in Kuningan, and other customary villages. Interestingly, Seren Taun is not only found in traditional villages but can also be observed in remote villages. Examples include Bojongsari and Sukamaju villages in Nyalindung District, Sukabumi Regency, where this tradition is still upheld with distinct characteristics. The Seren Taun ceremony in these villages differs significantly from the version practiced in traditional communities. This ceremony has undergone various forms of acculturation, whether in terms of social culture or religion. With the discovery of the Meteumeuyan Manuscript, which serves as a customary guide or is also called ririmbon panen, this study attempts to reveal the contents of the manuscript. However, with all the traditional rules attached to it, Seren Taun tends to preserve agrarian traditions across generations, ultimately limiting openness to innovation and social change.
Sejarah Cakraningrat I dari Tawanan Perang Hingga Menjadi Korban Pemberontakan 1624-1648 Hidayat, Asep Achmad; Faruk, Umar; Supendi, Usman
El Tarikh : Journal of History, Culture and Islamic Civilization Vol. 4 No. 2 (2023): Islamic of Culture History
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/jhcc.v4i2.18412

Abstract

Cakraningrat I adalah gelar yang disematkan kepada bangsawan Madura yang bernama Raden Praseno. Ia merupakan satu-satunya bangsawan Madura yang selamat dari pembantaian pasukan Mataram saat tragedi penaklukan Madura (1624).  Pasca penaklukan kemudian Raden Praseno dibawa ke Mataram sebagai tawanan perang. Dengan politik yang dimainkan oleh Sultan Agung putra mahkota Madura diberlakukan sebagaimana seoarang pengeran dengan hak-hak istimewa. Termasuk pada puncaknya, ia mengangkat Raden Praseno sebagai raja untuk seluruh wilayah Madura. Hal tersebut bukan tanpa alasan melainkan siasat Sultan Agung untuk Madura berada di bawah kekuasaannya. Pada perkembangannnya Cakraningrat I menjadi raja bawahan yang setia membela keberlangsungan Mataram. Topik ini diulas dengan mengunakan metode sejarah yang memuat 4 tahapan (heuristik, kritik, interpretasi, historiografi). Dari penelitian ini ditemukan bahwa Cakraningrat I selain sukses menata kembali pemerintahan Madura, ia juga menjadi raja bawahan Sultan Agung yang totalitas dalam mengawal pemerintahan Mataram, sampai pada akhirnya menjadi korban pemberontakan. Kata Kunci: Madura, Cakraningrat I, Mataram
Agricultural mantra culture in the study of the Melak Pare Manuscript Supendi, Usman; Solehudin, Solehudin; Sopiah, Eva; Nuraidah, Syifa; Arsyad, M Fikri; Hambaliana, Dandie
Socio Politica : Jurnal Ilmiah Jurusan Sosiologi Vol. 15 No. 2 (2025): Jurnal Socio-Politica
Publisher : FISIP UIN SGD Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/socio-politica.v15i2.46026

Abstract

This study aims to explore the physical structure and content of the Melak Pare manuscript, which documents the agrarian traditions of the Sundanese people within the framework of local and Islamic spirituality. Employing a historical methodology that includes heuristics, verification, interpretation, and historiography, the data were gathered through literature reviews and field research on the original manuscript housed in the Sri Baduga Museum, Bandung. The findings reveal that the manuscript is written in Arabic Pegon script on fragile European paper now preserved with Japanese tissue. The content consists of agricultural mantras and prayers structured around stages of rice farming rituals—from hoeing and seed sowing to planting, maintenance, and harvesting. The inclusion of istighfar, shalawat, and invocations of Dewi Sri (Nyimas Puhaci Sangiyang Sri) demonstrates cultural assimilation between Islam and local beliefs. Symbolic references to cardinal directions, bodily movements, and ritual timing reflect a rich Sundanese agrarian cosmology imbued with spiritual significance. This research contributes to the preservation of local philological heritage, revitalization of agro-spiritual values, and advancement of interdisciplinary approaches to traditional manuscript studies. Contribution: This study contributes to the preservation of local philological heritage by documenting the physical and textual features of the Melak Pare manuscript, revitalizes agro-spiritual values by highlighting the integration of Sundanese agrarian traditions with Islamic spirituality.
Peristiwa Long March Siliwangi Tahun 1948 Berdasarkan Dokumen dan Koleksi-koleksi di Museum Mandala Wangsit Siliwangi Bandung Khairullah, Muhammad Fauzan; Supendi, Usman
JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Vol 9, No 4 (2024): November, I Special Issue on "Educational design research for human beings learn
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/jimps.v9i4.33194

Abstract

Peristiwa Hijrah dan Long March Siliwangi merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa Revolusi Fisik, khususnya dalam menghadapi agresi militer Belanda pada tahun 1948. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai peristiwa tersebut dengan memanfaatkan dokumen dan koleksi yang ada di Museum Mandala Wangsit Siliwangi sebagai sumber utama. Metode penelitian yang digunakan meliputi studi dokumentasi, studi koleksi museum, studi pustaka dan pendekatan hermeneutik untuk memahami makna mendalam dari setiap peninggalan sejarah yang ditemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Long March Siliwangi bukan hanya sekadar perpindahan fisik pasukan, tetapi juga merupakan perjalanan spiritual dan simbol ketahanan perjuangan para prajurit Siliwangi. Selain itu, penelitian ini menyoroti tantangan yang dihadapi oleh pasukan Siliwangi dalam melaksanakan hijrah dan long march serta pengaruhnya terhadap sejarah pergerakan militer Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman sejarah Indonesia serta memperkaya literatur tentang peristiwa Hijrah dan Long March Siliwangi.
Typology of Mosque Architecture in the Greater Bandung Area, Indonesia Nurcahya, Yan; Hidayat, Asep Achmad; Supendi, Usman; Kusdiana, Ading; Gumilar, Setia; Hakim, Ajid
Jejak digital: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 1 No. 5 (2025): AGUSTUS-SEPTEMBER
Publisher : INDO PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.63822/sfpjv314

Abstract

This research focuses on the typology of mosques in the Bandung area, Indonesia. Due to its close ties to Islam, research on mosque typology is still limited. This mosque holds significant value within the Muslim community. This research was conducted in Greater Bandung: Bandung City, Cimahi City, Bandung Regency, West Bandung Regency, and Sumedang Regency. This study employed qualitative methods (Creswell, 2008) with descriptive research characteristics. Using the Bandung Grand Mosque as a reference, as suggested in previous studies, the results show that the dome-shaped roof element is a dominant feature replicated by mosques in Greater Bandung. Other elements, such as columns, openings, and roof ornamentation, are also replicated by several research subjects, but to a lesser extent. This research provides a broader overview of the area, with a more diverse analysis of factors such as time, socio-cultural, and technological aspects.
SEJARAH GERAKAN SOSIAL, POLITIK, DAN AGAMA DI KOTA TASIKMALAYA PADA TAHUN 1901–1940 Asep Achmad Hidayat; Usman Supendi; Hambaliana, Dandie
Jazirah: Jurnal Peradaban dan Kebudayaan Vol 6 No 01 (2025): Agustus 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Adab dan Budaya Islam Riyadul 'Ulum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51190/jazirah.v6i01.261

Abstract

Penelitian ini mengkaji dinamika gerakan sosial, politik, dan keagamaan di Kota Tasikmalaya pada periode 1901 hingga 1940, sebuah era penting dalam sejarah kolonial Hindia Belanda yang ditandai oleh munculnya kesadaran nasional dan resistensi terhadap dominasi kolonial. Dengan menggunakan pendekatan historis dan metode kualitatif melalui studi pustaka dan analisis dokumen arsip, tulisan ini menelusuri keterlibatan masyarakat Tasikmalaya dalam berbagai bentuk pergerakan, baik yang bersifat modern maupun tradisional. Gerakan politik mulai tampak dengan masuknya Sarekat Islam dan tokoh-tokoh lokal yang memperjuangkan hak-hak rakyat melalui jalur organisasi. Di sisi lain, gerakan keagamaan tumbuh subur melalui peran pesantren dan ulama yang tidak hanya menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga menjadi pusat perlawanan terhadap penjajahan. Interaksi antara gerakan sosial, politik, dan agama membentuk pola perlawanan yang khas di Tasikmalaya, di mana agama menjadi fondasi ideologis bagi perlawanan sosial-politik. Kajian ini menunjukkan bahwa gerakan di Tasikmalaya tidak dapat dipahami secara terpisah, melainkan sebagai bagian dari satu kesatuan dinamika sosial yang kompleks dalam konteks kolonial. Hasil penelitian ini memperkaya pemahaman mengenai peran daerah dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.
AGRICULTURAL COMMUNITY TRADITIONS IN BOJONGSARI VILLAGE, NYALINDUNG DISTRICT, SUKABUMI (1986-2024) Sopiah, Eva; Achmad Hidayat, Asep; Supendi, Usman; Sulasman; Wahyu Hoerudin, Cecep; Najmudi, Salman; Mahfudin Setiawan, Agus
Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam Vol. 22 No. 1 (2025): Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam
Publisher : Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/al-tsaqafa.v22i1.40700

Abstract

This study examines the acculturation of agrarian traditions, particularly the Seren Taun ceremony, in the villages of Bojongsari and Sukamaju, Nyalindung District, Sukabumi, between 1986 and 2024. The Seren Taun ceremony, a harvest celebration, has historically been found in traditional villages such as Kanekes Baduy and Ciptagelar. However, interestingly, this tradition also persists in rural villages such as Bojongsari and Sukamaju, albeit with significant differences due to socio-cultural and religious acculturation. The main objective of this study is to analyze the contents of the traditional “Ririmbon Panen” guidebook found in both villages and to identify the forms of acculturation that influence agricultural practices and religious rituals. Using a qualitative approach, this research involves field methods (observation, interviews, documentation) and philology to edit and translate the texts, supplemented by content analysis to reveal the values contained therein. The results of the study show that the Seren Taun tradition in Bojongsari and Sukamaju, known as “Meteumeuyan,” has undergone profound acculturation with Islamic teachings. This transformation is evident in the replacement of amulets with prayers from the Qur'an and the use of the Islamic calendar in determining harvest times. Although pre-Islamic elements such as offerings and incense burning have been eliminated, other aspects such as calculating auspicious/inauspicious days and wind direction have been retained. In addition, the community still respects Monday as “Nyi Pohaci Day,” when rice processing activities are stopped. The Seren Taun ceremony in these two villages represents a concrete example of cultural acculturation in Indonesian agrarian communities, where indigenous traditions adapt to Islamic thinking, creating a unique blend that enriches cultural meaning without losing its essence. Keywords: Agrarian, Acculturation, Seren Taun, Islam, Sunda.