Claim Missing Document
Check
Articles

Maskulinisasi Ikan Pelangi Iriatherina werneri Meinken, 1974 Menggunakan Hormon 17α-Metiltestosteron Melalui Perendaman Embrio Muh. Herjayanto; Odang Carman; Dinar Tri Soelistyowati
Akuatika Indonesia Vol 4, No 2 (2019): Jurnal Akuatika Indonesia (JAkI)
Publisher : Direktorat Sumber Daya Akademik dan Perpustakaan Universitas Padjadjaran, Grha. Kandaga (P

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jaki.v%vi%i.21516

Abstract

Individu jantan ikan pelangi Iriatherina werneri lebih digemari sebagai ikan hias dibandingkan individu betina. Ikan jantan memiliki bentuk sirip punggung kedua dan sirip anal yang panjang seperti filament dan warna tubuh yang indah. Namun permasalahannya adalah secara alami populasi ikan jantan yang dihasilkan rendah. Oleh karena itu, maskulinisasi diperlukan untuk meningkatkan jumlah populasi ikan jantan. Teknik maskulinisasi menggunakan perendaman embrio fase bintik mata di dalam larutan hormon 17α-metiltestosteron (MT). Tujuan penelitian yaitu mengkaji persentase ikan jantan, tingkat penetasan telur, sintasan, abnormalitas dan pertumbuhan panjang total ikan pelangi melalui perendaman embrio pada dosis MT dan lama perendaman berbeda. Embrio yang digunakan pada fase organogenesis berumur 64 jam 40 menit setelah pembuahan. Perlakuan yang digunakan yaitu dosis MT 15, 30 dan 45 mg L-1, serta lama perendaman selama 6, 12 dan 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi perlakuan MT dosis 30 mg L-1 dan lama perendaman 6 jam merupakan kombinasi perlakuan terbaik yaitu menghasilkan ikan jantan 56,67%. Kombinasi perlakuan tersebut juga menghasilkan tingkat penetasan telur, abnormalitas dan pertumbuhan panjang total ikan pelangi pada kisaran normal. Pemberian MT dosis tinggi dan pemaparannya yang lama pada embrio dapat menurunkan performa penetasan telur dan kualitas larva ikan pelangi. Bentuk abnormal terlihat pada tulang belakang bengkok dan bentuk mulut yang tidak sempurna. Kajian maskulinisasi pada ikan pelangi masih perlu dilakukan untuk memperoleh sintasan yang lebih baik.
Genotype diversity and morphometric of tinfoil barb Barbonymus schwanenfeldii (Bleeker 1854) from Sumatera, Java, and Kalimantan Deni Radona; Dinar Tri Soelistyowati; Odang Carman; Rudhy Gustiano
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 16 No 3 (2016): October 2016
Publisher : Masyarakat Iktiologi Indonesia (Indonesian Ichthyological Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32491/jii.v16i3.25

Abstract

Study on genotype and phenotype diversity of initial population tinfoil barb from Sumatera, Java and Kalimantan is an effort to use genetic sources of tinfoil barb for sustainable aquaculture. This study was to evaluate the diversity of genotype and phenotype of tinfoil barb from Sumatra, Java and Kalimantan. Analysis of genotype diversity was con- ducted by RAPD methods using primer (OPA 08, OPA 09 and OPC 02) and phenotype based on truss morphometric measurement. The result showed that the highest genetic polymorphism (40%) was found in the male population of Java and female from Kalimantan with heterozygosity 0.18; while the lowest polymorphism was detected in the female population from Java (18%) with the heterozigosity level at 0.08. Based on the relationship between tinfoil barb from Java, Sumatera and Kalimantan by using three primer of RAPD showed that the genetic distance ranged from 0.48- 0.55, whereas between male and female population was ranged from 0.19-0.24. Canonical analysis using truss morpho- metric from 21 measured characters among three populations showed the different kind of genetic dispersion. From intrapopulation genetic sharing percentage, the highest interpopulation genetic sharing component was found in the tinfoil barb from Java (66.7-86.7 %), while interpopulation genetic sharing component ranged 0-6 % and 0 % were found in the tinfoil barb from Kalimantan and Sumatera, respectively. According to our results, the genotype diversity and phenotype of tinfoil male from Java and female from Kalimantan are genetic resources for developing tinfoil barb aquaculture. Abstrak Studi keragaman genotipe dan fenotipe populasi awal ikan tengadak (Barbonymus schwanenfeldii) asal Sumatera, Jawa, dan Kalimantan merupakan upaya pemanfaatan sumber daya genetik ikan tengadak untuk kegiatan budi daya secara berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi keragaman genotipe dan fenotipe ikan tengadak asal Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Analisis keragaman genotipe dilakukan secara molekuler dengan metode Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) menggunakan primer OPA 08, OPA 09 dan OPC 02 sedangkan keragaman fenotipe dilakukan berdasarkan pengukuran truss morphometric. Hasil penelitian menunjukkan polimorfisme genetik tertinggi (40%) ditemukan pada ikan jantan populasi asal Jawa dan ikan betina asal Kalimantan dengan nilai heterozi- gositas tertinggi 0,18 sedangkan polimorfisme terendah (18%) ditemukan pada ikan betina populasi asal Jawa dengan tingkat heterozigositas 0,08. Jarak genetik ketiga populasi berkisar 0,48-0,55 sedangkan antara ikan jantan dan betina berki-sar 0,19-0,24. Hasil analisis fungsi kanonikal truss morfometrik ikan tengadak pada 21 karakter terukur menun- jukkan sebaran pengukuran ketiga populasi berada pada kuadran yang berbeda. Persentase indeks keseragaman intra- populasi menunjukkan indeks keseragaman genetik tertinggi pada populasi Jawa (66,7-86,7 %) dengan indeks kesera- gaman interpopulasi (0-6%) pada populasi Kalimantan dan (0%) pada populasi Sumatera. Berdasarkan data keragaman genotipe dan fenotipe ikan jantan asal Jawa dan ikan betina asal Kalimantan berpotensi sebagai sumber genetik donor untuk pengembangan budidaya ikan tengadak.
Feminization of raibow Iriatherina werneri (Meiken, 1974) using estradiol-17β hormone Rodhi Firmansyah; Odang Carman; Dinar Tri Soelistyowati
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 16 No 3 (2016): October 2016
Publisher : Masyarakat Iktiologi Indonesia (Indonesian Ichthyological Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32491/jii.v16i3.26

Abstract

Feminization of the rainbow (Iriatherina werneri) is an initial step to get the functional females (XY). If those functional females crossbreeding with normal males (XY), we will produce super males (YY) individuals. This study aimed to evaluate the optimum condition of feminization on I. werneri using estradiol-17β hormone treatment at different doses and immersion duration with a completely randomized factorial design which consists of different doses and immersion durations with three replicates. The data were analyzed statistically ( ANOVA ). Eyed stage embryos were immersed in 0, 200, 400 and 600 μg L-1 of estradiol-17β for six, 12 and 18 hours; and then the larvae were reared up to 70 days. The results showed that estradiol-17β treatments could increase the percentage of I. werneri female. The doses of 400 and 600 μg L-1 for both six and 12 hours immersion could increase the percentage of female significantly (p<0.050) with value ranged from 85,56-92,22%. The duration of estradiol-17β immersion significantly affected (p<0,05) the I. werneri survival rate. The duration of immersion for six hours showed the highest survival rate. On the other hand, both of doses and duration of immersion did not affect the hatching rate of I. werneri (p>0.05) Abstrak Pembetinaan ikan pelangi (Iriatherina werneri) adalah langkah awal untuk mendapatkan individu betina fungsional (XY). Jika individu betina fungsional ini dikawinkan dengan jantan normal (XY) akan menghasilkan individu ikan jantan super (YY). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi optimum dosis dan lama perendaman yang berbeda untuk pembetinaan ikan pelangi dengan menggunakan hormon estradiol-17β yang dirancang menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial yang terdiri atas faktor dosis dan lama perendaman masing-masing diulang tiga kali kemudian data dianalisis secara statistik (ANOVA). Telur ikan pelangi stadia embrio bintik mata direndam dalam larutan estradiol-17β dosis 0, 200, 400 dan 600 μg L-1 selama 6, 12, dan 18 jam, kemudian larva dipelihara selama 70 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan estradiol-17β dapat meningkatkan persentase betina; dosis 400 dan 600 μg L-1 selama 6 dan 12 jam meningkatkan persentase betina secara nyata (p<0,05) dengan nilai 85,56-92,22%. Lama perendaman berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kelangsungan hidup dan perendaman selama enam jam memberikan hasil yang terbaik. Sementara itu, dosis dan lama perendaman tidak memengaruhi tingkat penetasan (p>0,05).
The phenotypic diversity of three populations of Asian swamp eel Monopterus albus (Zuiew 1793) from West Java and biometrics responses on salinity Ahmad Fahrul Syarif; Dinar Tri Soelistyowati; Ridwan Affandi
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 16 No 2 (2016): June 2016
Publisher : Masyarakat Iktiologi Indonesia (Indonesian Ichthyological Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32491/jii.v16i2.36

Abstract

This research aimed to evaluate the phenotype diversity of Asian swamp eel from West Java and the biometric responses on salinity for aquaculture development. Fish were collected from three different locations, i.e., Cianjur, Sukabumi, and Karawang with body size of 23.05+0.63 cm and weight of 7.58+1.04 g. Truss morphometric measurement was conducted for 30 samples from each location and biometric response on salty water media for 200 individuals. The experiment was performed in the media with different level of salinity, no substrate and with some shelters. Completely randomized design (CRD) with three levels of salinity (i.e. 0, 6, 12 g L-1) and density 1 kg m-2 was used in this study. Rearing was carried out for 30 days with 100% of media was changed every day and fish were fed with silk worms once a day with at satiation manner. The results showed that phenotypic diversity of Asian swamp eels from Karawang and Cianjur was similar, but differ from Sukabumi population. The biometric responses of Asian swamp eel from Karawang showed the superior performance and the best salinity of media for culture without substrate was 6 g L-1. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaman fenotipe belut asal Jawa Barat serta respons biometriknya dalam pemeliharaan pada media air bersalinitas untuk pengembangan budi daya. Belut ditangkap dari tiga lokasi yaitu Cianjur, Sukabumi, dan Karawang dengan ukuran tubuh berkisar antara 23,05+0,63 cm dan bobot 7,58+1,04 g. Sebanyak 30 ekor setiap populasi digunakan untuk pengukuran truss morfometrik dan 200 ekor untuk pengujian respons biometrik pada media air bersalinitas. Pemeliharaan dilakukan pada media air bersalinitas tanpa substrat dengan pemberian pelindung. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan perbedaan salinitas media pemeliharaan yaitu 0, 6, dan 12 g L-1 dengan padat penebaran 1 kg m-2. Pemeliharaan belut dilakukan selama 30 hari dengan penggantian air 100% setiap hari dengan pemberian pakan berupa cacing sutera Tubificidae sebanyak satu kali per hari secara at satiation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belut asal Karawang dan Cianjur mirip berdasarkan keragaman fenotipenya dibandingkan populasi Sukabumi. Respons biometrik belut asal Karawang paling unggul dan media terbaik untuk pemeliharaan belut tanpa substrat adalah media dengan salinitas 6 g L-1.
Spawning behavior, female reproductive potential and breeding technique optimize of threadfin rainbowfish Iriatherina werneri Muh. Herjayanto; Odang Carman; Dinar Tri Soelistyowati
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 16 No 2 (2016): June 2016
Publisher : Masyarakat Iktiologi Indonesia (Indonesian Ichthyological Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32491/jii.v16i2.39

Abstract

Basic information of threadfin rainbowfish especially their reproduction in captivity is little known. Therefore, study on the spawning behaviour and female reproductive potential based on the different treatment of feed (commercial food and natural food) and optimize breeding technique is needed. The study on optimize breeding technique including the effect of different spawning systems (masse or individual), sex ratio (1:1, 1:2 and 1:3), and female size (small, medium and large) to support threadfin rainbowfish culture. The result showed that the threadfin rainbowfish spawn at 13-15 hours after pairing broodfish and the fertilization starts when male spread out and shrink up the fins. The eggs were released faster in the masse than in individual spawing systems and the eggs were released more simultaneously in the morning (94.92%). The threadfin rainbowfish is a partial spawner that spawns every day until 30 days. The potential of eggs and larvae production could be increased up to 4 and 14 times by fed the fish with natural food. Technique for optimize the breeding is using the masse spawning system with sex ratio 1:3 and size range of female is 26.98 to 35.76 mm. Abstrak Informasi reproduksi ikan pelangi Iriatherina werneri pada wadah terkontrol masih sedikit diketahui. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai tingkah laku memijah, potensi reproduksi ikan betina berdasarkan perbedaan pakan (buatan dan alami), dan optimasi teknik pemijahan. Kajian optimasi pemijahan meliputi pengamatan pengaruh perbedaan sistem pemijahan (massal atau individual), perbedaan rasio kelamin pemijahan jantan : betina (1:1, 1:2, dan 1:3), serta perbedaan ukuran betina (kecil, sedang, dan besar) untuk mendukung kegiatan budi daya. Hasil penelitian menunjukkan bah-wa pemijahan ikan pelangi terjadi pada 13-15 jam sejak pemasangan ikan jantan dan betina yang diawali oleh gerakan ikan jantan mengembangkan dan menguncupkan sirip. Telur yang dikeluarkan pada pemijahan massal berakhir dua jam lebih cepat dibandingkan pemijahan individual dan telur lebih serempak dikeluarkan pagi hari (94,92%). Ikan pelangi merupakan pemijah bertahap yang mampu memijah setiap hari selama 30 hari. Potensi jumlah telur dan larva yang di-hasilkan seekor betina dapat ditingkatkan masing-masing sebanyak empat kali lipat dan 14 kali lipat melalui pemberian pakan alami. Optimasi teknik pemijahan I. werneri dicapai dengan menggunakan sistem massal dengan rasio kelamin 1: 3 dan menggunakan ikan betina berukuran 26,98-35,76 mm.
Hormonal induction on artificial ovulation and spawning of striped catfish, Pangasianodon hypopthalmus (Sauvage, 1878) using aromatase inhibitor and oxytocin Mahdaliana Mahdaliana; Agus Oman Sudrajat; Dinar Tri Soelistyowati
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 16 No 1 (2016): February 2016
Publisher : Masyarakat Iktiologi Indonesia (Indonesian Ichthyological Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32491/jii.v16i1.46

Abstract

Artificial spawning on stripe catfish has generally carried out by stripping because of the absence in reflex of spawning. Mechanical stripping usually caused stress, decreased quality of gametes and seeds and damage on gonad. Induced spawning without stripping could be used for the process of gonad maturation to stimulate the ovulation of the fish which has the difficulties to spawn in its non natural habitat. Induced spawning without stripping by using hormones combi-nation was conducted in the present study. This research proposed to evaluate the injection of hormones combination between aromatase inhibitor (AI) and oxytocin association with ovaprim and PGF2a for stimulating ovulation and spawning without stripping. The completely randomized design of combined hormones consisted of five treatments such as P1(AI,oxytocin), P2 (AI, oxytocin,ovaprim), P3 (AI, oxytocin, ovaprim, PGF2a), P4 (ovaprim) as positive control, and P5 (NaCl) as negative control. Each treatment was performed using five paires of males and females as individual replicate of about 2-6 kg weight. The results showed that the combination of P3 was the most effectively and successfully induced ovulation with naturally spawning without stripping, treatment P4 ovulation with stripping, while the treatment P5 there was not ovulation. The hormones combination caused decreasing of estradiol-17p concentration and testosterone (p<0.05) as the sign of the final maturation. The average time of ovulation was 12.35±4.05 to 15.20±2.25 minutes. The highest number of eggs about 145.865 from the treatment P3 (AI, oxytocin, ovaprim, PGF2a). Abstrak Pemijahan buatan pada ikan patin dilakukan dengan cara pengurutan karena tidak memiliki kemampuan untuk menge-luarkan telur secara alami. Teknik pengurutan berdampak stres pada induk, kualitas gamet menurun, dan gonad menjadi rusak. Proses pematangan gonad dan pemijahan tanpa pengurutan dapat diinduksi secara hormonal untuk membantu ovulasi ikan yang sulit memijah di luar habitatnya. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penggunaan hormon penghambat aromatase (aromatase inhibitor - AI) dan oksitosin serta kombinasi hormon untuk merangsang ovulasi dan pemijahan pada ikan patin tanpa pengurutan(semi alami). Perlakuan kombinasi hormon terdiri atas P1(AI+Oksitosin), P2 (AI+Oksitosin+Ovaprim), P3 (AI + Oksitosin + Ovaprim + Pgf2a), P4 (ovaprim) sebagai kontrol positif, dan P5 (NaCl) sebagai kontrol negatif. Pada setiap perlakuan digunakan lima induk ikan patin jantan dan lima induk ikan patin betina sebagai ulangan individu dengan bobot berkisar 2-5 kg. Perlakuan diberikan satu kali dengan cara penyuntikan hormon ke dalam jaringan pada bagian otot dibawah sirip punggung (intramuscular). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan P3 berhasil menginduksi ikan untuk ovulasi dan memijah tanpa pengurutan, sedangkan pada perlakuan P4 ikan memijah dengan cara pengurutan, dan pada P5 ikan tidak ovulasi dan tidak memijah. Perlakuan kombinasi hormon menyebabkan konsentrasi estradiol-17p dan testosteron plasma menurun yang menunjukkan tahap pematangan akhir. Lama waktu ovulasi tidak berbeda nyata yaitu berkisar antara 12,35±4,05 sampai 15,20±2,25 jam, sedangkan jumlah telur yang diovulasikan tertinggi adalah 145.865butir pada perlakuan kombinasi hormon P3 (AI + Oksitosin + Ovaprim + Pgf2a).
Induction on gonadal maturation of male striped catfish Pangasianodon hypopthalmus (Sauvage, 1878) using Javanese long pepper extract Piper retrofractum Vahl. enriched feed Yeni Elisdiana; Dinar Tri Soelistyowati; Widanarni Widanarni
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 16 No 1 (2016): February 2016
Publisher : Masyarakat Iktiologi Indonesia (Indonesian Ichthyological Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32491/jii.v16i1.47

Abstract

Javanese long pepper is an aphrodisiac plants that have hormonal effects. This study aimed to evaluate the using of Javanese long pepper extract (JLPE) enriched feed to accelerate the gonadal maturation of male striped catfish. The dose 37.5 and 187.5 mg kg body weight-1 day-1 JLPE enriched feed were given on treatments compared to 17-a methyl testosterone (50 ^g kg body weight-1 week-1) and control. The treatments were given for 8 weeks on male striped catfish fish weighed 250±18.6 g. Gonadosomatic index of JLPE treatment higher than control since the second week (p<0.05), also testosterone levels in 187.5 mg kg body weight-1 day-1 JLPE treatment to control (p<0.05). The spermatozoa dispersion reached 75% in JPLE treatment higher than control (p<0.05), althought there was not significant difference on spermatocrite level (p> 0.05). Therefore, JLPE treatment at dose 187.5 mg kg body weight-1 day-1 increased the reproductive performance and sperm quality of male striped catfish. Abstrak Cabe jawa merupakan salah satu tanaman yang memiliki efek hormonal sebagai afrodisiak. Penelitian ini bertujuan un-tuk mengevaluasi pemberian ekstrak cabe jawa (ECJ) melalui pakan terhadap akselerasi pematangan gonad ikan patin siam jantan. Perlakuan yang diberikan meliputi ECJ dengan dosis 37,5 dan 187,5 mg kg ikan-1 hari-1, dibandingkan dengan 17-a Metiltestosteron (50 ^g kg ikan-1 minggu-1) dan kontrol selama 8 minggu. Perlakuan ECJ menunjukkan in-deks kematangan gonad lebih tinggi dibandingkan kontrol sejak minggu ke-2 (p<0,05). Kadar testosteron darah pada perlakuan ECJ 187,5 mg kg ikan-1 hari-1 lebih tinggi dibandingkan kontrol (p<0,05). Pada minggu ke-8, sebaran spermatozoa perlakuan ECJ mencapai 75%, sedangkan sebaran spermatozoa kontrol kurang dari 50%. Kepadatan, volume, dan motilitas sperma perlakuan ECJ dan 17a-metiltestosteron lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (p<0,05) pada minggu ke-8, namun kadar spermatokrit menunjukkan hasil yang sama (p>0,05). Perlakuan ECJ 187,5 mg kg ikan'1 hari-1 meningkatkan performa reproduksi dan kualitas sperma ikan patin siam jantan.
Spectrum manipulation on growth and color quality of juvenile clown loach Chromobotia macracanthus Bleeker Annisa Khairani Aras; Kukuh Nirmala; Dinar Tri Soelistyowati; Sudarto Sudarto
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 16 No 1 (2016): February 2016
Publisher : Masyarakat Iktiologi Indonesia (Indonesian Ichthyological Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32491/jii.v16i1.48

Abstract

This study aimed to evaluate the performance light spectrum on growth and color quality of juvenile clown loach. The experiment design was a completely randomize design with three replications i.e. R (negative control with room light tube lamp), P (positive control with LED white), M (LED red), H (LED green) and B (LED blue). The juveniles of clown loach with total length (TL) of 3.88±0.19 cm ind-1, standard length (SL) of 3.38±0.19 cm ind-1 and body weight of 0.61±0.11 g ind-1 was rearing with density 18 inds aquarium-1 and fed with blood worm. The best growth performance was found in LED green with survival rate of 96.29±3.21 %, specific growth rate of 2.35±0.27 %, the weight growth of 0.030±0.003 g ind-1 day-1, the growth of total length (TL) 1.69±0.11 cm, the growth of standard length (SL) 1.66±0.29 cm and efficiency of feed 2.90±0.15%. The best color quality performance of botia juvenile was found in LED red based on Toca color quality finder (TFC) for average scoring on body color 35.90, pectoral fin of 42.20 and caudal fin of 38.30, visual color diversity on body color of 41.61±0.57 %, pectoral fin color 75.22±2.69 %, and caudal fin color 67.87±3.89 % and chromatophores cells of 361 cells. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi spektrum cahaya terhadap pertumbuhan dan kualitas warna yuwana ikan botia. Penelitian ini menggunakan RAL (rancangan acak lengkap) yang terdiri atas lima perlakuan dengan tiga ulangan yaitu R (kontrol negatif dengan cahaya ruang lampu tube), P (kontrol positif dengan LED putih), M (LED merah), H (LED hijau), dan B (LED biru). Yuwana ikan dengan panjang total (PT) 3,88±0,19 cm ekor-1, panjang baku 3,38±0,19 cm ekor-1, dan bobot 0,61±0,11 g ekor-1 dipelihara dengan padat tebar 18 ekor per akuarium serta diberi pakan cacing darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter pertumbuhan yang terbaik diperoleh pada perlakuan LED hijau dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 96,29±3,21%, laju pertumbuhan harian sebesar 2,35±0,27%, pertumbuhan bobot sebesar 0,030±0,003 g ekor-1 hari-1, pertumbuhan panjang total (PT) sebesar 1,69±0,11 cm, pertumbuhan panjang baku sebesar 1,66±0,29 cm, dan efisiensi pakan sebesar 2,90±0,15%. Parameter kualitas warna yang terbaik diperoleh perlakuan LED merah dengan peringkat warna Toca color finder (TFC) pada warna perut sebesar 35,90, sirip dada sebesar 42,20 dan sirip ekor sebesar 38,30, keragaan warna visual pada warna perut sebesar 41,61±0,57 %, warna sirip dada sebesar 75,22±2,69 %, dan sirip ekor sebesar 67,87±3,89 % serta jumlah sel kromatofora sebesar 361 sel.
Sex reversal mechanism in Nile tilapia Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758) by manipulation of aromatase gene expression Upmal Deswira; Agus Oman Sudrajat; Dinar Tri Soelistyowati
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 16 No 1 (2016): February 2016
Publisher : Masyarakat Iktiologi Indonesia (Indonesian Ichthyological Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32491/jii.v16i1.50

Abstract

Sex reversal is a sex conversion technique to be male or female. This research was conducted to evaluate the mechanism of sex reversal in tilapia on the use of aromatase inhibitors (AI), honey and pesticide. The eye spot embryo of Nile tilapia was immersed into those solutions and examined the expression of aromatase gene and sex ratio. The sex reversal was carried out by immersion of eye spot embryo for 24 hours using 20 mg L-1 AI (imidazole), 10 ml L-1 honey (Perhutani, longan flower), and 1 ^L L-1 pesticide (Decis: deltamethrin 25 g L-1). Aromatase gene expression was analyzed on 1st and 8th day after treatment. Larvae were reared until 75 days-old. The level of gene expression of ovarian type aromatase in imidazole, honey, and pesticide treatment on 1st day after treatment were lower than control. While, on 8th day the lowest level of gene expression was on imidazole treatment and the highest was on pesticide treatment. The results indicated that masculinization occurred in imidazole treatment and feminization occurred in pesticide treatment which showed by male percentage that significantly different from the control (p<0.05). The male percentage of control, imidazole, honey, and pesticide were 68.32%, 80.77%, 70.93% and 50.45%, respectively. Honey treatment was not significantly different from control. In conclusion, sex reversal was influenced by modulation of gene expression of ovarian type aromatase, the increasing of gene expression of ovarian type aromatase caused feminization, and otherwise the decreasing of gene expression caused masculinization in early development stage of nile tilapia. Abstrak Alih kelamin merupakan suatu teknik pengalihan kelamin menjadi jantan atau betina. Penelitian ini bertujuan mengeva-luasi mekanisme alih kelamin ikan nila pada penggunaan penghambat aromatase, madu, dan pestisida. Ikan nila fase bintik mata direndam dalam tiga larutan tersebut dan diamati ekspresi gen aromatase dan nisbah kelaminnya. Peren-daman dilakukan selama 24 jam menggunakan penghambat aromatase (imidazole) 20 mg L-1, madu (Perhutani, bunga kelengkeng) 10 ml L-1, dan pestisida (Decis: deltametrin 25 g L"1) 1 ^L L-1. Kemudian dilakukan analisis ekspresi gen aromatase pada hari ke-1 dan ke-8 setelah perlakuan. Selanjutnya larva dipelihara sampai berumur 75 hari. Tingkat ekspresi gen aromatase tipe ovari perlakuan imidazole, madu, dan pestisida pada hari ke-1 setelah perlakuan lebih rendah dibandingkan kontrol. Pada hari ke-8 tingkat ekspresi gen paling rendah pada perlakuan imidazole sedangkan yang paling tinggi pada perlakuan pestisida. Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi proses maskulinisasi pada perlakuan imidazole dan feminisasi pada perlakuan pestisida yang diketahui dari persentase jantan berbeda nyata dibandingkan dengan control (p<0,05). Nilai persentase jantan pada perlakuan kontrol, imidazole, madu, dan pestisida secara berurutan yaitu 68,32%, 80,77%, dan 50,45%. Perlakuan madu tidak berbeda nyata dengan kontrol. Disimpulkan bahwa alih kelamin dipengaruhi oleh perubahan ekspresi gen aromatase tipe ovari, peningkatan ekspresi gen aromatase tipe ovari menyebabkan feminisasi, sebaliknya penurunan ekspresi gen menyebabkan maskulinisasi di perkembangan awal larva ikan nila.
Phenotypes performance of tilapia best, nirwana II, jatimbulan, and sultana using floating net, and pond culture system Ibrahim Satrio Faqih; Dinar Tri Soelistyowati; Odang Carman
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol 15 No 3 (2015): October 2015
Publisher : Masyarakat Iktiologi Indonesia (Indonesian Ichthyological Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32491/jii.v15i3.55

Abstract

Tilapia is one of the introduced fish species in Indonesia and was firstly imported from Taiwan in 1969. Since that time, many efforts have been made to increase its quality through genetic improvement. Some strains of tilapia have been successfully generated such as best, nirwana II, jatimbulan and sultana. In sustainable aquaculture, success of culture production depends on good environmental conditions and water quality. The aim of this study was to evaluate the phenotype performances of four strains of tilapia obtained through selective breeding reared in floating net and ponds. A completely randomized designs with two factors were used in this research, i.e. strains of tilapia and culture system with three replicates. Fifty fish with an average body length of 3-5 cm was reared in ponds and floating net 2 x 2 x 1 m, fed daily in the morning and afternoon during the experiment. Twenty fish from each strain were sampled in every two weeks and fish body length and body weight were measured. Truss morphometric measurement was conducted after 12 weeks of rearing process. The results showed that sultana strain has the highest growth rate, jatimbulan and best strains have the similar survival and feed conversion rates, while the highest biomass was found in the best strain. The nirwana II has the lowest survival rate (18%), but this strain showed the highest feed efficiency. Culture system affects the phe-noltypic variance of truss morphometric, viz. eleven characters in floating net and two characters in pond specimens. Abstrak Nila di Indonesia merupakan ikan introduksi yang didatangkan dari Taiwan pertama kali pada tahun 1969. Dalam peri-ode yang cukup lama, upaya peningkatan kualitas benih ikan dilakukan secara terus menerus melalui perbaikan mutu genetik. Beberapa strain ikan nila yang telah dihasilkan di antaranya nila best, nirwana II, jatimbulan, dan sultana. Da-lam kegiatan perikanan budi daya yang berkelanjutan, faktor lingkungan dan kualitas perairan merupakan pembatas ke-berhasilan usaha budi daya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keragaan fenotipe empat strain ikan nila hasil pemuliaan pada sistem budi daya karamba jaring apung (KJA) dan kolam air tenang. Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial yang terdiri atas faktor empat strain ikan nila dan faktor sistem bu-di daya yaitu KJA dan kolam air tenang. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Tiap wadah kolam dan KJA ber-ukuran 2 x 2 x 1 m3 dimasukkan benih sebanyak 50 ekor berukuran 3-5 cm, dan diberi pakan pada pagi dan sore selama masa pe-meliharaan. Setiap dua minggu dilakukan sampling masing-masing strain 20 ekor untuk pengamatan panjang dan bo-bot. Setelah 12 minggu pemeliharaan dilakukan pengukuran truss morfometrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan nila strain sultana memiliki laju pertumbuhan tertinggi, jatimbulan memiliki tingkat kelangsungan hidup dan kon-versi pakan yang sama dengan best, biomassa tertinggi dicapai pada nila best, sementara nirwana II memiliki kelang-sungan hidup yang paling rendah (18%) namun memiliki efisiensi pakan yang terbaik. Sistem pemeliharaan memenga-ruhi peningkatan ragam fenotipe truss morfometrik yakni 11 karakter di KJA dan dua karakter di kolam air tenang.
Co-Authors , Alimuddin , Rahman, , Achmad Sudradjat Agus Oman Sudrajat Ahmad Fahrul Syarif Ahmad Muzaki Ahmad Teduh Akbar, Muhamad Saepul Aldilla Kusumawardhani, Aldilla Alimuddin Alimuddin Alimuddin Alimuddin Alimuddin Alimuddin Alimuddin Alimuddin Alimuddin Alimuddin Alimuddin Alimuddin Anang Hari Kristanto Anang Hari Kristanto Aras, Annisa Khairani Arifah Ambarwati Asep Bulkini Bagus Rahmat Basuki Daniel Djokosetiyanto Dendi Hidayatullah, Dendi Deni Radona Deni Radona Dian Hardiantho Dian Hardianto Didik Ariyanto Didik Ariyanto Donny Prariska Eddy Supriyono Edison, Thomas Erlania Erlania Euis Rakhmawati Fajar Maulana . Farah Diana Fauzan, Agung Luthfi Firmansyah, Rodhi Fitriyah Husnul Khotimah Fitriyah Husnul Khotimah Flandrianto S. Palimirmo Gleni Hasan Huwoyon Gleni Hasan Huwoyon Gleni Hasan Huwoyon, Gleni Hasan Gloria I. Satriani Gloria Ika Satriani Gloria Ika Satriani Gunawan, Bambang Kusmayadi Gusti Ngurah Permana Guttifera Hafidah, Riva Hafif Syahputra Hanggara, Yudha Harton Arfah Haryanti Haryanti Haryanti Haryanti Helena Sahusilawane Herjayanto, Muh. Hidayatush Sholihin Ibrahim Satrio Faqih Ibrahim, Yusran Ida Ayu Amarilia Dewi Murni Imron Imron, Imron Indah Mastuti Intan Putriana Irin Iriana Kusmini Irin Iriana Kusmini Irin Iriana Kusmini Irin Iriana Kusmini Irin Iriana Kusmini Irin Iriana Kusmini, Irin Iriana Irwan Irwan Irzal Effendi Iskandariah Iskandariah Iskandariah, Iskandariah Kesit Tisna Wibowo Ketut Mahardika Ketut Sugama Ketut Sugama Komar Sumantadinata Kukuh Nirmala Ligaya I. T. A. Tumbelaka M. H. Fariduddin Ath-thar M. Syukur M. Zairin Junior Mahardhika, Prana Mahdaliana, Mahdaliana Melta Rini Fahmi MH. Fariduddin Ath-thar Mia Setiawati Muh. Herjayanto Muhamad Syukur Muhammad Fadlan Furqon Muhammad Hunaina Fariduddin Ath-thar Muhammad Sami Daryanto Muhammad Zairin Jr Muhammad Zairin Jr. Muhmmad Agus Suprayudi Muliari Muliari Mulyasari Mulyasari Nopri Yanto Odang Carman Oktaviani, Tia Peni Pitriani Poppy Dea Bertha, Poppy Dea Prana Mahardhika Prassetyo Dwi Dhany Wijaya Rahmadani Rahmadani Ratu Siti Aliah Raudhatus Sa'adah Rezki, Dinda Wahyu RIDWAN AFFANDI Rinaldi Rinaldi Rini Susilowati Riva Hafidah Rizki Eka Puteri Ronny Rachman Noor Ruby Vidia Kusumah Rudhy Gustiano Rudhy Gustiano Rudhy Gustiano Rudhy Gustiano Rudhy Gustiano Rudhy Gustiano Rudhy Gustiano Rudhy Gustiano Rudhy Gustiano Safira Qisthina Ayuningtyas, Safira Qisthina Sahusilawane, Helena Afia Sandra, Aan Aryanti Sari Budi Moria Sembiring Sari Budi Moria Sembiring Selly Ratna Sari Sri Nuryati Sri Sundari Sudarto Sudarto Syahril, Alfis Tia Oktaviani Upmal Deswira Vitas Atmadi Prakoso Wahyutomo Wahyutomo Wahyutomo, Wahyutomo Wicaksono, Aryo Wenang WIDANARNI WIDANARNI Wildan Nurussalam Wiyoto Wiyoto Yeni Elisdiana Yogi Himawan