Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search
Journal : Jurnal Riset Akuakultur

TOKSISITAS AKUT NONILPHENOL PADA STADIA AWAL IKAN NILA, Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758) DAN IKAN KOMET, Carassius auratus (Linnaeus, 1758) Muhamad Yamin; Eddy Supriyono; Kukuh Nirmala; Muhammad Zairin Jr.; Enang Haris; Riani Rahmawati
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 1 (2017): (Maret 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (496.95 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.1.2017.77-84

Abstract

Ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ikan komet (Carassius auratus) adalah komoditas ikan konsumsi dan ikan hias air tawar yang paling banyak dibudidayakan masyarakat Indonesia. Namun keberadaan bahan pencemar seperti nonilphenol dapat mengancam produktivitas kegiatan budidaya ikan tersebut karena dapat menyebabkan gangguan perkembangan bahkan kematian khususnya pada tahap awal perkembangan ikan (early development stage). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat toksisitas akut median lethal concentration (LC50) nonilphenol pada larva ikan nila dan ikan komet. Penelitian dilakukan di laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BPPBIH) Depok. Penelitian terdiri atas uji mencari nilai kisaran (range finding test/RFT) dan dilanjutkan dengan uji akut. Level konsentrasi nonilphenol diatur berdasarkan deret logaritmik di mana untuk RFT menggunakan konsentrasi 0,01; 0,10; dan 1,00 mg/L; sedangkan level konsentrasi nonilphenol untuk uji akut ditentukan dari hasil RFT. Hasil analisis probit menujukkan nilai LC50 nonilphenol pada jam ke-96 pada larva ikan nila dan ikan komet berturut-turut berada pada konsentrasi nonilphenol 0,33 dan 0.10 mg/L. Sementara kematian 100% (LC100) larva ikan nila dan ikan komet pada jam ke-96 masing-masing berada pada konsentrasi 0,61 dan 0,50 mg/L. Merujuk pada kriteria toksisitas bahan dari Komisi Pestisida Departemen Pertanian, maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nonilphenol tergolong dalam bahan berbahaya dengan daya racun yang sangat tinggi.Nile tilapia (Oreochromis niloticus) and comet goldfish (Carassius auratus) are the major fresh water fish commodities in Indonesia used for both consumption and ornamental fish. However, production of the fish threatened by the presence of nonylphenol which can interfere with early development stage. Research objectives were to evaluate acute toxicity of nonylphenol to larval of nile tilapia and comet goldfish and to compare median lethal concentration (LC50). Research was carried out in the RDIOF, Depok. Experiments consisted of range finding test/RFT and accute test. Nonylphenol concentrations of RFT were 0.01, 0.10, and 1.00 mg/L. The results showed that LC50-96 hours of tilapia and comet were 0.33 and 0.10 mg/L respectivelly. Total mortality (LC100-96 hours) for tilapia and comet were 0.61 and 0.50 mg/L respectivelly. These results of nonylphenol concentrations, according to toxic level criteria by The Department of Agriculture’s Pesticide Commission, is categorized as dangerous goods with very high level of toxicity.
EVALUASI PENGGUNAAN JENIS SELTER BERBEDA TERHADAP RESPONS STRES DAN KINERJA PRODUKSI PENDEDERAN LOBSTER AIR TAWAR Cherax quadricarinatus DALAM SISTEM RESIRKULASI Arif Faisal Siburian; Kukuh Nirmala; Eddy Supriyono
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 4 (2018): (Desember 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.738 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.4.2018.297-307

Abstract

Sintasan yang rendah pada pembenihan lobster air tawar tidak terlepas dari karakteristik lobster air tawar yang teritorial pada areal yang terbatas, sering menunjukkan sifat agresif pada umur muda, dan memiliki perilaku kanibalisme. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh penggunaan selter yang berbeda terhadap respons stres dan kinerja produksi sehingga dapat menentukan jenis selter yang tepat untuk pendederan lobster air tawar Cherax quadricarinatus. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan pada penelitian ini adalah penggunaan selter yang berbeda yakni pipa PVC, roster (ventilasi blok), tali rafia, dan tanpa selter (kontrol). Benih lobster air tawar yang digunakan memiliki bobot rata-rata awal berkisar antara 0,60±0,09-0,64±0,02 g dan panjang total rata-rata awal berkisar antara 2,55±0,06-2,61±0,03 cm yang dipelihara dalam sistem resirkulasi selama 60 hari. Perlakuan dengan penggunaan selter ataupun tanpa selter (kontrol) tidak memberikan pengaruh signifikan (P>0,05) terhadap respons stres, namun memberikan pengaruh signifikan (P<0,05) pada kinerja produksi benih lobster air tawar di akhir penelitian. Perlakuan terbaik pada penelitian ini adalah penggunaan selter tali rafia dengan kadar glukosa sebesar 101,00±17,35 mg/dL; protein total sebesar 5,00±0,36 g/dL; sintasan sebesar 86,67± 0,00%; bobot rata-rata akhir sebesar 2,86-3,46 g; panjang total rata-rata akhir sebesar 4,47-5,08 cm; laju pertumbuhan bobot spesifik sebesar 2,92±0,21%/hari; laju pertumbuhan panjang spesifik sebesar 1,15±0,08%/hari; rasio konversi pakan sebesar 2,97±0,05; dan biomassa total sebesar 45,02±1,10 g. Penggunaan tali rafia sebagai selter menjadi perlakuan yang terbaik karena kemampuan tali rafia memisahkan banyak individu sehingga dapat mengurangi kanibalisme dengan cara meminimalkan kontak antarbenih lobster air tawar.The low survival rate in seed production of freshwater crayfish is mainly caused by the territorial behavior of freshwater crayfish which leads to aggressiveness and cannibalism behavior even at a young age. This research aimed to determine the effect of using different nursery shelters on stress responses and production performance of freshwater crayfish Cherax quadricarinatus. This research used a completely randomized design consisted of four treatments, each with triplicate. The treatments used were different shelters made from PVC pipes, ventilation blocks, raffia ropes, and no shelters as controls. The freshwater crayfish seeds had initial weights ranged from 0.60±0.09-0.64±0.02 g, and total length ranged from 2.55±0.06-2.61±0.03 and reared in a recirculation system for 60 days. The results of the research showed that all treatments including controls did not have a significant effect (P>0.05) on stress responses but had a significant effect (P<0.05) on the production performance of freshwater crayfish seed at the end of this research. The seeds reared with raffia ropes shelter had the best production performance indicated by its glucose level of 101.00±17.35 mg dL1, total protein level of 5.00±0.36 g dL1, survival rate of 86.67 ± 0.00%, final average weight of 3.46 ± 0.08 g, final average total length of 5.08 ± 0.12 cm, specific weight growth rate of 2.92±0.21% per day, specific length growth rate of 1.15± 0.08% per day, feed conversion ratio of 2.97±0.05, and total biomass of 45.02±1.10 g. The use of raffia ropes is considered as the best shelter for freshwater crayfish seed as it provides more space to separate individual seeds which can reduce cannibalism behaviour due to minimum contact between individual seeds.
RESPONS FISIOLOGIS DAN KINERJA PERTUMBUHAN IKAN NILA PADA MEDIA RENDAH AMONIA DAN DIBERI SUPLEMEN ASAM GLUTAMAT Titin Kurniasih; Dedi Jusadi; Muhammad Agus Suprayudi; Sri Nuryati; Muhammad Zairin Jr.; Eddy Supriyono
Jurnal Riset Akuakultur Vol 15, No 3 (2020): (September, 2020)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.117 KB) | DOI: 10.15578/jra.15.3.2020.175-183

Abstract

Ketika dipapar media tinggi amonia, ikan nila mengalami perubahan metabolisme asam amino yang cukup signifikan, dan suplementasi asam glutamat berguna untuk memperbaiki perubahan yang merugikan akibat paparan amonia. Akan tetapi informasi mengenai aspek metabolisme asam amino pada ikan nila yang dipapar amonia rendah masih sangat terbatas. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi asam glutamat pada ikan nila merah yang dipelihara pada media budidaya rendah amonia terhadap respons fisiologis dan kinerja pertumbuhan. Ikan nila dengan bobot rata-rata 9,97 ± 0,38 g ditebar sebanyak 20 ekor pada setiap akuarium (padat tebar 1,0 g L-1). Empat jenis pakan isoprotein (kadar protein 28%) dan isoenergi (4245 ± 22,48 kkal kg-1) disuplementasi asam glutamat masing-masing sebanyak 0% (Glu 0), 0,75% (Glu 0,75), 1,5% (Glu 1,5) dan 2,25% (Glu 2,25). Setiap perlakuan diberi empat ulangan. Penelitian ini dilakukan selama 60 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan yang ditambah glutamat memberi efek pada respon fisiologis ikan. Aktivitas enzim aspartate aminotransferase (AST) pada Glu 2,25 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yang menjadi indikasi penurunan beban kerja hati. Ada kecenderungan peningkatan kadar aspartat, alanin, leusin, isoleusin dan valin pada jaringan hati seiring dengan meningkatnya kadar suplementasi asam glutamat. Di dalam penelitian ini, kinerja pertumbuhan ikan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Kesimpulannya adalah bahwa konsumsi pakan yang ditambah asam glutamat 2,25% mampu memperbaiki respons fisiologis ikan akibat menurunnya beban kerja hati yang dicirikan dengan penurunan nilai AST, serta meningkatnya kandungan beberapa asam amino hati, walau belum mampu memperbaiki kinerja pertumbuhan dan pemanfaatan pakan oleh ikan nila. Informasi ini berguna untuk pengembangan riset terkait aspek metabolisme asam amino pada ikan nila yang terpapar media tinggi amonia.When exposed to high ammonia aquatic environment, nile tilapia experienced a significant change in hepatic amino acid metabolism and glutamic acid supplementation can reduce the effects of the adverse change. However, there are no sufficient information on the amino acid metabolisme of tilapia exposed to low environmental ammonia. This research was performed to evaluate the effects of oral supplementation of glutamic acid on the aminotransferase enzymes activity and growth performance of red tilapia reared in low environmental ammonia (LEA) with NH4 concentration of 0.10 mg L-1. Fish with an average weight of 9.97 ± 0.38 g were stocked with an initial rearing density of 1.0 g L-1(20 fish in each aquarium). Four isonitrogenous (crude protein 28%) and isocaloric (4246 ± 22.48kcal kg-1) experimental diets were prepared with supplementation of different ratios of glutamic acid at 0% (Glu0), 0.75% (Glu0.75), 1.5%(Glu1.5) and 2.25 % (Glu2.25) to feed, respectively. All treatment groups were arranged quadruplicate. Fish were fed with the diets for 60 days. The results showed that the supplementation of glutamic acid in the diet affected the physiological response of the fish. The aspartate aminotransferase (AST) activity of Glu2.25 was significantly lower compared to that of the other treatments, which indicated a decrease in liver workload. There is a tendency of increased levels of hepatic free aspartate, alanine, leucine, isoleucine, and valine following the increase of glutamic acid supplementation level. The fish growth performance was insignificantly different between the treatments. It is concluded that a diet supplemented with 2.25% of glutamic acid could improve the physiological response of red tilapia, although no significant growth improvement should be expected. These research finding could serve as an important basic information for future research on amino acid and endogenous ammonia metabolism in nile tilapia exposed to high ammonia aquatic environment.
PERFORMANSI PERTUMBUHAN IKAN BANDENG DENGAN PEMBERIAN PAKAN TEPUNG BIOFLOK YANG DISUPLEMENTASI ASAM AMINO ESENSIAL Usman Usman; Enang Harris; Dedi Jusadi; Eddy Supriyono; Munti Yuhana
Jurnal Riset Akuakultur Vol 9, No 2 (2014): (Agustus 2014)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (362.513 KB) | DOI: 10.15578/jra.9.2.2014.271-282

Abstract

Bioflok merupakan campuran heterogen dari mikroba, partikel, koloid, polimer organik, kation yang saling berintegrasi dan memiliki kandungan nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh ikan bagi pertumbuhannya. Namun beberapa kandungan asam amino esensial (AAE) tepung bioflok seperti histidine, lysine, dan methionine masih defisiensi untuk ikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan tepung bioflok yang disuplementasi beberapa asam amino esensial sebagai pakan ikan bandeng. Ikan uji yang digunakan adalah yuwana bandeng berukuran rata-rata 18,4 g yang dipelihara dalam bak serat kaca bervolume 250 L dengan kepadatan awal 15 ekor/bak, selama 60 hari. Perlakuan yang dicobakan adalah jenis pakan berupa: (A) tepung bioflok + asam amino esensial (histidine, lysine, dan methionine), (B) tepung bioflok, dan (C) pakan komersil, masing-masing 3 ulangan yang didisain dengan rancangan acak lengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan dan konsumsi pakan harian kedua pakan uji bioflok lebih rendah daripada pakan komersil. Laju pertumbuhan ikan, efisiensi pakan, efisiensi protein, retensi protein, retensi lemak, dan retensi methionine berbeda nyata (P<0,05) di antara perlakuan dan tertinggi terjadi pada ikan yang diberi pakan komersil diikuti berturut-turut pakan tepung bioflok + AAE dan terendah pakan tepung bioflok. Laju eskresi total ammonia nitrogen pada ikan yang diberi pakan tepung bioflok + AAE cenderung memiliki nilai yang lebih rendah daripada ikan yang diberi pakan tepung bioflok saja dan pakan komersil. Penambahan asam amino esensial (histidine, lysine, dan methionine) dalam tepung bioflok mampu memperbaiki pemanfaatan protein bioflok untuk pertumbuhan ikan bandeng.
PENGARUH MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PEMANFAATAN BIOFLOK UNTUK PERTUMBUHAN IKAN BANDENG Usman Usman; Neltje Nobertine Palinggi; Enang Harris; Dedi Jusadi; Eddy Supriyono
Jurnal Riset Akuakultur Vol 6, No 3 (2011): (Desember 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.27 KB) | DOI: 10.15578/jra.6.3.2011.433-445

Abstract

Upaya konversi limbah budidaya ikan menjadi bioflok mulai banyak dilakukan oleh pembudidaya untuk memperbaiki kualitas air dan menekan biaya pakan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan bioflok sebagai makanan ikan bandeng melalui pengaturan dosis pemberian pakan. Perlakuan yang dicobakan adalah ikan uji dipelihara dengan: (A) bioflok tanpa diberi pemberian pakan buatan, (B) bioflok + pakan buatan sebanyak 2,5% per hari, (C) bioflok + pakan buatan sebanyak 5% perhari, (D) pemberian pakan buatan sebanyak 5%/hari tanpa bioflok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan bandeng ukuran awal rata-rata 1,6 g yang hanya diberi bioflok dapat tumbuh dengan laju pertumbuhan 1,82%/hari, namun laju pertumbuhan ini masih lebih rendah dibandingkan yang diberi pakan buatan 5%/hari yaitu 2,01%/hari. Tanpa memperhitungkan jumlah pemberian molase, ikan yang diberi pakan buatan sebanyak 2,5%/hari dalam media bioflok, dapat meningkatkan efisiensi pakan sebanyak 58,5% dan efisiensi pemanfaatan protein sebanyak 59,2%. Kandungan TAN, nitrit dan oksigen terlarut dalam media budidaya cukup baik bagi pertumbuhan ikan bandeng.
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN Moina sp. SEBAGAI PAKAN AWAL PADA PEMELIHARAAN LARVA IKAN GABUS Channa striata DENGAN SISTEM AIR HIJAU Adang Saputra; Dedi Jusadi; Muhammad Agus Suprayudi; Eddy Supriyono; Mas Tri Djoko Sunarno
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 3 (2018): (September 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.119 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.3.2018.239-249

Abstract

Ikan gabus Channa striata merupakan salah satu komoditas ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Kendala dalam pengembangan budidaya ikan gabus adalah tingginya tingkat kematian pada stadia pemeliharaan larva. Tingginya kematian pada stadia larva karena kecukupan jumlah pakan dan nutrisi pakan awal yang tidak optimum. Tujuan percobaan adalah menentukan frekuensi pemberian Moina sp. yang tepat sebagai pakan awal pada pemeliharaan larva ikan gabus pada sistem air hijau (dengan menambahkan Chlorella sp.). Penelitian dirancang dengan rancangan acak lengkap. Perlakuan yang diberikan adalah frekuensi pemberian Moina sp. per hari sebagai pakan awal: A. enam kali tanpa pemberian Chlorella sp. (kontrol), B. enam kali + Chlorella sp., C. empat kali + Chlorella sp., dan D. dua kali + Chlorella sp. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pakan awal dari jenis Moina sp. pada pemeliharan larva ikan gabus pada sistem air hijau dengan frekuensi pemberian dua, empat, dan enam kali dalam sehari memberikan performa sintasan (93,42%-94,29%) dan pertumbuhan tidak berbeda secara nyata (P>0,05). Frekuensi pemberian Moina sp. sebanyak dua kali sehari merupakan perlakuan yang efektif untuk sintasan dan pertumbuhan larva ikan gabus pada pemeliharaan dengan sistem air hijau.Snakehead fish Channa striata is one of the highly-valued freshwater fish commodity. However, its aquaculture development is hampered by a high mortality during larval stage rearing. This high mortality is suspected to be caused by insufficient quantity and quality of food. The purpose of this study was to determine the appropriate feeding frequency using Moina sp. as an initial food for snakehead fish larvae reared in a green water system (Chlorella sp.). A completely randomized design was arranged for this experiment where the treatments consisted of different feeding frequencies of Moina sp. given to the larvae as follows: A) six times a day without the addition of Chlorella sp. (control); B) six times a day with the addition of Chlorella sp.; C) four times a day with the addition of Chlorella sp.; and D) two times a day with the addition of Chlorella sp. The results of the experiment showed that the survival rate (93.42%- 94.29%) and growth of the larvae reared in the green water system with were not significantly different (P>0.05). However, this study suggested that feeding frequency of two times per day was sufficient to support an optimum growth and survival of snakehead larvae reared in a green water system.
LAJU PENYERAPAN INSEKTISIDA TRIKLORFON PADA UDANG WINDU (Penaeus monodon) Petrus Rani Pong-Masak; Eddy Supriyono; Kukuh Nirmala; Santosa Koesoemadinata
Jurnal Riset Akuakultur Vol 1, No 1 (2006): (April 2006)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (626.52 KB) | DOI: 10.15578/jra.1.1.2006.105-113

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju penyerapan dan rasio biokonsentrasi insektisida triklorfon dalam tubuh udang windu pada tingkat konsentrasi pemaparan yang berbeda. Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium dengan Rancangan Acak Lengkap menggunakan akuarium. Bahan uji yang digunakan adalah formulasi insektisida triklorfon serta hewan uji adalah pasca larva udang windu. Perlakuan adalah tingkatan pemaparan insektisida triklorfon, yaitu 0,0037 mg/L; 0,0110 mg/L; dan 0,0183 mg/L dalam air laut bersalinitas 20 ppt. Analisis residu triklorfon dalam sampel udang windu dan air diekstraksi, kemudian diidentifikasi menggunakan kromatografi gas cairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju penyerapan insektisida triklorfon oleh udang windu pada perlakuan 0,0110 mg/L dan 0,0183 mg/L tidak berbeda nyata tetapi keduanya berbeda dengan perlakuan 0,0037 mg/L. Laju penyerapan secara berurutan sebesar 0,0049 mg/kg/jam; 0,0088 mg/kg/jam, dan 0,0086 mg/kg/jam masing-masing pada perlakuan 0,0037 mg/L; 0,0110 mg/L, dan 0,0183 mg/L. Rasio biokonsentrasi triklorfon dalam tubuh udang windu semakin kecil dengan meningkatnya konsentrasi triklorfon, yaitu dengan nilai 2,4545; 1,6132; dan 1,3373 masing-masing pada perlakuan 0,0037 mg/L: 0,0110 mg/L, dan 0,0183 mg/L.The experiment aimed to study the uptake and bioconcentration ratio of trichlorfon insecticide in tiger prawn at different exposure concentration. The study was conducted using the aquarium in the laboratory condition. Test material is trichlorfon insecticide and test animal is post larvae of tiger prawn. Treatments were 0.0037 mg/L, 0.0110 mg/L, and 0.0183 mg/L of trichlorfon insecticide by dissolved in water on 20 ppt. Shrimp and water sample were extracted then identified liquid gas chromatography. The results of the experiment shohwed that uptake of trichlorfon insecticide is not different at 0.0110 mg/L and 0.0183 mg/L and both are different with 0.0037 mg/L with the uptake rate are 0.0049, 0.0088 and 0.0086 mg/kg/h at 0.0037 mg/L, 0.0110 mg/L, and 0.0183 mg/L, respectively. Bioconcentration ratio of trichlorfon in tiger prawn were decreasing while treatment concentration was increasing, that are 2.4545, 1.6132, and 1.3373 at the treatment 0.0037 mg/L, 0.0110 mg/L, 0.0183 mg/L, respectively.
TOKSISITAS LETAL MOLUSKISIDA NIKLOSAMIDA PADA BENIH IKAN MAS (Cyprinus carpio) Yosmaniar Yosmaniar; Eddy Supriyono; Sutrisno Sutrisno
Jurnal Riset Akuakultur Vol 4, No 1 (2009): (April 2009)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (148.855 KB) | DOI: 10.15578/jra.4.1.2009.85-93

Abstract

Penggunaan moluskisida untuk menanggulangi hama dalam budidaya tanaman padi yang semakin meningkat berpotensi mencemari lingkungan perairan, karena mengandung residu dari bahan aktifnya. Moluskisida niklosamida (C13H8Cl2N2O4) merupakan bahan aktif pestisida yang digunakan untuk memberantas hama keong mas atau siput murbei (Pomacea sp.) di sawah. Dengan demikian, bahan tersebut memiliki potensi untuk mencemari lahan tempat usaha budidaya ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi toksisitas akut niklosamida terhadap benih ikan mas (Cyprinus carpio) yang ditunjukkan oleh nilai Median Lethal Concentration (LC50) 24, 48, dan 96 jam. Penelitian dilakukan di Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung-Bogor. Menggunakan ikan mas dengan bobot individu 2,47 ± 0,13 g. Moluskisida yang digunakan mengandung bahan aktif niklosamida 250g/L. Wadah pengujian berupa 21 unit akuarium kaca berukuran 40 cm x 20 cm x 20 cm yang dilengkapi aerasi serta saluran pemasukan dan pengeluaran. Jumlah ikan uji setiap wadah 10 ekor dengan peubah yang diukur adalah mortalitas ikan. Selama penelitian ikan tidak diberi makan. Tahapan penelitian terdiri atas penentuan nilai ambang atas-bawah, nilai lethal time dan LC50 -24, 48, 72, dan 96 jam. Data diolah dengan analisis probit program LC50. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LC50-24, 48, 72, dan 96 jam terhadap benih ikan mas adalah 0,8012 (0,7140—0,8990); 0,5999 (0,5356—0,6719); 0,4511 (0,4067—0,5004); dan 0,3849 mg/L (0,3684—0,4061). Hal ini menunjukkan niklosamida termasuk pestisida yang memiliki toksisitas sangat tinggi (golongan A).The use of molluscicide in aquatic as well as in terresterial agro ecosystem without properly controlled may produce detrimental effects on freshwater fisheries. Molluscicide utilization for golden apple snail (Pomacea sp.) control in rice field has increased. The ingredient potencially has a possibility to pollute aquaculture water. The experiment aimed to determine potency of lethal toxicity (LC50) 24, 48, 72, and 96 hours of niclosamide on common carp (Cyprinus carpio) fry. This research was conducted at Research Station for Enviroment and Toxicology, Cibalagung-Bogor by using molluscicide containing niclosamide of 250 EC. Twenty one glass aquaria of 40 cm x 20 cm x 20 cm in size filled with 10 L of water were used in this experiment equipped with water circulation system and stockted with 10 fry per aquarium. Parameter observed was the mortality of fry and water quality. The tested fish were not fed during the treatment. Preliminary research was performed by finding concentration range, lethal time  dan LC50 of 24, 48, 72, dan 96 hours. Data obtained was analyzed using LC50  probit analysis program. Result of the experiments indicated that the lethal toxicity (LC50) of niclosamide on common carp (Cyprinus carpio) fry were as follows: 24, 48, 72, and 96 hours which were 0.8012 (0.7140—0.8990), 0.5999 (0.5356—0.6719), 0.4511(0.4067—0.5004), and 0,3849 mg/L (0.3684—0.4061). The niclosamide is extremely toxic (classification A).
ANALISIS TINGKAT KECERNAAN PAKAN DAN LIMBAH NITROGEN (N) BUDIDAYA IKAN BANDENG SERTA KEBUTUHAN PENAMBAHAN C-ORGANIK UNTUK PENUMBUHAN BAKTERI HETEROTROF (BIOFLOK) Usman Usman; Neltje Nobertine Palinggi; Enang Harris; Dedi Jusadi; Eddy Supriyono; Munti Yuhana
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (510.627 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.3.2010.481-490

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kecernaan pakan dan beban limbah nitrogen (N) dan karbon organik (C) pada pembesaran ikan bandeng untuk dijadikan acuan penumbuhan bakteri heterotrof (bioflok). Pakan uji yang digunakan adalah pakan komersial yang memiliki kadar protein berbeda yaitu 17%, 21%, dan 26%. Pakan tersebut digiling ulang, lalu ditambahkan kromium oksida (Cr2O3) sebagai indikator kecernaan. Untuk menentukan total limbah N termasuk ekskresi amonia, dilakukan juga pemeliharaan ikan bandeng selama 45 hari dan menghitung retensi N. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan ketiga pakan tersebut tidak berbeda nyata yaitu antara 77,2%-78,2% untuk bahan kering; 88,6%-90,0% untuk protein; dan 81,6%-83,1% untuk C-organik. Namun total limbah N per 100 g pakan yang masuk ke perairan meningkat secara nyata dengan meningkatnya kadar protein pakan yaitu 2,27 g N untuk pakan berprotein 17%; 2,76 g N untuk pakan berprotein 21%; dan 3,28 g N untuk pakan berprotein 26%. Untuk mengkonversi limbah N dari budidaya bandeng ini menjadi bakteri heterotrof (bioflok), diperlukan aplikasi C-organik sebanyak 22,7 g; 27,6; dan 33 g per 100 g pakan berturut-turut untuk pakan yang berprotein 17%, 21%, dan 26%.This experiment was conducted to analyze the feed digestibility and nitrogen (N) waste of milk fish grow-out and assessment of organic-C addition to promote heterotrophic bacteria (biofloc). The three commercial diets were used containing different protein levels i.e. (A) 17%, (B) 21%, and (C) 26%. Chromic oxide was used as the digestibility marker. To assess the total nitrogen waste, the milk fish with initial weight of 48 g/fish were reared for 45 days and the protein retention was calculated. The results showed that the apparent digestibility of the all three tested diets was not significantly different (>0.05) i.e. 77.2%-78.2% for dry matter, 88.6%-90% for protein, and 81.6%-83.1% for organic-C. However, the total nitrogen waste per 100 g of feed released to the waters tended to increase with the increase of protein content of the feed, i.e. 2.27g N for 17% of diet protein content; 2.76 g N for 21% of diet protein content, and 3.28 g N for 26% of diet protein content. Conversion of the total N waste of milk fish grow-out to promote heterotrophic bacteria needed additional organic-C of 22.7 g; 27.6 g; 33 g per 100 g of feed which have 17%, 21%, and 26% protein contents.
TOKSISITAS NONILFENOL PADA BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN PHYTOREMEDIASI DENGAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) YANG DIBERI PUPUK BERBEDA Muhamad Yamin; Eddy Supriyono; Mulyasari Mulyasari
Jurnal Riset Akuakultur Vol 15, No 2 (2020): (Juni, 2020)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.738 KB) | DOI: 10.15578/jra.15.2.2020.69-79

Abstract

Beberapa tanaman air telah dilaporkan mampu meremediasi air yang tercemar senyawa berbahaya. Nonilfenol sebagai jenis surfaktan non ionik yang berbahaya perlu ditelaah potensi toksisitasnya bagi biota perairan dan mitigasi remediasinya menggunakan tanaman air. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan level toksisitas mematikan nonilfenol pada benih ikan nila (Oreochromis niloticus) dan upaya meremediasi menggunakan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang diberi pupuk berbeda. Perlakuan konsentrasi toksisitas nonilfenol adalah: kontrol, 0,4 mg/L, 0,5 mg/L, 0,63 mg/L, 0,80 mg/L dan 1,0 mg/L. Padat tebar ikan uji sebanyak dua puluh ekor benih pada tiap akuarium kaca yang berisi 40 L air. Pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 200%. Pengamatan kematian ikan dilakukan pada jam ke 2, 4, 6, 8, 10, 12, 24, 48, 72, dan 96. Tahapan berikutnya adalah remediasi nonilfenol dari media air menggunakan sistem resirkulasi dengan perlakuan: 1) kontrol air + nonilfenol 2,5 mg/L, 2) zeolite + nonilfenol 2,5 mg/L, 3) zeolit + tanaman air + nonilfenol 2,5 mg/L, 4) zeolite + tanaman air + pupuk kandang + nonilfenol 2,5 mg/L, dan 5) zeolite + tanaman air + pupuk hidroponik + nonilfenol 2,5 mg/L. Konsentrasi nonilfenol di air dianalisis menggunakan HPLC. Hasil uji menunjukkan bahwa nonilfenol menyebabkan kematian 100 % benih ikan nila dalam waktu kurang dari 48 jam pada konsentrasi 0,8 mg/L dengan nilai LC50-96 jam sebesar 0,58 mg/L. Remediasi media air yang mengandung nonilfenol dengan konsentrasi 2,5 mg/L menggunakan tanaman eceng gondok membutuhkan waktu 1 hari sedangkan tanpa tanaman membutuhkan waktu 2 hari atau lebih. Dengan nilai LC50-96 jam nonifenol di bawah 1.00 mg/L maka berdasarkan Kriteria Toksisitas Bahan dari Komisi Pestisida, Departemen Pertanian, Indonesia, maka nonilfenol tergolong dalam bahan berbahaya dengan daya racun yang sangat tinggi. Pengurangan konsentrasi nonilfenol sampai dengan 2.5 mg/L dapat dilakukan dengan menambahkan tanaman air eceng gondok (Eichhornia crassipes) pada sistem resirkulasiCertain species of aquatic plants are reported able to remediate water contaminated with harmful compounds. The toxicity of nonylphenol as one of the harmful non-ionic surfactants to farmed fish species has yet to be determined, including its remediation using aquatic plants. This study aimed to determine the lethal toxicity level of nonylphenol for Nile tilapia (Oreochromis niloticus) seeds and its remediation using water hyacinth plants (Eichhornia crassipes). The nonylphenol treatments were arranged by separately mixing water with 0.0 mg/L (control), 0.4 mg/L, 0.5 mg/L, 0.63 mg/L, 0.80 mg/L and 1.0 mg/L of nonylphenol. Twenty tilapia seeds were placed into each glass aquarium containing 40 L of freshwater that had already been mixed with the different concentrations of nonylphenol. Water exchange was done every day as much as 200% using water pre-mixed with the nonylphenol concentrations. Observation of fish mortality was carried out at 2, 4, 6, 8, 10, 12, 24, 48, 72, and 96 hours after the fish seeds were placed in the aquarium. The next stage experiment was the phytoremediation  of the water contaminated with different additions of nonylphenol in a recirculation system: nonylphenol 2.5 mg/L; nonylphenol 2.5 mg/L + zeolite; nonylphenol 2.5 mg/L + zeolite + water hyacinth; nonylphenol 2.5 mg/L + water hyacinth + zeolite + manure; and nonylphenol 2.5 mg/L + water hyacinth + zeolite + hydroponic fertilizer (AB mix). Nonylphenol concentrations in water were determined using the HPLC method. The results of the first stage experiment showed that nonylphenol caused 100% mortality rate of tilapia seeds in less than 48 hours at a concentration of 0.8 mg/L. The LC50-96 hour of nonylphenol on the Nile tilapia seeds was 0.58 mg/L. The complete remediation of 2.5 mg/L or less of nonylphenol using water hyacinth plants took one day while without plants took two days or more. Based on the Acute Aquatic Toxicity Criteria published by the Pesticide Commission of the Indonesian Agricultural Department, nonylphenol is categorized as a very high toxicity compound due to its LC50-96 h value of concentration less than 1.00 mg L-1. The results of this study provide evidence that water hyacinth (Eichhornia crassipes) system could remediate water with a concentration of nonylphenol up to 2.5 mg/L. 
Co-Authors . Sukenda . Sulistiono Adang Saputra Adang Saputra Adianto, Asep Agustinus Ngaddi Ahmad Ghufron Mustofa Ahmad Maksum Aisyah Lukmini Alexander Burhani Marda, Alexander Burhani Ali Djamhuri Amin Pamungkas Anang Hari Kristanto Ani Widiyati Ani Widiyati Anwar, Rifky Alwafi Any Widiyati Ardyen Saputra, Ardyen Arif Faisal Siburian Aris Darmansah Aris Darmansah Asep Rachmat Pratama Bambang Gunadi Bambang Gunadi Bambang Gunadi Bambang Priyo Utomo Berlianti . Budiyanti Cecep Kusmana Chrisliana, Chrisliana Dadang Shaffruddin Dadang Shafruddin Dadang Shafruddin Dadang Shafrudin Daniel Djokosetianto Daniel Djokosetianto Daniel Djokosetiyanto Darmawan, Ahmad Rumi DEDI JUSADI Dedi Pardiansyah Dewi Puspaningsih Diana Sriwisuda Putri Diana Sriwisuda Putri, Diana Sriwisuda Diki, Diki Dinamella Wahjuningrum Dinar Tri Soelistyowati Dini Wulandari Dody Sihono Donny Prariska Ee Ling, Yong Eka Rosyida Eko Harianto, Eko Enang H. Surawidjaja Enang Haris Enang Harris Enang Harris Enang Harris Enang Harris Enang Harris Enang Harris Enang Harris Enang Harris Surawidjaja Ernik Yuliana Eva Prasetiyono Failu, Ismail Faturochman, Ilman Fauziah Azmi Ferdinand Hukama Taqwa Fina Lestari Guttifera Hamim Hamim Hamzah, Aris Sando Hanif Azhara, Muhammad Harton Arfah Hendriana, Andri Humairani, Humairani I Wayan Nurjaya Idil Ardi Ima Kusumanti Iman Rusmana Iman Sari Lubis, Vina Imron Imron, Imron Ing Mokoginta Intan Wulandari Irzal Effendi Izhar Amirul Haq I’ana Rahma Salisa Jariyah, I’it Rohmatul Julie Ekasari Kukuh Adiyana Kukuh Adiyana Kukuh Adiyana Kukuh Adiyana Kukuh Adiyana Kukuh Adiyana, Kukuh Kukuh Nirmala Kukuh Nirmala Lesmana, Dudi Lies Setijaningsih Lila Antara, Kadek Lilik Sulistyowati Lina Warlina Listyarini, Sri Liubana, Debora Victoria Lolita Thesiana Lolita Thesiana M. Faisol Riza Ghozali M. Toelihere M. Yusuf Arifin M. Zairin Junior Maman Tocharman Mariam, Susanti Mariska Putri Nur Hidayah Mas Tri Djoko Sunarno Melati, Aulia Firda Mia Setiawati Moh. Burhanuddin Mahmud Muh. Saleh Nurdin Muhamad Dzikri Muhamad Yamin Muhamad Yamin MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI Muhammad Fauzan Isma Muhammad Nabil Muhammad Saifuddin Muhammad Zairin Jr. Muhammad Zairin Jr. Mulyasari Mulyasari MUNTI YUHANA MURIE DWIYANITI1 N Hutomo N. Potalangi Nana Ganda Neltje Nobertine Palinggi Neltje Nobertine Palinggi Nur Fauziyah Nur Hasanah Nuradzani, Daffa Nurul Taufiqu Rochman Nurul Taufiqu Taufiqu Rochman O.D. Subakti Hasan Obed Lepa Saba Kulla Odang Carman Permatasari, Sheny Petrus Rani Pong-Masak Prama, Ega Aditya Pras, Eva Prasetiyono Pratama, Asep Rachmat Puji Hastuti, Yuni Rahma Vida Anandasari, Rahma Vida Rasul Raudhatus Sa'adah Revfvi Al Ghaney Rizal Riandini Riandini Riani Rahmawati Richard Latuny Ridwan Affandi RIDWAN AFFANDI Rifqah Pratiwi Rio Yusufi Subhan Rirojoyo, Gerald P P Ris Dewi Novita Rizki Eka Puteri Rohman Rohman Ruspindo Syahputra S. Hastuti Sabilu, Kadir Sabilu, Murni Santi Febrianti Santosa Koesoemadinata Saputra, Henry Kasmanhadi Selly Ratna Sari Septya, Saka Tirta Setijaningsih, Lies Sihananto, Bambang Siska Mellisa Solly Aryza Sophia N. M. Fendjalang Sri Nuryati Sri Wahyuni Firman Sugeng Budiharsono Sugeng H. Suseno Suhaiba Djai Sukenda . Sukenda Sukenda Sukenda Sukenda Sukenda Sukenda Sukenda Sukenda Sulistiono Supriani Suri Purnama Febri Susanti Mariam Suseno, Sugeng Hari Sutrisno Sutrisno Tatag Budiardi Teuku Fadlon Haser Thomas Nugroho Titin Kurniasih Tri Heru Prihadi Usman Usman Usman Usman Usman Usman Wa Iba, Wa Iba Wahyu Pamungkas Wahyu Wahyu Wasjan Wasjan WIDANARNI WIDANARNI Widiyati, Any Wijianto Wijianto Wildan Nurussalam Wirantari, Ayu Puspa Wisriati Lasima Y. Hadiroseyani Yosmaniar Yosmaniar Yosmaniar Yosmaniar Yosmaniar Yosmaniar Yoyo Wiramiharja Yuni Puji Hastuti Yuni Puji Hastuti Yuni Puji Hastuti