Claim Missing Document
Check
Articles

GAMBARAN KESEJAHTERAAN SPIRITUAL USHER DEWASA MADYA DI GEREJA X JAKARTA Graciella Faren; Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 5, No 1 (2021): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v5i1.8979.2021

Abstract

Well-being is something that most people look for. Not only about material, well-being is essentially an achievement of harmony in life from physical, intellectual, social, mental, and also spiritual aspects. Likewise, spirituality becomes one of the supports of individuals to carry out life. Spiritual well-being is important in the lives of middle-aged individuals who have experienced many changes in their lives. These changes have a certain impact on the lives of middle-aged individuals, where middle-aged individuals will evaluate themselves more and live a better quality. This study aims to determine the description of the spiritual well-being of church servants “Church X” in Jakarta. Spiritual well-being is not only focused on the person and God, but other dimensions are related to one another. The research method used is a mixed method that combines questionnaires and interviews. The subjects of this study are the church servants in “Church X” Jakarta, amounting to 33 servants who distributed questionnaires and 3 servants to be interviewed. From the results of the study, it can be concluded that the picture of spiritual well- being of church-servants in Church X is said to be high and has positive well-being from every dimension, personal, communal, environmental and, transcendental. Kesejahteraan adalah sesuatu yang dicari oleh kebanyakan orang. Tidak hanya materi, kesejahteraan pada hakikatnya merupakan pencapaian keharmonisan dalam hidup baik dari aspek fisik, intelektual, sosial, mental maupun spiritual. Demikian pula spiritualitas menjadi salah satu penunjang individu dalam menjalani kehidupan. Kesejahteraan spiritual penting dalam kehidupan individu paruh baya yang telah mengalami banyak perubahan dalam hidup mereka. Perubahan ini memiliki dampak tertentu pada kehidupan individu paruh baya, di mana individu paruh baya akan lebih mengevaluasi diri dan menjalani kualitas yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan spiritual pelayan gereja di Jakarta. Kesejahteraan spiritual tidak hanya terfokus pada pribadi dan Tuhan, tetapi dimensi lain terkait satu dengan yang lainnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran yang menggabungkan kuesioner dan wawancara. Subjek penelitian ini adalah abdi gereja di “Gereja X” Jakarta yang berjumlah 33 orang dengan menyebarkan kuesioner dan 3 orang untuk diwawancarai. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran kesejahteraan spiritual hamba-hamba Gereja di Gereja X dikatakan tinggi dan memiliki kesejahteraan yang positif dari setiap dimensi baik personal, komunal, lingkungan dan transendental.
Evaluasi Program Community-Based Learning yang Berdampak pada Perilaku Kerjasama Siswa SMP X Depok Tina Sugiharti; Riana Sahrani; Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 1 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i1.349

Abstract

Program Community-Based Learning (CBL) merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan di SMP X Depok untuk memfasilitasi siswa dalam mengaplikasikan model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter (PHBK) di masyarakat. Kerjasama merupakan salah satu aspek karakter yang diaplikasikan dalam CBL. Perilaku kerjasama tersebut belum muncul secara konsisten pada seluruh siswa yang telah melaksanakan CBL. Oleh karena itu dilakukan penelitian evaluasi terhadap program CBL ini. Penelitian bertujuan mengevaluasi dampak program CBL pada perilaku kerjasama siswa. Partisipan adalah siswa kelas 9 yang mengikuti CBL pada tahun 2015. Empat dari 20 partisipan diperoleh secara purposive sampling berdasarkan skor tertinggi kuesioner perilaku kerjasama (Tarricone & Luca, 2002). Model evaluasi yang digunakan adalah reciprocal determinism (teori sosial kognitif) terhadap pelaksanaan CBL. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara. Teknik observasi dilakukan menggunakan daftar check list yang meliputi faktor kognitif, behavior dan environment pada setting kerja kelompok di kelas, focus group discussion (FGD), dan simulasi. Teknik wawancara menggunakan pedoman wawancara berdasarkan teori CBL terhadap terhadap 4 partisipan, serta kepala sekolah dan guru sebagai pendukung triangulasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program CBL memberikan dampak terhadap peningkatan perilaku kerjasama para siswa. Peningkatan itu terjadi pada aspek semangat, kekompakan, saling menghargai, dan usaha untuk total saat mengerjakan tugas kelompok. Sementara aspek lain yaitu pelaksanaan peran dalam kelompok, sudah ada ada namun tidak meningkat karena ketidakkonsistenan dari perilaku kerjasamanya.Kata kunci: evaluasi program, community-based learning, karakter, kerjasama, Sekolah Menengah Pertama
HANS JONAS ON THE ETHICS OF TECHNOLOGY Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 2 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i2.8978.2020

Abstract

This paper highlights Hans Jonas' technological ethic. For Jonas, traditional ethics is no longer adequate because the dynamics of modern technology are increasingly sophisticated. Initially, technology only helped humans learn natural laws so that nature could be used by humans according to their needs. However, the more advanced the technology, the side effects are also out of control and cannot be controlled. Therefore, Jonas offers ethical responsibility in the context of technology. This study examines Jonas's view of how humans should behave in today's technological developments. The method used is a qualitative method by analyzing Jonas' primary writings on technology ethics, then trying to describe them descriptively and critically. First of all, a brief biography of Jonas will be presented. Then discussed step by step his thoughts on technological ethics that come from primary and secondary sources. The result is that according to Jonas, humans have to change their way of life (lifestyle) in producing, consuming and caring about the environment. By creating a sense of human responsibility can prevent future calamities. This awareness is called Jonas with the principle of future responsibility. Studi ini menyoroti etika teknologi oleh Hans Jonas. Bagi Jonas, etika tradisional tidak lagi memadai karena dinamika teknologi modern semakin canggih. Pada awalnya teknologi hanya membantu manusia mempelajari hukum-hukum alam sehingga alam dapat dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kebutuhannya. Namun, semakin canggih teknologi tersebut, efek sampingnya menjadi tidak terkendali. Oleh karena itu, Jonas menawarkan sebuah tanggung jawab etis dalam konteks teknologi. Studi ini mengkaji pandangan Jonas tentang bagaimana seharusnya manusia berperilaku dalam perkembangan teknologi saat ini. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menganalisis tulisan utama Jonas tentang etika teknologi, kemudian mencoba mendeskripsikannya secara mendalam dan kritis. Pertama-tama, terdapat biografi singkat Jonas. Kemudian pemikirannya tentang etika teknologi yang bersumber dari sumber primer dan sekunder dibahas selangkah demi selangkah. Hasilnya adalah, menurut Jonas, manusia harus mengubah cara hidup (gaya hidup) dalam memproduksi, mengonsumsi, dan peduli terhadap lingkungan. Dengan menciptakan rasa tanggung jawab manusia, musibah di masa depan dapat dicegah. Kesadaran ini disebut oleh Jonas sebagai prinsip tanggung jawab masa depan.
ANALISA KONSEPTUAL MODEL SPIRITUAL WELL-BEING MENURUT ELLISON DAN FISHER Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3521

Abstract

Studi ini menganalisa lebih dekat dua model spiritual well-being (SWB) yang dikembangkan oleh Craig W. Ellison dan John W. Fisher. Dengan menggunakan metode kualitatif kepustakaan dilakukan perbandingan (komparasi) secara deskriptif antara pendekatan Ellison dan Fisher. Ellison memperkenalan model spritual well-being dengan dua dimensi, yakni religious well-being (RWB) dan existential well-being (EWB). Berdasarkan kedua dimensi itu Ellison kemudian mengembangkan alat ukur Spiritual Well-being Scale (SWBS). Sementara Fisher menampilkan model SWB dengan empat dimensi, yaitu personal, komunal, mondial dan transendental. Berangkat dari empat dimensi ini Fisher mengembangkan juga alat ukur Spiritual Well-being Questionaire (SWBQ). Ellison dan Fisher mendalami spiritual well-being bertolak dari pengalaman mereka mendampingi kehidupan spiritual jemaat yang mereka layani. Ellison memahami spiritual well-being sebagai kesejahteraan rohani yang merupakan perwujudan konkrit dari kesehatan rohani, sedangkan Fisher melihat spiritual well-being sebagai afirmasi hidup manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan. Fisher memiliki dimensi spiritual well-being lebih terperinci dari pada Ellison. Jadi perbedaan konsep dan dimensi spiritual well-being model Ellison dan Fisher berdampak kepada pembentukan alat ukur yang berbeda juga atas kedua model Ellison dan Fisher. Kendati ada perbedaan konsep dan dimensi spiritual well-being model Ellison dan Fisher, namun keduanya diperlukan untuk memperoleh pemahaman lebih mendalam atas model spiritual well-being. This study analyzes more closely the two models of spiritual well-being (SWB) developed by Craig W. Ellison and John W. Fisher. By using qualitative literature method a descriptive comparison was made between the Ellison and Fisher approaches. Ellison introduced the spiritual well-being model with two dimensions, namely religious well-being (RWB) and existential well-being (EWB). Based on these two dimensions Ellison then developed the Spiritual Well-being Scale (SWBS) measurement tool. Meanwhile, Fisher explained SWB model with four dimensions, namely personal, communal, mondial and transcendental. From these four dimensions, Fisher developed the Spiritual Well-being Questionnaire (SWBQ) measurement tool. Ellison and Fisher examined spiritual well-being based on their respective experience accompanying the spiritual lives of the congregations they served. Ellison understood spiritual well-being as a concrete manifestation of spiritual health, while Fisher sees spiritual well-being as an affirmation of human life in relation to oneself, others, the environment and God. Fisher explains spiritual dimension of well-being in more detail than Ellison. Therefore, the different concepts and spiritual well-being dimensions of Ellison and Fisher's models have an impact on the formation of different measurement tools than both Ellison and Fisher's models. Despite the differences in the concepts and dimensions of the spiritual well-being models of Ellison and Fisher, both are needed to gain a deeper understanding of the spiritual well-being model.
SELF-PERCEPTION OF ACADEMIC ABILITY SISWA SMA DI MASA PANDEMIK COVID-19: FAKTOR APA YANG MEMPREDIKSI? Riska Umami Lia Sari; Raja Oloan Tumanggor; P. Tommy Y. S Suyasa
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 5, No 2 (2021): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v5i2.12096.2021

Abstract

Self-perception of academic ability is outlook that students have about their abilities in terms of learning activities or in completing school assignments. One of the reasons for the importance of self-perception of academic ability is to be a factor that can motivate students in learning activities. This study aims to determine whether self-perception of academic ability is predicted by the role of student burnout and student engagement. This study was conducted using convenience sampling on high school students during the Covid-19 Pandemic. The number of participants was 96 Tangerang City Senior High School students, aged 16 to 18 years. This study uses the School Attitude Assessment Survey-Revised to measure self-perception of academic ability, the Burnout Inventory to measure student burnout and the Utrecht Work Engagement Scale-9 to measure student engagement. Based on the test results using the multiple regression method, it was found that self-perception of academic ability was predicted significantly by student burnout (β = -0.242) and student engagement (β = 0.564). With the results of this study, it is hoped that educators can anticipate learning activities to foster student engagement. With higher student engagement, students' self-perception of academic ability will be more positive. For students, the results of this study are expected as initial information to be more aware of the burnout conditions experienced. Burnout conditions can predict students' view of academic ability to be negative. Self-perception of academic ability merupakan pandangan yang dimiliki siswa mengenai kemampuan dalam hal kegiatan belajar atau dalam menyelesaikan tugas – tugas sekolah. Salah satu alasan pentingnya self-perception of academic ability yaitu menjadi faktor yang dapat memotivasi siswa dalam kegiatan pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah self-perception of academic ability diprediksi oleh peran student burnout dan student engagement. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan convenience sampling pada siswa SMA di Masa Pandemik Covid-19. Jumlah partisipan sebesar 96 siswa SMA Kota Tangerang, berusia 16 hingga 18 tahun. Menggunakan alat ukur School Attitude Assessment Survey-Revised untuk mengukur self-perception of academic ability, alat ukur Maslach Burnout Inventory untuk mengukur student burnout dan untuk alat ukur Utrecht Work Engagement  Scale-9 digunakan untuk mengukur student engagement. Berdasarkan hasil uji dengan menggunakan metode regresi berganda didapatkan hasil bahwa self-perception of academic ability diprediksi secara signifikan oleh student burnout (β = -0.242) dan student engagement (β = 0.564). Dengan hasil penelitian ini diharapkan para pendidik dapat mengantisipasi dalam kegiatan belajar untuk menumbuhkan student engagement. Dengan student engagement yang semakin tinggi, self-perception of academic ability pada siswa akan semakin positif. Bagi siswa hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi awal agar lebih waspada terhadap kondisi burnout yang dialami. Kondisi burnout dapat memprediksi pandangan siswa terhadap kemampuan akademik menjadi negatif.
PERBEDAAN KEPUASAN KERJA DAN PERILAKU KEWARGANEGARAAN ORGANISASI BERDASARKAN KELOMPOK PROXIMAL WITHDRAWAL STATE Alexander Abraham Daeng Kuma; P. Tommy Y.S. Suyasa; Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 1 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i1.7702.2020

Abstract

Hospitality industry is one of those industry that need a maximum service for the consument, where as this kind of service can also be described as organizational citizenship behavior. One of the thing that can explain the act of organizational citizenship behavior is job satisfaction and the grouping in proximal withdrawal state. The aim of this study is to investigate the difference between job satisfaction and organizational citizenship behavior in hospitality worker based on proximal withdrawal state’s grouping. Data collection was done using online and offline method, where three different questionnaire was used to measure job satisfaction, organizational citizenship behavior and decide the grouping of one’s proximal withdrawal state. Based on this study, we found that there is a difference on  job satisfaction and organizational citizenship behavior across the proximal withdrawal state’s grouping. Those who belong to enthusiastic stayer and reluctant leaver group are showing higher job satisfaction and organizational citizenship behavior. Meanwhile, those who belong to reluctant stayer and enthusiastic leaver are showing lesser job satisfaction and organizational citizenship behavior. This research can give a clearer picture about how far those who work in hospitality industry can show their organizational citizenship behavior based on their proximal withdrawal state grouping. Industri hospitality merupakah salah satu industry yang sangat membutuhkan pelayanan yang maksimal untuk konsumen, dimana bentuk perilaku ini digambarkan sebagai perilaku kewarganegaraan organisasi. Salah satu hal yang dapat menjelaskan perilaku kewarganegaraan organisasi adalah kepuasan kerja seseorang dan kelompok proximal withdrawal state. Studi ini bertujuan untuk melihat perbedaan antara kepuasan kerja dan perilaku kewarganegaraan organisasi pada pekerja di industri hospitality berdasarkan kelompok proximal withdrawal state. Peneliti melakukan penyebaran data menggunakan kuesioner online dan offline, dimana terdapat tiga alat ukur yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja, perilaku kewarganegaraan organisasi dan menentukan kelompok proximal withdrawal state seseorang. Total terdapat 216 data yang dapat diolah pada studi ini. Dari studi yang dilakukan didapatkan bahwa ada perbedaan pada kepuasan kerja dan perilaku kewarganegaraan organisasi pada masing-masing kelompok proximal withdrawal state. Pekerja yang berada pada kelompok enthusiastic stayer dan reluctant leaver menunjukan kepuasan kerja dan perilaku kewarganegaraan organisasi yang paling tinggi, sementara pekerja pada kelompok reluctant stayer dan enthusiastic leaver menunjukan kepuasan kerja dan perilaku kewarganegaraan organisasi yang paling rendah. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana pekerja dapat menunjukan perilaku perilaku kewarganegaraan organisasi berdasarkan kelompok proximal withdrawal state mereka.
HUBUNGAN ANTARA JOB DEMANDS DENGAN WORK ENGAGEMENT: PERANAN FLEXIBLE LEADERSHIP SEBAGAI MODERATOR Felycia Klaviera Mulyana; P. Tommy Y.S. Suyasa; Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 1 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i1.3554.2020

Abstract

This study aims to examine the role of flexible leadership as a moderator of job demand variables in predicting work engagement for employees at PT X Kab. Bogor. Job demands are referring to physical, psychological, social, or organizational aspects of a job that require continuous physical or psychological effort or ability and therefore are associated with certain physical and / or psychological costs. Work engagement is a positive, satisfying, motivational state of work-related welfare. Flexible leadership is the ability of a leader to adapt leadership styles and methods in responding to different or changing contextual demands by facilitating group performance. This research was carried out in medical representative participants by filling out an online questionnaire from google form (N = 46) with a measurement of job demands from Rothmann with the name JD-R Scale, a measure of work engagement from Bakker using the Utrecht Work Engagement Scale (UWES), and measuring instrument from Kaiser with the name flexible leadership Leadership Versatility Index (LVI). The results of modeling the relationship using SPSS Version 25 show that job demands (work overload) have a strong relationship with work engagement when moderated by high flexible leadership. This finding shows that the function of flexible leadership behavior functions as a moderator at the medical representative at PT. X Regional Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peranan flexible leadership sebagai moderator dari variabel job demand dalam memprediksi work engagement pada karyawan di PT X Kab, Bogor. Job demands merujuk pada aspek-aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasi dari suatu pekerjaan yang membutuhkan usaha atau kemampuan secara fisik dan atau psikologis yang terus menerus dan oleh karena itu diasosiasikan dengan biaya fisik dan atau psikologis tertentu. Work engagement adalah keadaan yang positif, memuaskan, motivasi-motivasi dari kesejahteraan terkait pekerjaan. Flexible leadership ialah kemampuan seorang pemimpin dalam menyesuaikan gaya kepemimpinan dan metode dalam menanggapi tuntutan kontekstual yang berbeda atau berubah-ubah dengan cara memfasilitasi kinerja kelompok. Penelitian ini dilakukan pada partisipan medical representative dengan cara mengisi kuesioner online dari google form (N=46) dengan alat ukur job demands dari Rothmann dengan nama JD-R Scale, alat ukur work engagement dari Bakker menggunakan Utrecht Work Engagement Scale (UWES), dan alat ukur flexible leadership dari Kaiser dengan nama Leadership Versatility Index (LVI). Hasil pemodelan hubungan tersebut menggunakan SPSS Versi 25 menunjukkan bahwa job demands (work overload) memiliki hubungan kuat dengan work engagement ketika flexible leadership yang tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa fungsi perilaku flexible leadership berfungsi sebagai moderator pada medical representative di PT. X Kab. Bogor.
PERAN KONTRAK PSIKOLOGIS RELASIONAL DAN TRANSAKSIONAL SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU KERJA KONTRAPRODUKTIF ORGANISASI DAN INTERPERSONAL Ismoro Reza Prima Putra; P. Tommy Y.S. Suyasa; Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 1 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i1.7550.2020

Abstract

Counterproductive work behavior occured in Indonesia, especially in companies. Companies that have many employees with counterproductive work behavior will have a negative impact on the productivity and business of the company. Counterproductive work behavior can be explained by psychological contracts held by each employee. Therefore, this study has examined the role of relational and transactional psychological contracts as predictors of organizational and interpersonal counterproductive work behavior. Counterproductive work behavior was defined as behavior that violates organizational norms and is detrimental to the organization and the individuals within it. Meanwhile, employee psychological contracts were defined as employee perceptions of behavioral obligations that must be given to the organization. Participants in this study were 378 employees in one company in Jakarta. Counterproductive work behavior measurement tool used a workplace deviance scale with a total of 48 items. Meanwhile, psychological contract measurement tools consist of 33 items. The analytical method that has been used is regression and bootstrapping. The results showed that relational psychological contracts play a negative role in predicting organizational counterproductive work behavior (β = -0.308, p <0.01) and interpersonal (β = -0.307, p <0.01). Meanwhile, transactional psychological contracts play a positive role in predicting counterproductive organizational work behavior (β = 0.199, p <0.01) and interpersonal (β = 0.221, p <0.01). Through the Mann-Whitney U test there were differences in relational psychological contracts (U = 6179.00, p <0.05), organizational counterproductive work behavior (U = 3332.50, p <0.05), and interpersonal counterproductive work behavior (U = 4491.00, p <0.05) between male employees and female employees. Meanwhile, there was no difference in the transactional psychological contract between male and female employees (U = 8321.00, p> 0.05). Implications for theory and practice are discussed. Perilaku kerja kontraproduktif banyak terjadi di Indonesia khususnya di perusahaan. Perusahaan yang banyak memiliki karyawan dengan perilaku kerja kontraproduktif akan memiliki dampak negatif terhadap produktivitas dan bisnis perusahaan. Perilaku kerja kontraproduktif dapat dijelaskan oleh kontrak psikologis yang dimiliki oleh setiap karyawan. Oleh karena itu, penelitian ini menguji peran kontrak psikologis relasional dan transaksional sebagai prediktor terjadinya perilaku kerja kontraproduktif organisasi dan interpersonal. Perilaku kerja kontraproduktif didefinisikan sebagai perilaku yang melanggar norma-norma organisasi dan merugikan organisasi maupun individu di dalamnya. Sementara itu, kontrak psikologis karyawan didefinisikan sebagai persepsi karyawan terhadap kewajiban perilaku yang harus diberikan kepada organisasinya. Partisipan dalam penelitian ini adalah 378 karyawan di salah satu perusahaan di Jakarta. Alat ukur perilaku kerja kontraproduktif menggunakan workplace deviance scale dengan total 48 item. Sementara itu, alat ukur kontrak psikologis terdiri dari 33 item. Metode analisis yang digunakan adalah regresi dan bootstrapping. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrak psikologis relasional berperan negatif dalam memprediksi perilaku kerja kontraproduktif organisasi (β=-0.308, p < 0.01) dan interpersonal (β=-0.307, p < 0.01). Sementara itu, kontrak psikologis transaksional berperan positif dalam memprediksi perilaku kerja kontraproduktif organisasi (β=0.199, p < 0.01) dan interpersonal (β=0.221, p < 0.01). Melalui uji Mann-Whitney U terdapat perbedaan kontrak psikologis relasional (U=6179.00, p < 0.05), perilaku kerja kontraproduktif organisasi (U=3332.50, p < 0.05), dan perilaku kerja kontraproduktif interpersonal (U=4491.00, p < 0.05) antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan. Sementara itu, kontrak psikologis transaksional antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan tidak terdapat perbedaan (U=8321.00, p > 0.05). Hasil dari penelitian ini, baik secara teori maupun praktik, akan didiskusikan lebih lanjut. 
MEMBANGUN SPIRITUAL WELL-BEING PELAKU UMKM DI JAMBI DI ERA PANDEMI COVID 19 Raja Oloan Tumanggor; Fransisca I.R. Dewi; Hotnida Nethania Agatha
Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia Vol 4, No 2 (2021): Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jbmi.v4i2.12949

Abstract

This article is the result of training for 4 micro, small and medium businesses in Jambi who are having problems managing their businesses as a result of the Covid 19 pandemic. The training aims to inspire small and medium business actors to continue their business, carried out through zoom with the lecture method , ask questions, and share experiences. The problems they face include lack of customers, declining turnover, which results in decreased income as well. However, various attempts have been made to get rid of this problem. One aspect that can help them rise from adversity is to build spiritual well-being by fostering harmonious relationships with themselves, others, the natural environment and God. Spiritual well-being is not only about a relationship with divine power, but also about a good relationship with oneself, others, and the universe. A person is called spiritually prosperous if he is able to be honest with himself, see the positive in others, maintain the universe and be obedient to worship. All these aspects need to be owned by every business actor. Through real spiritual well-being from the emergence of self-confidence, optimism, and the ability to surrender to God's power, they are then able to see various opportunities that can be done to continue their business such as opening a business in other fields, and changing marketing methods. The important thing is that they can survive even in the difficult atmosphere of the pandemic era.ABSTRAK:Artikel ini merupakan hasil pelatihan terhadap 4 orang pelaku UMKM di Jambi yang mengalami masalah dalam mengelola usahanya sebagai dampak dari pandemi Covid 19. Pelatihan yang bertujuan membangkitkan semangat para pelaku usaha kecil dan menengah melanjutkan usahanya, dilakukan melalui zoom dengan metode ceramah, tanya jawab, dan sharing pengalaman. Masalah yang mereka hadapi antara lain kurangnya pelanggan, omzet menurun, yang berakibat pada pendapatan yang menurun juga. Namun berbagai upaya dilakukan untuk bisa lepas dari persoalan itu. Salah satu aspek yang bisa menolong mereka bangkit dari keterpurukan itu adalah dengan membangun kesejahteraan spiritual dengan cara membina relasi yang harmonis dengan diri sendiri, sesama, alam lingkungan dan Tuhan. Kesejahteraan spiritual bukan hanya menyangkut soal relasi dengan kekuasaan ilahi, tetapi juga menyangkut relasi yang baik dengan diri sendiri, sesama, alam semesta. Seseorang disebut sejahtera secara spiritual bila mampu jujur terhadap diri sendiri, melihat yang positif dalam diri sesama, memelihara alam semesta dan taat beribadah. Semua aspek tersebut perlu dimiliki oleh setiap pelaku usaha. Melalui kesejahteraan spiritual yang nyata dari munculnya kepercayaan diri, optimisme, dan kemampuan berserah kepada kekuasaan Tuhan, mereka kemudian mampu melihat berbagai peluang yang bisa dilakukan untuk melanjutkan usahanya seperti membuka usaha di bidang lain, dan merobah metode pemasaran. Yang penting mereka bisa bertahan kendati dalam suasana sulit di era pandemi.
RESILIENSI PELAKU UMKM DI JAMBI HADAPI PANDEMI COVID-19 Fransisca Iriani Roesmala Dewi; Raja Oloan Tumanggor; Gracio O.E.H. Sidabutar
Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia Vol 4, No 3 (2021): Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jbmi.v4i3.17590

Abstract

The global pandemic is having an influence on several economic sectors in Indonesia. This industry was among the first to be affected and has been severely impacted thus far. In various locations in Indonesia, several major, medium, and small business players have ceased operations. They, particularly UMKM, require support in order to survive and grow their operations. They must be able to remain resilient in the face of adversity. Stress must be controlled because if it is not, it can lead to long-term stress. Stress management is part of education. The lack of understanding regarding resilience is a concern that UMKM players in the Jambi region face. As a result, the solution proposed is to provide resilience education, with the expectation that partners will learn what resilience is and how it may be utilized to overcome stress, sadness, and anxiety. Everyone is born with the ability to be resilient, but it must be fostered and polished. This PKM activity is carried out in order for UMKM players to survive and recover in the face of present difficulties.ABSTRAK:Pandemi yang telah melanda dunia berdampak ke berbagai sektor usaha perekonomian di Indonesia. Sektor ini termasuk yang pertama terdampak dan terpukul berat hingga kini. Para pelaku usaha besar, menengah, dan kecil di berbagai wilayah Indonesia banyak yang berhenti usahanya. Para pelaku usaha membutuhkan  pendampingan agar dapat bertahan dan meneruskan usahanya, terutama pelaku UMKM. Para pelaku usaha harus dapat bersikap resilien berhadapan dengan tekanan atau stres. Stres harus dikelola sebab jika terus dibiarkan maka dapat berujung stres yang berlarut-larut. Edukasi meliputi manajemen stres. Permasalahan yang dialami oleh para pelaku UMKM di daerah Jambi adalah minimnya pengetahuan tentang resiliensi. Dengan demikian solusi yang ditawarkan adalah memberikan edukasi tentang resiliensi yang nantinya diharapkan mitra dapat memahami apa dan bagaimana resiliensi yang dapat digunakan untuk mengatasi stres depresi, dan kecemasan. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien) secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Kegiatan PKM ini dilakukan agar pelaku UMKM dapat bertahan di tengah kondisi saat ini dan kembali bergerak
Co-Authors Adinda Andriyani Adisya, Syaila Rania Adrian Hartanto, Adrian Agoes Dariyo Agoes Dariyo Agoes Dariyo Aisha Pramadita Kartohadiprodjo Alexander Abraham Daeng Kuma Alfyoni, Ghisanie Azahra Aliyya Zikrina Alma Silvi Almira, Deniella Kesya Amalia Putri Maharani Ambarwati, Puspitasari Ananda Natahsya Andrianputra, Ezra Andriyani, Adinda Angeline, Vania Annissatya, Kyantina Alifah Aprillia Wiranto, Nadya Serafin Arbi, Larasati Marutika Artha, Widya Aurora Nurul Khamila Aurora Nurul Khamila Azizah, Moulida Azzura, Chiatha Destalova BEATITUDO, EWALDUS SENARAI Bella, Catharine Byanca, Zayra Alana Cecilia Tiara Putri Chiatha Destalova Azzura Chintia Stevani Christ Jhon Christabella Christabella Christianto, Gabriel Enrico Depari, Mey Emeninta Sembiring Dias Amaliah Kangiden Eka Febrianti, Eka Ekklesia Eunike Lase Ellen Cheryl Hastono Ellen Cheryl Hastono Farah Nabila Nasution Farah Nabila Nasution Felycia Klaviera Mulyana Feodora Nadine Fifian Prahayuningtyas Flariska Erfaryndra Fransisca I.R. Dewi Fransisca Iriani Roesmala Dewi Gea Hayfatunisa Ghaisani, Kayla Rossita Ghinarahima, Challista Najwa Ghisanie Azahra Alfyoni Gozal, Angel Vallerie Grace, Viona Graciella Faren Gracio O.E.H. Sidabutar Gumay, Fhilia Anasty Gunawan, Jessica Haryanto, Elisabet Winda Putri Hayfatunisa, Gea Helga, Patricia Heni Mularsih Hotnida Nethania Agatha Imannuela, Audrey Ismoro Reza Prima Putra Jose Conary Kasdim, Riska Kristy, Ellena kusuma, shelly Laurens, Stevanie Leonardo Sriwongo Lim, Viviani Lovela, Adelia Lovita Ludgerius Maruli Nugroho Tumanggor Mahadiva, Tsaniya Maharani, Amalia Putri Marissa Putri MARPAUNG, DERIAN GIOVANNO Massimiliano Di Matteo Mathilda V. Bolang, Caroline Michael Levi Mulyawan Halim Moulida Azizah Muhamad Dwiki Armani Mulya, Raynata Danielle Mustopo, Michelle Patricia Natahsya, Ananda Niziliani, Shyakia Nolanda, Carissa Ratu Nurbani, Anna P. Tommy Y. S. Suyasa Petsuien Thalitakum Gontha Umboh Priscilia, Lidwina Putri Suwaibah Safira Putri, Yohana Desia Raden Ajeng Astari Adina Warasto Raden Ajeng Astari Adina Warasto Rahmadina, Dhea Fadhila Ramadhani, Kalya Sukma Rayda Rachma Fatin Rayda Rachma Fatin Raynata Danielle Mulya Regent Wijaya Riana Sahrani Riana Sahrani Riska Umami Lia Sari Salma, Meysun Sanceska, Putu Basya Ratu Sanusi Uwes Sarahsanty, Davina Senjani, Dita Permata Shafwah, Salsabila Shyakia Niziliani Siagian, Bisuk Silvana, Silvana Silviana Silviana Suci, Anjani Rahmah Surjo, Fernando Romero Suyasa, P Tommy Y. Sumatera Suyasa, P. Tommy Y. Sumatera Tanurezal, Nathania Theresa Theresa Tiara, Farillah Tina Sugiharti Tri, M. William Tumanggor, Felicitas Adelita Permatasari Tumanggor, Ludgerius Maruli Nugroho Viani, Theresia Patria Wahyuni Wahyuni wahyuni wahyuni Widiasih, Triani Widiasih Widiyawati, Valentina Tyas Willy Tasdin Yen Ni Yonatan Hizkia Ramli Yunita Christiana