Claim Missing Document
Check
Articles

Makna Simbolik Tradisi Were Baru Setelah Panen Suku Bugis di Desa Puu Waeya Kecamatan Mata Oleo Kabupaten Bombana Jalil, Abdul; Suraya, Rahmat Sewa; Nurtikawati, Nurtikawati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2973

Abstract

Tradisi Were Baru adalah tradisi pascapanen padi yang dilaksanakan oleh Suku Bugis di Desa Puu Waeya, Kecamatan Mata Oleo, Kabupaten Bombana. Tradisi ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, namun sebagian warga mulai meninggalkannya akibat kurangnya pemahaman terhadap maknanya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses pelaksanaan tradisi Were Baru serta menganalisis makna simbolik alat dan bahan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce dan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan tradisi Were Baru melibatkan tiga tahapan utama: persiapan, pelaksanaan, dan penutupan. Selain itu, setiap benda yang digunakan, seperti bangkung (parang), uring (periuk), penne (piring), dupa, beras, telur, kemenyan, bumbu dapur, dan lauk pauk, memiliki makna simbolik yang merefleksikan nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Bugis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pelestarian tradisi Were Baru sebagai bagian dari warisan budaya lokal.
Pewarisan Tari Pajogi Pada Masyarakat Desa Patuno Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi Iman, Nur; Suraya, Rahmat Sewa; Marhini, La Ode
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2978

Abstract

Tari Pajogi merupakan tarian tradisional yang berasal dari masyarakat Desa Patuno, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Tarian ini dilaksanakan sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui bentuk pertunjukan Tari Pajogi pada masyarakat Desa Patuno, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi; dan 2) Mengetahui cara pewarisan Tari Pajogi pada masyarakat Desa Patuno, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Penelitian ini menggunakan beberapa konsep, yaitu konsep tradisi lisan, konsep pewarisan, konsep tari tradisional, dan konsep Tari Pajogi. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Data dikumpulkan melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian dianalisis melalui tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tari Pajogi merupakan salah satu tarian hiburan di masyarakat Desa Patuno, Kecamatan Wangi-Wangi. Pertunjukan Tari Pajogi biasanya dilakukan oleh 3 hingga 6 penari. Tarian ini terdiri dari tiga gerakan utama, yaitu: 1) Gerakan Umba Peku-Peku, 2) Gerakan Biasa, dan 3) Gerakan Mangu-Mangu. Pewarisan Tari Pajogi di Desa Patuno dilakukan melalui dua cara, yaitu: 1) Pewarisan formal, yang dilakukan melalui pertunjukan dalam perlombaan kebudayaan dan acara perpisahan sekolah; dan 2) Pewarisan nonformal, yang dilakukan melalui pertunjukan pada acara adat seperti Karia serta lingkungan keluarga, di mana orang tua yang memiliki pengetahuan tentang Tari Pajogi mengajarkannya kepada anak-anak mereka.
Tradisi Wandile Pada Masyarakat Wolio di Desa Lambusango Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton Sari, Putri Purnama; Suraya, Rahmat Sewa; Marhini, La Ode
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2980

Abstract

Tradisi Wandile merupakan tradisi khas masyarakat Lambusango yang secara khusus dilaksanakan untuk anak pertama. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan dan makna yang terkandung dalam tradisi Wandile. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi, yang dianalisis melalui proses reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pelaksanaan tradisi Wandile terdiri atas tiga tahapan: (1) tahap persiapan, meliputi penentuan hari baik serta persiapan alat dan bahan; (2) tahap pelaksanaan, yang berlangsung di rumah pelaku tradisi dan dipimpin oleh bisa (dukun); dan (3) tahap akhir, yaitu pembacaan doa selamat. Tradisi Wandile memiliki makna simbolis di setiap tahapannya, yakni sebagai upaya menjauhkan anak yang diwandile dari hal-hal buruk menurut kepercayaan masyarakat Lambusango. Hingga saat ini, tradisi Wandile masih dilestarikan dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Lambusango.
Falia Nokoangkafio Berkebun pada Masyarakat Muna di Desa Kontunaga Kecamatan Kontunaga Yusrifani, Yusrifani; Suraya, Rahmat Sewa; Saputri, Shinta Arjunita
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2981

Abstract

Falia Nokoangkafio merupakan pantangan yang berlaku dalam masyarakat Muna, khususnya saat berkebun. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan bentuk-bentuk ungkapan Falia Nokoangkafio saat berkebun dalam masyarakat Muna di Desa Kontunaga, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna; dan (2) memahami makna dari ungkapan tersebut. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis melalui proses pengumpulan, reduksi, penyajian, dan verifikasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa bentuk Falia Nokoangkafio saat berkebun yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat Muna, yaitu memuji tanaman jagung, memanjat pagar kebun, berlari-lari dalam kebun, melangkahi alat tugal jagung, dan menangis di dalam kebun. Setiap bentuk Falia Nokoangkafio memiliki makna simbolis yang diyakini oleh masyarakat sebagai konsekuensi dari tindakan atau ucapan tertentu saat berkebun. Keyakinan ini merefleksikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat Muna yang masih dilestarikan hingga saat ini.
EKSISTENSI BENTENG KONTARA TANGKOMBUNO DI PULAU WAWONII ABAD KE-17 Syahrun, Syahrun; Melamba, Basrin; Suraya, Rahmat Sewa; Suseno, Sandi; Sarman, Sarman; Alias, Alias
Journal Idea of History Vol 8 No 1 (2025): Volume 8, Nomor 1, Januari-Juni 2025
Publisher : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/8z5fvk17

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan (1) sejarah Benteng Kontara Tangkombuno diPulau Wawonii, dan (2) fungsi pembangunan benteng tersebut pada masa lampau. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yang meliputi tahapan heuristik, kritik sumber,interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Benteng Kontara Tangkombunomerupakan benteng utama masyarakat etnis Wawonii yang dibangun dengan memanfaatkan konturalam serta susunan batu besar sebagai sarana pertahanan. Sejarah benteng terbagi dalam dua periode,yaitu masa praaksara dan masa kerajaan tradisional (Mokole). Di dalam area benteng terdapat GuaUpasi dan Gua Jin yang berfungsi sebagai tempat pertemuan, serta ditemukan tinggalan arkeologisseperti makam, sisa dapur, dan tengkorak manusia maupun hewan. Fungsi utama benteng ini adalahsebagai tempat perlindungan dari ancaman luar, termasuk dari kelompok bajak laut yang disebutberasal dari Tobelo. Meskipun secara geografis letak benteng tidak berada di bibir pantai, posisinyayang strategis di dataran tinggi memberikan perlindungan alami. Akses masyarakat ke pantai melaluialiran sungai yang cukup deras juga menunjukkan adaptasi lingkungan yang kompleks dankemampuan mereka mengelola medan untuk tetap terhubung dengan wilayah pesisir tanpamengorbankan aspek keamanan.
POFILEIGHOO (KAWIN LARI) PADA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MUNA DI DESA LINDO, KECAMATAN WADAGA KABUPATEN MUNA BARAT Agfar, Yasmi; Hapsah, Wa Ode Sitti; Suraya, Rahmat Sewa
JURNAL KABANTI: Kerabat Antropologi Vol 5 No 1 (2021): Volume 5, Nomor 1, Juni 2021
Publisher : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/kabanti.v5i1.1113

Abstract

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah proses kawin lari (pofileighoo) pada adat perkawinan masyarakat Muna di Desa Lindo? dan bagaimanakah simbol/tanda yang mengisyaratkan kawin lari (pofileighoo) pada adat perkawinan masyarakat Muna di Desa Lindo? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses pofileighoo pada adat perkawinan masyrakat muna di Desa Lindo dan untuk mengetahui symbol/tanda yang mengisaratkan pofileighoo pada adat perkawinan masyarakat Muna di Desa Lindo. Teori yang digunakan adalah teori kebudayaan dan simbol Clifford Greertz. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dimana dilakukan bersama dengan proses pengumpulan data melalui pengamatan dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) Proses pofileighoo (kawin lari) ada lima tahapan ; a). hukumu (penerimaan kedua calon mempelai) b). polele (untuk pemberitahuan kepada pihak perempuan) c)dengkoragho adhati (musyawarah adat) d) kafotangkano agama e).kakawi (akad nikah). (2). Adapun symbol atau tanda dalam adat perkawinan pofileighoo di Desa Lindo ada 6 tahapan diantarnya ; a) dogaa doangka foninto bhalano b) dogaa doangka nekalonga c) dogaa doangka weghabu d) dogaa doangka wekaa e) kafena (penghargaan) f) matano kenta.
Ritual Kampua Bagi Orang Muna di Desa Waara Kecamatan Lohia Kabupaten Muna Devianti, Devianti; Jers, La Ode Topo; Suraya, Rahmat Sewa
JURNAL KABANTI: Kerabat Antropologi Vol 9 No 1 (2025): Volume 9, Nomor 1, Juni 2025
Publisher : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/xgh8ck46

Abstract

The purposes of this study were (1) to analyze the reasons for using goats as a complete custom in the Kampua ritual in Waara Village, Lohia District, Muna Regency. (2) To describe the meaning of goat slaughter in the Kampua ritual for muna people in Waara Village, Lohia District, Muna Regency. This study uses the theory of symbols from Geertz. The data collection technique is field research using ethnographic methods of involved observation and interviews. The data analysis technique used is descriptive qualitative.The results of the study show that (1) Kampua ritual for the Muna people is one of the most important religious rituals among the Muna people. So that the Muna people consider this ritual as a sacred ritual that has been passed down from their ancestors for generations. In the Kampua ritual, there is also the slaughter of goats, which is a hereditary tradition that is still maintained today and is carried out repeatedly. (2) The process of carrying out the Kampua ritual for muna people in Waara Village, Lohia District, Muna Regency has several stages, namely (a) Katununo incense (burning incense) (b) Kabasano Bharasandi (barsanji reading) (c) Kaalano Wulu (hair cutting) (d) ) katanda Wite (laying the ground) (e) Kabasano Haroa (reading the haroa prayer), the prayer is intended as one of the activities to ask for peace and comfort in the life of children in Kampua. 
Co-Authors A.A. Ngurah Anom Kumbara Abdul Alim Abdul jalil adrita adrita Agfar, Yasmi Agus Rihu Agus Rihu Agus Rihu Agus Rihu` Akhmad Marhadi Akhmad Marhadi Alfi Seftiawan Alias Alias Alias Alias Alias, Alias Almarsaban Almarsaban Andi Sinarwati Arfan Arfan Arif Wicaksono Arman Arman Ashmarita, - Ayyuh S Ayyuh S Ayyuh S Ayyuh S Basri, La Ode Ali Basrin Melamba Bilal Akbar Muhammad Arsad Boymin Damhuri Damhuri Dessiria Devianti, Devianti Elmy Selfiana Malik Elsa Mayora Safitri Erens Elvianus Ekoodoh Ervania Ervania Faika Burhan Feni Feni Firmayanti Firmayanti Hamnianti Hamnianti Handriyani Sulastri Hapsah, Wa Ode Sitti Hazlan Heniman Heniman Herlina Haluru Hilwa Salsabila I Gusti Made Swastya Dharma Pradnyan I Gusti Made Swastya Dharma Pradnyan I Ketut Suardika I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suarka Ida Bagus Gde Pujaastawa Ida Juliani iman saputra Irawati Tapasi Irfan Rahmad Husain Irma Magara Jaimun Jaimun Jers, La Ode Topo Jusman Jusman Kiki Reski Wulandari Komang Wahyu Rustiani Komang Wahyu Rustiani La Ino La Niampe La Niampe La Ode Ali Basri La Ode Alwi La Ode Dirman La Ode Dirman La Ode Marhini La Ode Marhini La Ode Marhini La Ode Muhammad Ruspan Takasi La Ode Tarsani La Ode Topo Jers La Ode Topo Jers La Ode Usman lala andriani lestari Laras Mahardika Laxmi Laxmi Lili Darlian lisna yani Lita Irnasari Marhini, La Ode Meldawati Mirna Yanti Muh Roy Muhammad Alkausar Muhammad Olland Efendi Muhammad Olland Efendi Mursin Musyarafatul Musyarafatul Naswati Naswati Ni Made Wiasti Nirmalasari Nirmalasari Nur Iman Nur Kisa Nurtikawati Nurtikawati Nurtikawati, Nurtikawati Nurul Hikmah Paramitha, Ni Made Ayu Susanthi Pradnya Putri Purnama Sari, Putri Purnama Putri Yani Putu Titah Kawitri Resen Rommy Rio Kauntu RR. Ella Evrita Hestiandari Rudy Kurniawan Rustiani, Komang Wahyu Saldin S Salniwati Salniwati Samsul Sandy Suseno sandy suseno Saputri, Shinta Arjunita Sarman Sarman Shinta Arjunita Saputri Shinta Arjunita Saputri Sidik, Wa Ode Islamia Sofia Sofia Sri Wulandari Suseno, Sandi Suseno, Sandy Syahrun, Syahrun Syahrun, Syahrun Syam sumarlin Titin Hartini Visthalya Thevistha Wa Eni Wa Ode Sifatu Wa Ode Siti Hafsah Wa Ode Sitti Hafsah Wa Ode Sitti Hapsah Wa Ode Suharti Wilda Wilda Yasmi Agfar Yusrifani, Yusrifani Zulfa Zulfa Zulfa Zulfa