Penelitian ini menganalisis permasalahan legitimasi dan keadilan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia, khususnya yang diatur dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dan pendekatan komparatif, studi ini mengidentifikasi adanya ketimpangan representasi akibat penerapan sistem "popular vote" yang cenderung menguntungkan wilayah berpenduduk padat, terutama Pulau Jawa yang menampung 56,10% penduduk Indonesia. Melalui analisis demografis, geografis, dan antropologis, penelitian ini menemukan bahwa sistem pemilihan yang berlaku telah menciptakan fenomena "Jawa-sentris" yang secara sistematis meminggirkan aspirasi politik wilayah dengan populasi lebih kecil, meskipun wilayah-wilayah ini memiliki kontribusi signifikan dalam hal teritorial dan sumber daya alam. Sebagai solusi, penelitian ini mengusulkan reformulasi sistem pemilihan presiden dengan pendekatan "Formulasi Indikator Wilayah Berbasis Keadilan Representatif" yang membagi Indonesia menjadi 11 wilayah pemilihan. Sistem ini mensyaratkan kemenangan di minimal 6 dari 11 wilayah untuk menjadi presiden terpilih, sehingga menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara prinsip mayoritas dengan perlindungan hak politik wilayah minoritas. Studi ini juga mengajukan usulan amandemen Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang mengintegrasikan prinsip keadilan teritorial dalam mekanisme pemilihan presiden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reformulasi yang diusulkan tidak hanya mengatasi ketimpangan representasi, tetapi juga memperkuat legitimasi kepemimpinan nasional dengan memastikan presiden terpilih merepresentasikan keragaman geografis, demografis, dan kultural Indonesia.