Karina-Adinda (1913) karya Lauw Giok Lan menampilkan pembelaan pada wacana kolonial dan sekaligus membela pribumi atau tradisi lokal. Hal ini menunjukkan bahwa ada sikap yang ambigu peranakan Tionghoa dalam merespon wacana kolonial, lokalitas dan meneguhkan identitas ketionghoannya. Dari hal itu, masalah utama adalah respon subjek dalam menghadapi wacana kolonial melalui strategi ambiguitas. Konsep atau teori dan metode penelitian yang digunakan adalah pascakolonial. Hasil yang diperoleh adalah gagasan ambiguitas digunakan sebagai strategi perlawanan pada wacana kolonial dan sekaligus meneguhkan identitas ketionghoaan yang kembali pada tradisi. Selain itu, strategi itu juga mengembangkan gagasan nasionalisme kebangsaan yang didasarkan atas gagasan nasionalisme budaya, yakni bangsa dan kebudayaan Timur.Kata kunci: peranakan Tionghoa; ambiguitas; identitasKarina-Adinda (1913) by Lauw Giok Lan presents discourses in favour of colonialism but at the same time also indicates support of local people and traditions. This illustrates the Chinese descent’s ambiguity in responding to discourses surrounding colonialism, locality and their Chinese identity. The main issue appears to lie in the subject’s response towards colonial discourses by displaying ambiguity strategy. In revealing this ambiguity, postcolonial theory and method have been employed in this research. The analysis revealed that ambiguity strategy was in fact used as a way of resisting towards colonial hegemony and empowering Chinese identity that is based on tradition. Additionally, the strategy developed culture-based nationalism that centres on the ideas of nationhood and the Eastern cultures.Keywords: Chinese-Indonesian; ambiguity; identity