Sebuah negara dikatakan berdemokrasi ketika dijalankannya sistem pemilihan umum. Begitupun dengan Indonesia yang sepanjang perjalanan pasca kemerdekaan telah menjalankan sistem pemilihan umum baik legislatif juga eksekutif dengan beragam formula dan perubahannya. Indonesia kemudian mulai berbenah sistem ketatanegaraan dengan didahului pada amandemen konstitusi yakni pada masa refromasi tahun 1998. Dalam perubahan konstitusi konstruksi pemilihan umum khususnya pada pemilihan presiden dan wakil presiden mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari masa jabatan presiden, sistem pemilihan, asal presiden sampai pada proses pemberhentian. Sayangnya, perubahan konstitusi tidak berbanding lurus pada pelaksanaan undang-undang pemilu. Undang-undang pemilihan umum khususnya untuk presiden dan wakil presiden kian hari mengalami pasang surut nilai demokrasi. Lantas bagaimana melihat pasang surut demokrasi dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia. Metode penulisan ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan dengan data kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang kemudian dianalisa secara deksriptif kualitatif. Pasang surut demokrasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia ini kemudian penulis kaji menggunakan tiga kategori sebagai pisau Analisa, dengan hasil dan kesimpulan sebagai berikut. Pertama ambang batas pemilihan umum presiden dan wakil presiden untuk menjadi pintu masuk dalam penyederhanaan partai politik demi penguatan system presidensial menjadi tidak tepat. Kedua; terkait konstruksi parpol Indonesia. Bahwa penyederhanaan partai politik harus memperhatikan alasan-alasan fundamental yang tidak dapat terlepas dari. Ketiga; terkait dengan produk hukum pemilihan umum, maka undang-undang pemilihan umum dari masa ke masa mengalami proses kemunduran demokrasi.