Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) menghadapi hambatan sosial-emosional yang dipengaruhi oleh stigma dan rendahnya pemahaman masyarakat. Studi ini mengeksplorasi bagaimana masyarakat inklusif memaknai dan merealisasikan dukungan sosial yang berdampak pada perkembangan emosi anak ASD. Menggali makna pengalaman hidup (lived experiences) anak, orang tua, anggota masyarakat, dan pengurus/relawan komunitas inklusif dalam konteks dukungan sosial yang mendukung regulasi emosi anak ASD. Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif (Heideggerian). Sampel purposif terdiri atas 20 partisipan (5 anak ASD, 5 orang tua, 8 anggota masyarakat, 2 pengurus/relawan) di komunitas inklusif Yogyakarta. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam semi-terstruktur, observasi partisipatif dianalisis dengan langkah epoche, horizontalization, clustering of meanings, textural dan structural description. Keabsahan data dijaga melalui member checking, audit trail, refleksi peneliti, dan triangulasi. Dukungan sosial dipahami secara berlapis namun berpusat pada esensi penerimaan dan empati. Anak merasakan keamanan emosional, peningkatan kepercayaan diri, dan kemampuan regulasi emosi melalui sapaan, pujian, dan partisipasi nyata. Orang tua mengalami penyembuhan sosial pergeseran dari rasa malu/penolakan menuju kebanggaan dan kepercayaan. Masyarakat menginternalisasi empati sebagai nilai hidup melalui tindakan konkret; pengurus/relawan memaknai inklusi sebagai tanggung jawab moral dan transformasi spiritual. Praktik inklusi paling efektif ketika berkelanjutan, partisipatif, dan berbasis relasi tulus. Komunitas bertindak sebagai “ruang belajar emosional” yang krusial bagi perkembangan emosi anak ASD; inklusi autentik memerlukan partisipasi nyata, penguatan kapasitas empatik warga, dan kolaborasi lintas-aktor. Implikasi praktis meliputi pengembangan intervensi komunitas berkelanjutan dan pelatihan interaksi ramah-ASD.