This Author published in this journals
All Journal MANAJEMEN HUTAN TROPIKA Journal of Tropical Forest Management Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan (Journal of Soil Science and Environment) Jurnal Studi Pemerintahan Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota Jurnal Ilmu Lingkungan Sosiohumaniora KOMUNITAS: INTERNATIONAL JOURNAL OF INDONESIAN SOCIETY AND CULTURE Jurnal Geografi : Media Informasi Pengembangan dan Profesi Kegeografian JAM : Jurnal Aplikasi Manajemen Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental Management) Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan Pembangunan Jurnal Tataloka Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik Journal of Management and Business Review Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] MAJALAH ILMIAH GLOBE Ganaya: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Jurnal Ilmu Ilmu Agribisnis: Journal of Agribusiness Science Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Forest and Society BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum JURNAL ILMIAH MIMBAR DEMOKRASI Jurnal Perencanaan Pembangunan Analisis Kebijakan Pertanian Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Jurnal Kependudukan Indonesia Jurnal AGRISEP: Kajian Masalah Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Policy Brief Pertanian, Kelautan, dan Biosains Tropika Masyarakat: Jurnal Sosiologi Jurnal Studi Pemerintahan Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture
Claim Missing Document
Check
Articles

DAMPAK SOSIO-EKONOMIS DAN SOSIO-EKOLOGIS KONVERSI LAHAN Astri Lestari, Astri; Hadi Dharmawan, Arya
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 5 No. 1 (2011): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (462.954 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v5i1.5835

Abstract

Conversion of agricultural land is one of the phenomena of change the agricultural land designated into non agricultural designated. The purposes of this study are 1) to know the types of land conversion at Desa Tugu Utara, 2) to know the social-economic impact of land conversion at Desa Tugu Utara, and 3) to know the social-ecological impact of land conversion at Desa Tugu Utara. This study uses a quantitative approach supported by the use of qualitative approach. The result of the study showed that the type of land conversion in the village  (2000-2010)  consists  of  three  types  of  land  conversion:  1)  land conversion type by location (open/closed), 2) land conversion type by the speed of change of land utilization (fast/slow), and 3) land conversion type by the actors involved in the land conversion (local residents/non-local resident). In general, land conversion gives a negative impact on social-economics conditions of household in the region, either in the agricultural sector or in the non- agricultural sector and also brings a negative impact on social-ecological system because it causes many environmental degradation.
DAMPAK PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN) TERHADAP KEADAAN SOSIAL EKONOMI DAN EKOLOGI MASYARAKAT LOKAL Maharani Kusuma Ningtyas, Pitaloka; Hadi Dharmawan, Arya
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 4 No. 3 (2010): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (369.755 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v4i3.5840

Abstract

The objectives of this research are: (1) to compare the social-economic condition of communities before and after the National Agrarian Reform Program (PPAN); (2) to know the alteration of land placement (3) to explore the differences of perception from local communities about PPAN. This research was using qualitative and quantitative method. The qualitative method was supported by in-depth interview for collecting data. In the other hand, quessionaire used to be a research instrument to support quantitative method. There were 60 respondents who got PPAN program in this research which selected by purposive sampling technique.
Pertarungan Gagasan Dan Kekuasaan Dalam Pemekaran Wilayah : Studi Kasus: Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo di Propinsi Jambi Farida, Aulia; Hadi Dharmawan, Arya; Tonny, Fredian
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 4 No. 2 (2010): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5078.6 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v4i2.5846

Abstract

Pemekaran Wilayah menjadi semakain marak di Indonesia , dan dikarenakan beberapa alas an yang melatarbelakanginya. Tujuan ideal dari suatu pemekaran wilayah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga ditujukan untuk memperpendek, mengefektifkan birokrasi, sehingga penggunaan, pengoilahan dapat langsung diawasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat local, sehingga menjadikan masyarakat lebih mudah untuk mengontrolnya. Namun demikian, fakta dilapangan menunjukkan adanya penyalahgunaan oleh sekelompok pihak untuk mencapai tujuan dan kepentingan golongan. Salah satunya adalah untuk memperoleh kekuasaan di wilayah baru. Ada banyak aktor yang terlibat di dalam pemekaran, dan masing-masing dari mereka memiliki tujuan dan kepentingan tersendiri. Salah satu wilayah yang mengalami pemekaran adalah kabupaten Bungo an Kabupaten Tebo di propinsi Jambi. Pemekaran diwilayah ini pada awalnya memang diberikan kesempatan oleh pusat, dengan adanya kesempatan tersebut, pemerintah daerah Bungo-Tebo, sangat mendukung dilakukan pemekaran dan menjadikan isu ‘kepentingan masyarakat’ sebagai alas an dilakukan pemekaran tersebut. Untuk memenuhi persayaratan dan mempersiapkan perencanaan pemekaran, pemerintah daerah bekerja sama dengan banyak aktor. Namun, dikarenakan ktidaksiapan perencanaan tersebut, ada banyak persyaratan pemekaran yang belum mampu dipenuhi daerah sehingga muncul rekayasa-rekayasa agar pemekaran dapat dilakukan. Akibat ketidaksiapan ini, ketika pemekaran terjadi tujuan untuk mensejahterakan masyarakat tidak tercapai. Berdasarkan latar belakang pemekaran seperti itu, menunjukkan bahwa selamna sepuluh tahun, pemekaran tidak membarikan keuntungan bagi masayarakat, ketidakpuasan terhadap pemekaran, terjadi konflik kepentingan di masyarrakat, dan pemekaran lebih sebagai perebutan kekuasaan di wilayah baru. Dengan demikian, patut dipertimbangkan jika pemekaran wilayah tidak dilanjutkan.
Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat : Studi Kasus Lembaga Amil Zakat di Propinsi Jambi dan Sumatera Barat Malik, Abdul; Hadi Dharmawan, Arya; Sumarti, Titik
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 4 No. 2 (2010): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.678 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v4i2.5847

Abstract

The governances of zakat is important to be studied, especially about the dynamics of knowledge, rationality, and interest in zakat governance. This study focused on the battle of knowledge, rationality and conflicts of interest in zakat governance. The approach in this study is a qualitative approach with a methodology constructivism paradigm. The data obtained by phenomenology method with depth interview techniques and documentation. Data were analyzed using structural conflict perspective with Foucaultian style, especially the theory of power and knowledge. The results showed that: there are three spheres of knowledge, that competing to get authorities in the governance of zakat (religious knowledge, modern knowledge and local knowledge). The discourse of the governance of zakat in the LAZ of community was dominated by the religious knowledge and local knowledge, while at the Bazda and LAZ of Semen Padang, discourse is dominated by modern knowledge. Second, the rationality of LAZ of community is asceticism and altruism with the interests of individual piety and social piety, but the rationality of Bazda is developmentalism to achieve integration and uniformity, while the rationality of LAZ Semen Padang is maximize Utility, with profit interests and investment security. Finally, the phenomenon of zakat governances was showed as moral laundering efforts
Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat Ita Mardiyaningsih, Dyah; Hadi Dharmawan, Arya
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 4 No. 1 (2010): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (709.713 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v4i1.5850

Abstract

The Green Revolution is known as one of modernization approaches in Indonesia. Based on many research in Java, Green Revolution has made changes in rural, sociologically, economically and ecologically. Even though, there are still also some villages which are not experiencing this change. Some communities are still hold the indigenous social institutional system as the directional guidance of their community livelihood system. The research is applying qualitative approach with the use of case study and socio-historical strategy to learn how much the indigenous rural social institutional system is able to guarantee the community livelihood system? To learn this subject, the research has conducted in Kasepuhan Sinar Resmi (Sukabumi) and Dusun Sumurjaya (Subang). The research it self is applying perspective of Mazhab Bogor which sees the rural community livelihood system character in four aspects: livelihood source, livelihood strategy, economic institution and social security guarantee system in rural community. Based on these four aspects, the village with strong indigenous social institution is posses the livelihood system dominantly in agriculture and natural resource extraction, chosen livelihood strategy is more into multiple livelihoods in the form of multiple actors/straddling strategy, economic institution system is based on the collectivity to fulfill their food subsistence requirements. Their social security guarantee system is depends on social bonds like the patron-client pattern and communal activities. In the community with strong indigenous social institution, pace of social changes is relatively slow while in the community with the faded indigenous social institution and more “modernized”, the livelihood source of people is more dissimilar, both in agricultural and non agricultural based. It makes their livelihood strategy is also more divergent (agricultural intensification and extensification, multiple livelihood and migration). Economic institution system in this community is based on individual production activity which is market oriented (commercial). The form of community social security guarantee which developed besides patron-client bond between farmer and peasant which is getting more disappear, also depends on external institution (government program of poverty alleviation). The condition shows that pace of social changes is relatively faster in the modernized community
Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing : Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung Widiyanto, W; Hadi Dharmawan, Arya; W, Nuraini
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 4 No. 1 (2010): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (135.592 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v4i1.5851

Abstract

The standard morality held to support livelihood strategy that the tobacco peasant families build, occured in two different forms of economical ethic. Each of them is placed in totally in opposition to the other. These are ”social-collectivism” ethic and ”individual-material acquisition” ethic. Each individual economic ethic build specific livelihood strategy that fit into the existing situation as faced by the peasant family. There are five different types of capitals at the tobacco peasant families disposal, namely: natural capital, phsycal capital, financial capital, human capital, dan social capital. In majority the peasant families of the research areas build common strategies of livelihood, namely: vertical solidarity, horizontal solidarity, debt, patronase, production strategy, “srabutan”, accumulation, and manipulation of commodity. The institutional system built by peasants as the implementation of their livelihood, namely: sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, maro. These strategies are basically using social capital as a main capital to form livelihood strategies. In case of difficulties (in time of crisis), the tobacco peasant families build somewhat different strategies, namely: temporary migration. All These strategies (in normal and in crisis situation) showed that peasant of this area very flexible mechanism to survive. But, the most sustainable way to survive that the peasant family build is the strategy of using collectivity ties as a instrumental way to support their livelihood. 
Interaksi Komunitas Lokal di Taman Nasional Gunung Leuser : Studi Kasus Kawasan Ekowisata Tangkahan, Sumatera Utara Ginting, Yosia; Hadi Dharmawan, Arya; S, Soehartini
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 4 No. 1 (2010): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.456 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v4i1.5853

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keberadaan taman nasional telah menyebabkan terbatasnya akses komunitas lokal di dalam pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mengatasi ini maka banyak taman nasional yang mengembangkan ekowisata di kawasannya karena bentuk pemanfaatannya dianggap dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan dalam meningkatkan pendapatan komunitas lokal dan kelestarian kawasan tetap terjaga.Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET) yang merupakan salah satu pintu masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Lokasi studi dilakukan di Desa Namo Sialang dan difokuskan pada tiga dusun yaitu Dusun Kuala Buluh, Dusun Kuala Unggas dan Dusun Rimo kayu. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2009 hingga Januari 2010. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif – kualitatif dengan strategi studi kasus. Berdasarkan hasil studi menunjukan bentuk interaksi komunitas lokal di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser dapat digolongkan menjadi dua yaitu aktifitas ekowisata dan aktifitas non ekowisata. Berdasarkan hasil analisis interaksi komunitas lokal dengan kawasan menunjukkan penyelenggaraan ekowisata di Kawasan Ekowisata Tangkahan hanya sampai kepada tahap konservasi dan belum memberikan keuntungan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas lokal. Dari hasil analisa tingkat pendapatan komunitas lokal didapatkan bahwa pendapatan komunitas lokal yang bersumber dari aktifitas ekowisata pada Dusun Kuala Buluh dan Kuala Unggas masing – masing menyumbang pendapatan ekonomi rumah tangga komunitas lokal di Dusun Kuala Buluh sebesar 18,98 % dan pada Dusun Kuala Unggas sebesar 6,04 %. Hal ini berarti secara ekonomi, peran ekowisata belum memberikan kontribusi kesejahteraan yang signifikan kepada warga komunitas lokal. Dengan demikian ekowisata dinilai belum mampu menjadi katup pengaman penyelamatan sumberdaya hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Kawasan Ekowisata Tangkahan).
Analisis Konflik Perebutan Wilayah di Provinsi Maluku Utara : Studi Kasus Konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara tentang Enam Desa Hasyim, Aziz; Hadi Dharmawan, Arya; Juan, Bambang
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 4 No. 1 (2010): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.039 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v4i1.5854

Abstract

Diskursus tentang perencanaan dan pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin menarik setalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan pemberlakuan undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut, maka berbagai daerah menuntut pemekaran wilayah yang berlansung secara massif. Namun, realitas menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan pemekaran, sesungguhnya tidak didasari pada ide dan gagasan substansi dari pemekaran wilayah itu sendiri. Kondisi ini terlihat jelas dengan jalur yang ditempuh dalam mendorong gagasan pemekaran wilayah lebih mempertimbangkan aspek politik daripada aspek substansinya. Dalam kajian ilmu perencanaan dan pengembangan wilayah, kebijakan otonomi daerah memiliki semangat untuk membangun keberimbangan pembangunan antar wilayah atau desa-kota. Keberimbangan pembangunan yang dimaksudkan adalah dengan adanya pemekaran wilayah, maka alokasi sumberdaya (alam, manusia, sosial dan buatan) akan terdistribusi secara merata sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa tujuan luhur pemekaran wilayah seringkali mengalami kesalahan pemaknaan, sehingga tujuan mensejahterakan masyarakat mengalami kemandekan, bahkan cenderung gagal total. Hal ini sebagaimana dijelaskan, Juanda (2008) bahwa tujuan pembentukan daerah otonom baru adalah untuk mensejahterakan masyarakat melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan publik. Namun pemekaran juga seringkali menimbulkan berbagai permasalahan karena kurang memperhatikan aspek-aspek penting lainnya, seperti aspek sosial, ekonomi, keuangan dan kemampuan bertahan dalam perkembangannnya, sehingga menyebabkan kontra-produktif terhadap otonomi daerah. Pada hakikatnya, pemekaran wilayah harus mengedepankan aspek-aspek normatif yang telah dirumuskan, baik dalam undang-undang itu sendiri maupun peraturan pemerintah tentang syarat-syarat pemekaran wilayah. Namun hal penting yang tidak dapat diabaikan dalam mendorong pemekaran wilayah adalah aspirasi masyarakat menjadi sebuah keharusan untuk turut serta dipertimbangkan sehingga protes dan atau resistensi penolakan warga pasca pemekaran atau penggabungan wilayah yang seringkali menghiasi daerah-daerag pemekaran dapat dihindarkan. Sebab, fakta menunujukkan berbagai protes dan penolakan yang dilakukan oleh warga masyarakat atas ide pemekaran maupun penggabungan wilayah diberbagai daerah akibat dari proses pemekaran wilayah didominasi oleh elite atau kelompok-kelompok tertentu tanpa melibatkan peran serta atau keterlibatan masyarakat secara aktif. Fenomena pemekaran dan penggabungan wilayah yang mengakibatkan penolakan warga masyarakat akibat dari pengabaian aspiarasi masyarakat terjadi di Provinsi Maluku Utara. Kasus ini terjadi pada masyarakat enam desa sengketa yang diperebutkan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara pada saat ini. Penolakan warga masyarakat enam desa atas gagasan pemekaran dan penggabungan wilayah lebih disebabkan aspirasi masyarakat enam desa yang sejak awal menolak untuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut dipaksakan oleh pemerintah untuk tetap menjadi bagian dari Kecamatan Malifut yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999. Penolakan ini juga didasari oleh berbagai alasan, diantaranya adalah kedekatan emosional, historis dan identitas wilayah. Dimana wilayah enam desa, sebelum keluar PP Nomor 42 Tahun 1999 merupakan bagian wilayah administratif Kecamatan Jailolo, sehingga dari sisi kedekatan emosional dan historis, masyarakat di wilayah enam desa menganggap bahwa daerah ini (baca: enam desa) dibesarkan oleh jailolo sehingga harus tetap menjadi bagian dari Kecamatan Jailolo yang selanjutnya adalah bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Barat. Sebagaimana dijelaskana sebelumnya, bahwa tujuan pembentukan daerah otonom baru adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunanan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi baik antara pemerintah pusat dan daerah, maupun sesame pemerintah daerah. Namun, harus jujur dikatakan bahwa gagasan luhur pemekaran wilayah sebagaimana diatas, terkadang tercoreng oleh adanya arogansi pemerintah daerah. Hal tersebut, dapat terlihat pada berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pemekaran wilayah, se-misal konflik batas wilayah, penguasaan sumberdaya alam antar sesama pemerintah daerah yang banyak belum terselesaikan. Kelambanan ini dikarenakan lemahnya pengambilan keputusan pada level elite lokal (baca: Gubernur) yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, juga dikarenakan proses penyelesaian berbagai permasalahan ini lebih dominan menggunakan pendekatan politik, sehingga terdapat pihak yang dikorbankan. Pada aras ini rakyatlah yang kemudian menjadi korban dari ketidak-bijaknya para elite-elite kekuasaan di daerah. Menurut PP nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah, tujuan pemekaran adalah memaksimalkan pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendemokratisasi masyarakat, efisiensi pemerintahan dan dukungan pembangunan potensi ekonomi rakyat. Namun dalam implementasinya, berbagai tujuan mulia tersebut belum tercapai secara maksimal. Hal mana dapat dilihat pada evaluasi penyelenggaraan pemerintahaan di daerah-daerah yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri akhir tahun 2005, yang menjelaskan bahwa, penyelenggaraan pemerintahan daerah-daerah pemekaran belum menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum pemekaran (Laporan Depdagri, 2006; Dikutip Malia 2009). Kenyataan tersebut selain disebabkan oleh beberapa kendala tekhnis administrasi dan fasilitas pendukung pelayanan yang belum memadai, juga terbatasnya komitmen pimpinan daerah untuk menciptakan sistem dan pelaksanaan pelayanan publik yang transparan, accountable, dan professional. Sebenarnya banyak aspek yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan pemekaran wilayah, namun sepertinya motivasi kalkulasi secara politik yang seringkali menjadi alasan dominan. Bahkan tak jarang persetujuan terhadap adanya pemekaran wilayah diberikan untuk meredam konflik. Hal lainnya adalah otonomi seringkali menjadi suatu komoditas yang bisa diperdagangkan untuk memberikan kekuasaan pada daerah tertentu. Meskipun tidak semua kasus, namun pada beberapa kasus pemekaran wilayah, memang benar menjadi tuntutan masyarakat akan perlunya otonomi daerah, tetapi tetap saja, pada faktanya kaum elite di daerah yang diuntungkan. Dan implikasi lanjutannya adalah masyarakat tidak pernah menjadi sejahtera serta perkembangan ekonomi wilayahpun menjadi tersendat-sendat (Sayori, 2009)
Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Hidayat, Taufik; K. Pandjaitan, Nurmala; Hadi Dharmawan, Arya
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 4 No. 1 (2010): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (88.442 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v4i1.5855

Abstract

Introduksi pertanian modern berbasis sains pada wilayah lahan rawa pasang surut menciptakan kontestasi antara sains dengan pengetahuan lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perkembangan pertanian modern serta proses kontenstasi antara sains dengan pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus di lahan rawa pasang surut tipe A, B, C dan D. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan pertanian modern di lahan rawa pasang surut tidak terlepas dari proses hegemoni melalui institusi pemerintah. Proses kontestasi di lahan rawa pasang surut menghasilkan bentuk koeksistensi, dominasi, serta hibridisasi antara sains dengan pengetahuan lokal petani. Dominasi sains atas pengetahuan lokal diwujudkan dalam bentuk program-program peningkatan produksi dan produktivitas padi sebagai bagian dari program nasional peningkatan peroduksi pangan. Koeksistensi antara kedua entitas pengetahuan ini lebih disebabkan adanya keterbatasan pertanian modern secara teknis untuk diaplikasikan terutama di lahan rawa pasang surut tipe A. Hibridisasi antara sains dan pengetahuan lokal menunjukkan bahwa kedua entitas pengetahuan ini dapat saling mengisi kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki.
Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tengah Kepentingan Donor Assadi, Husain; Hadi Dharmawan, Arya; Adiwibowo, Soeryo
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 2 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.177 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v3i2.5864

Abstract

The top-down development approach has failed to bring Indonesia in meeting prosperity. Alternatively, a critical approach as offered by Non Governmental Organization (NGO) becomes much more attractive to be adopted. However such approach encounters problematics since each NGO carries its own interest, ideology, and its dependency on donor agencies, normally diametrically collide with another NGO’s ideology, its interest as well as donor-supported interest. This study is to answer the question how deep have donors infleunced to the ideology, interest, and financial independency of local NGOs. The study use qualitative method as approach. The financial arrangement network, action, interest, motives and NGOs’ ideologies are the main focus of this study. Two NGOs are observed, namely Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) and Lembaga Pertanian Sehat (LPS). This study revealed that LKTS and LPS were quite dependent in the financial aspect. LKTS was also dependent in formulating action, while LPS was independent. Some factors affecting the independence of NGOs are: (1) degree of militancy of NGOs’ ideology, (2) financial strength, (3) NGOs’ level of achievements. In the development perspective, NGOs are not necessarily reflecting type of social movement organization which are always strongly based on bottom-up ideology. 
Co-Authors . Nuva ., Kasmiati ., Widhianthini A.A. Ketut Agung Cahyawan W Abdul Malik Abdulkadir Sunito, Melani Ade Mirza Roslinawati Adriana, Galuh Affandi, M.Joko Afqari, Muhammad Rifky Agustina M Purnomo Agustini, Syofia Akhmad Fauzi Akhmad Fauzi Alfiasari Ali Yansyah Abdurrahim Amanda, Jessica Vanelia Anton Supriyadi Arif Satria Aryani, Dhea Putri Asep Sapei Astri Astri Lestari Astriani Sudaryanti, Diyane Aulia Farida Aziz Hasyim Baba Barus Bambang Juan Bambang Pramudya - Bayu Eka Yulian Beta Dwi Utami Borni Kurniawan, Kharis Fadlan Budi Prasetyo, Lilik Budiarto, Tri Budiyanti, Indah D.S. Priyarsono Danang Pramudita Danang Pramudita, Danang Dedy Irawan Desty Ristianingsih Diah Irma Ayuningtyas, Diah Didik Suharjito Didin S. Damanhuri Dinintya Chairunnisa Dodik Ridho Nurrochmat Dominicus Savio Priyarsono Drajat Martianto Dudung Darusman Dudung Darusman Dwi Idawati Dyah Ita Mardianingsih Dyah Ita Mardiyaningsih Dyah Ita Mardiyaningsih, Dyah Ita Eka Intan Kumala Putri Ekawati Sri Wahyuni Elisabet Repelita Kuswijayanti Elisabet Repelita Kuswijayanti Endriatmo Soetarto Erliza Noor Ernan Rustiadi Euis Sunarti Faris Rahmadian Fatimah Azzahra Fatimah Azzahra Fredian Tonny Nasdian Hadi Alikodra - Hana Indriana Hapsari, Tsabita Alefia Harahap, Tinur Fitri Ayu Hartoyo Hartoyo Henry Silka Innah Henry Silka Innah Hermawan, FX Hermin Fatimah Hermin Fatimah, Hermin Heru Purwandari Hidayah, Nursantri Hilda Nurul Hidayati Husain Assadi I Made Sudiana Ina Marina Indah Budiyanti Indri Febriani Iqbal Abdul Muqsith Iqbal Rahmat Gani Isang Gonarsyah Ivanovich Agusta Iwan Nurhadi Jamilah, Joharotul K. Panjaitan,, Nurmala Kartodihardjo, Hariadi Kharis Fadlan Borni Kurniawan La Ode Alwi Lala M Kolopaking Lalu Ardhian Mustapa Liantiame, Liantiame LILIK BUDIPRASETYO Lina Marlina M. Joko Affandi M. Parulian Hutagaol Maksum, Mohammad Martua Sihaloho Mochammad Maksum MT Felix Sitorus Muh Kamim, Anggalih Bayu Muhammad Firdaus Muhammad Reza Halomoan Muhammad Rifky Afqari Nastiti Siswi Indrasti Novia Fridayanti Nudya Wiyata Nur Isiyana Wianti Nuraini W Nurjihadi, Muhammad Nurmala Katrina Pandjaitan P. Setia Lenggono Pacheco, Pablo Paulina P. Tulak Pitaloka Maharani Kusuma Ningtyas Pitri Yandri Purboningtyas, Titis Pury Putri Ekasari Putri, Rachmi Wildan Aghnia Meutia Rai Sita Raihani Alfiatush Arrasyiida Ramdhan Aziz Al Batistuta Reinhardt Nielsen, Martin Rilus Kinseng Rimarty Anggun Widiatri Rin r Rina Mardiana Risky Novan Ngutra Riyanto Riyanto Rizka Amalia Robert M.Z Lawang Rousilita Suhendah S Damanhuri, Didin S. Damanhuri, Didin Saharuddin Said Rusli Sakut Lorista Sardjo, Sulastri Satyawan Sunito Satyawan Sunito Siti Halimatusadiah Sitti Halumiah Sjafri Mangkuprawira Soehartini S Soeryo Adiwibowo Sri Setiawati - Suryadi Suryadi Suryadi Suryadi Syofia Agustini Tampubolon, Arisandy Fernando Taufik Hidayat Thita Moralitha Mayza Tia Oktaviani Sumarna Aulia Tinur Fitri Ayu Harahap Tirta Anugerah Titik Sumarti Titik Sumarti Tommi Tommi Tommi Tommi, Tommi Tommi, Tommi Tyas Widyastini Undang Fadjar W Widiyanto Wahyuni, Ekawati Wati, Elva Winda Gustika Yeti Lis Purnamadewi Yetti Lis Purnamadewi Yosia Ginting Yoyoh Indaryanti Yudhistira Saraswati Yuliana, Dhina Yusticia Andi Astuti Zairin, Dhea Dasa Cendekia Zulfa Nur Auliatun Nissa Zuzy Anna