Dokter memiliki tujuan mulia dalam menjalankan profesinya, termasuk memperbaiki penampilan pasien melalui perawatan wajah. Namun, tidak jarang terjadi kegagalan tindakan medis yang mengakibatkan kecacatan bahkan kematian, yang dapat dikategorikan sebagai malpraktik medis. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sanksi hukum terhadap dokter yang melakukan malpraktik serta menelaah pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Nomor 1441/Pid.Sus/2019/PN.Mks. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Data diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim memutus terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, meskipun terdapat penyuntikan filler tanpa informed consent, tanpa kompetensi yang sah, dan tidak sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) kedokteran. Pertimbangan hakim cenderung fokus pada pembuktian formil tanpa memperhatikan akibat luka berat pada korban. Hal ini menunjukkan kurangnya perlindungan hukum terhadap pasien dan lemahnya penegakan keadilan dalam kasus malpraktik. Penulis menyarankan agar aparat penegak hukum memahami aspek teknis medis secara lebih mendalam dan tenaga medis selalu mematuhi Kode Etik Kedokteran dalam menjalankan profesinya.