Articles
Keatraktifan Galeri Seni di Kawasan Cagar Budaya Surabaya
Rizvanda Ryan Savero;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 1, No 1 (2012): Jurnal Sains dan Seni ITS (ISSN 2301-928X)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (687.094 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v1i1.1330
Galeri seni yang ada di Surabaya saat ini merupakan sebuah tempat yang digunakan untuk memamerkan karya-karya seni. Sayangnya, desain dari galeri yang ada cenderung kurang memperhatikan desain eksterior bangunan serta kualitas ruang yang dapat mendukung aktivitas dalam galeri itu sendiri. Padahal galeri seni juga harus bisa membuat pengunjung dapat menikmati dan merasakan keindahan karya seni, tidak hanya sekedar melihat karya didalamnya saja. Desain eksterior yang menarik dan kualitas desain ruang dalam yang baiklah yang dapat membuat pengunjung merasakan atmosfer galeri seni. Terlebih kesan atraktif dan tampil beda dalam desain galeri ini sehingga dapat menimbulkan daya tarik yang kuat terhadap penikmat dan pengunjung galeri. Galeri ini bertujuan sebagai tempat interaksi yang edukatif dan rekreatif agar dapat meningkatkan minat pengunjung dalam mengapresiasi seni.
Fungsional Versus Estetika: Inkubasi dalam Rancangan TPA
Yusuf Ariyanto;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 1, No 1 (2012): Jurnal Sains dan Seni ITS (ISSN 2301-928X)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (2538.359 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v1i1.1335
Pertentangan fungsionalitas dan estetika sebuah bangunan TPA berasal dari penanganan sampah menjadi satu hal yang sangat perlu diperhatikan dalam pengelolaan kota, dengan kata lain sampah adalah bagian dari kota. Terkait hal tersebut, maka TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah) memiliki peran aktif dalam mengatasinya, demikian dengan keberadaan lokasi TPA Benowo yang terletak dikawasan SSC (Surabaya Sport Center). Permasalahan yang timbul dari pertentangan antara fungsionalitas dan estetika dalam rancangan ini adalah bagaimana korelasi rancangan tempat pembuangan dengan tempat kunjungan edukasi dan kawasan ikon Surabaya dengan nilai estetika area SSC yang menurun akibat dari adanya kawasan pembuangan sampah tersebut. Perancangan ini memiliki tujuan dapat melahirkan gagasan untuk mewujudkan TPA (Tempat Pengolahan Sampah Akhir) Benowo tidak hanya sebagai tempat penampungan dan pengolahan sampah sebagai unsur fungsional, tetapi merupakan obyek rancang yang menampilkan keindahan rupa bangunan dengan detail utilitas dari unsur fungsionalitas tersebut serta menjadi bagian dari kawasan ikon Surabaya yaitu SSC. Ekspresi arsitektur yang menampakkan sisi fungsional bangunan, yaitu elemen utilitas bangunan dan elemen struktur sebagai unsur estetika.
Meng-‘abadi’-kan Arsitektur dalam Rancangan Gedung Konser Musik Klasik Surabaya
Fanny Florencia Cussoy;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 1, No 1 (2012): Jurnal Sains dan Seni ITS (ISSN 2301-928X)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1083.732 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v1i1.1337
Abadi dapat didefinisikan sebagai keadaan yang tak lekang oleh waktu dan tidak berubah. Keadaan yang tidak terpengaruh oleh waktu tersebut berusaha direpresentasikan dalam rancangan Gedung Konser Musik Klasik Surabaya melalui berbagai aspek arsitektural, sehingga objek rancang dapat hadir sebagai sesuatu yang ’abadi’. Konteks lingkungan yang berada di area cagar budaya menjadi tantangan tersendiri dalam proses merancang, terutama dalam hal menghilangkan keterikatan objek terhadap waktu pada sebuah area yang sangat terikat terhadap zaman perkembangannya. Area cagar budaya memiliki keterikatan yang sangat jelas terhadap waktu, terutama berkaitan dengan aspek kesejarahannya, sehingga untuk menghadirkan objek yang ’abadi’, perancang harus mempertimbangkan setiap keputusan desain agar tetap menghormati konteks lingkungan di mana ia berada dan di saat yang sama tetap merepresentasikan keabadian yang menjadi tema rancangan.
Struktur Arsitektur dalam Objek Rancang Pusat Komunitas Berperilaku Hijau Surabaya
Faranita Dwi Hapsari;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (881.147 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v2i2.3410
Struktur merupakan unsur yang sangat penting dan harus diperhatikan dalam merancang sebuah arsitektur. Dengan struktur sebuah bangunan dapat dinilai kekohonnya. Struktur bukanlah sebuah pelengkap perancangan, namunseharusnya juga menjadi konsep utama dalam mewujudkan sebuah bentukan / wujud arsitektur. Struktur juga bisa menjadi unsur estetika sebuah bangunan. Pada Objek Pusat Komunitas Berperilaku Hijau Surabaya pengaplikasian struktur menjadi hal pokok dalam perancangan bangunan. Struktur yang digunakan pada objek rancang tidak hanya menjadi sebuah bagian demi menunjang kekokohan bangunan, namun juga menjadi unsur pembentuk estetika bangunan. Sistem struktur ruangmembantu tiap level bangunan untuk mengatasi permasalahan strukturnya sendiri, dibantu dengan kordan kolom untuk menopangnya. Hal itu demi mewujudkan konsep bangunan melayang pada objek rancang.
Penerapan Prinsip Adaptasi pada Desain Bangunan Ekowisata di Lahan Konservasi Mangrove Wonorejo
Rizky Rachmadanti;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1576.362 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v2i2.3438
Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan. Oleh karena itu, keberadaan ekowisata mangrove di kawasan konservasi harusnya bisa menjadi wadah yang menyediakan informasi yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, pelestarian, konservasi, dan penelitian mengenai ekosistem mangrove yang memanfaatkan mangrove menjadi daerah wisata alami tanpa melakukan gangguan signifikan terhadap keberadaan mangrove itu sendiri. Adaptasi merupakan cara organisme beradaptasi terhadap lingkungannya dengan mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti suhu, cahaya, panas, sehingga mudah merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya. Dengan mengangkat tema adaptatif, bunglon dianalogikan sebagai hewan yang memiliki sifat adaptatif, prinsip adaptatif pada bunglon inilah yang akan diterapkan dalam perancangan ekowisata mangrove. Dengan prinsip adaptatif bangunan ekowisata mangrove wonorejo bisa menjadi contoh bangunan ekowisata diatas lahan konservasi yang dapat menjalankan fungsinya tanpa harus banyak merusak ekosistem itu sendiri karena sifatnya yang mampu beradaptasi baik terhadap lingkungan, ekosistem, maupun perubahan kondisi alam.
Keselarasan Ruang Luar dan Ruang dalam pada Perancangan Pusat Budaya Bali
Sofian Deo Ananto;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (997.637 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v2i2.3586
Arsitektur tradisional Bali mengenal tipologi bangunan bale yang berupa naungan dan keberadaan natah yang berupa ruang terbuka sebagai pusat orientasi dalam arsitektur tradisional Bali. Kedua elemen arsitektur ini menghasilkan kesan ambigu antara ruang dalam dan ruang luar di dalam rumah tradisional Bali. Dua elemen arsitektur ini juga menjadi ciri khas arsitektur Bali. Dalam perancangan arsitektur Bali yang mengkini maka diperlukan eksplorasi yang lebih dalam tentang hal-hal yang menjadi ciri khas arsitektur Bali diantaranya adalah keberadaan natah dan bale yang menghasilkan ambiguitas ruang luar dan dalam. Kenangan pengalaman ruang di dalam arsitektur tradisional Bali dapat dihadirkan kembali di dalam arsitektur Bali kontemporer dengan menggali kembali kebudayaan yang berkembang dengan tetap berakar pada kebudayaan tradisional Bali. Natah dan Bale di dalam arsitektur tradisional Bali dapat diinterpretasikan dalam bentuk yang berbeda tetapi dengan pengalaman ruang yang hampir sama. Diharapkan dengan proses merancang yang mengadopsi pengalaman ruang arsitektur tradisional Bali ini akan dihasilkan arsitektur yang dapat memberi suasana selaras antara ruang luar dan ruang dalam bangunan sama seperti pengalaman ruang yang dirasakan pada arsitektur tradisional Bali.
Penjelajahan Ruang dalam Space Frame Raksasa
Emiria Krisanda;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (2525.49 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v3i2.6523
Space frame merupakan aplikasi dari sistem struktur rangka batang, dimana rangka batang merupakan struktur yang rigid dalam menerima gaya eksternal. Pada umumnya, space frame hanya digunakan sebagai rangka atap atau pengaku bentang lebar. Dalam obyek rancang ini, space frame diaplikasikan sebagai struktur utama bangunan hotel berkategori middle rise building dengan ketinggian 9 lantai. Kekhasan dari obyek rancang ini adalah ruang-ruang yang terbentuk di antara batang space frame dipertegas menjadi sebuah ruangan tertutup yang fungsional, sehingga space frame menjadi berukuran raksasa karena terdapat standar aktivitas di dalamnya. Hal ini berdampak pada impresi dan pengalaman yang dirasakan oleh pengamat
Resiliensi: Narasi melalui Ruang
Tiara Kartika Rini;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (476.361 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v3i2.6524
Kelahiran dan kematian merupakan peristiwa alami yang dialami setiap makhluk hidup. Setiap adat dan keyakinan memiliki caranya sendiri dalam melaksanakan penghormatan terakhir kepada yang meninggal. Salah satunya upacara pembakaran mayat atau kremasi. Perubahan sosial dan budaya di masyarakat modern dengan pemikiran praktis orang modernis akan makin menipisnya lahan untuk pemakaman sampai kesulitan dalam membayar uang kavling pemakaman yang berdampak pada penggusuran melatarbelakangi pembangunan krematorium dewasa ini. Akan tetapi, tidak banyak perancang yang memahami peran krematorium tidak hanya untuk mewadahi sebuah kegiatan, lebih dari itu krematorium memliki peran yang kuat terhadap psikologis seseorang. Tidak sedikit kasus syok maupun trauma yang terjadi pada fasilitas umum ini. Pemilihan tema resiliensi diambil dari kamus psikologi, mengangkat bahwa sebenarnya arsitektur dapat berbicara lebih daripada kehadiran sebuah bangunan. Melalui tema ini, perancang bertujuan untuk membangkitkan psikologi pengunjung yang dituangkan ke dalam alur perjalanan seseorang ketika melaksanakan upacara kremasi
Arsitektur Nokturnal: Menghadirkan Ruang Gelap dalam Terang
Theodorus Mulyanandrio Wicaksono;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (475.273 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v3i2.6740
Permasalahan intensitas cahaya lingkungan pada stasiun pengamatan antariksa menjadi isu yang sering dijumpai pada fasilitas penelitian ini. Penataan tata ruang yang tidak baik, semakin mendukung permasalahan tersebut. Selain itu, kebiasaan peneliti yang bekerja secara aktif di malam hari dan beristirahat di siang hari (nokturnal), menjadi satu pokok masalah yang unik untuk diangkat dalam penyelesaian desain. Terhadap permasalahan tersebut pendekatan tematik dengan metode metafora dipilih untuk menjawab permasalahan tersebut. Hasilnya ialah konsep desain yang kontradiktif dengan menghadirkan ruang gelap dalam terang. Konsep ini diwujudkan dengan pemanfaatan teknologi yang dapat mengatur kuantitas cahaya.
Superimposisi Tiga Pemaknaan Ruang Sebagai Pemicu Interaksi pada Ruang Publik
Arabela Grania Chaniago;
I Gusti Ngurah Antaryama
Jurnal Sains dan Seni ITS Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), ITS
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (990.729 KB)
|
DOI: 10.12962/j23373520.v5i2.17861
Arsitektur pada hakikatnya selalu hadir karena adanya kebutuhan manusia yang lekat oleh fungsi waktu. Dengan demikian merupakan suatu hal yang umum jika ketika arsitektur tersebut tidak lagi berfungsi sesuai dengan kebutuhan pada zaman nya, arsitektur akan menghilang, digantikan dan membusuk seiring berjalanya waktu. Munculah pertanyaan besar manusia akan persepsi dari makna arsitektur bagi pengguna nya, selayaknya waktu, mungkinkah arsitektur abadi?. Untuk mencapai kualitas tersebut, Arsitektur sebagai variabel tempat hendaknya memberikan kesempatan pada user untuk berinterpretasi dan memberikan persepsi baru terhadap fungsi dan pengalaman arsitektur dalam suatu konteks. Pendekatan desain production of space oleh Henri Levebfre yang diarahkan kepada metoda desain superimposisi, menumpukkan ketiga layer dari pemahaman atau pemaknaan ruang oleh manusia [conceived, perceived, lived] akan mempengaruhi konsep desain sehingga ruang yang di produksi secara tiga dimensional dapat memicu interaksi