Claim Missing Document
Check
Articles

GAMBARAN INVOLUSI UTERUS KAMBING KACANG (Capra sp.) BERDASARKAN PENGAMATAN DENGAN ULTRASONOGRAFI TRANSKUTANEUS Ginta Riady; Tongku Nizwan Siregar; Juli Melia; Hamdan H; Reni Ayunanda
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 9, No 1 (2015): March
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (310.402 KB) | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v9i1.2780

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran involusi uterus kambing kacang berdasarkan pengamatan dengan ultrasonografi (USG) transkutaneus. Hewan yang digunakan adalah 1 ekor kambing kacang betina pascapartus dengan status melahirkan normal dan melahirkan satu ekor anak. Kambing diperiksa dalam posisi berbaring (lateral recumbency). Pengamatan involusi uterus dilakukan setiap hari, dimulai dari hari pertama pascapartus sampai tidak ada lagi pengurangan diameter lumen kornua uterus. Pada hari pertama sampai hari ke-7, gambaran karunkula (hypoechoic), lokia (anechoic), lapisan miometrium, dan endometrium (hypoechoic) yang dipisahkan oleh lapisan pembuluh darah (anechoic) terlihat jelas dengan diameter lumen kornua uterus menurun dari 87,6 menjadi 52,8 mm. Pada hari ke-8 diameter lumen 45,4 mm menurun menjadi 38,4 mm pada hari ke-14. Lokia dan lapisan miometrium masih terlihat sedangkan lapisan pembuluh darah dan karunkula sudah tidak terlihat. Pada hari ke-15 diameter lumen 35,5 mm menurun menjadi 19,3 mm pada hari ke-20 dengan lapisan uterus, lokia, lapisan pembuluh darah, dan karunkula sudah tidak terlihat. Ukuran diameter lumen kornua uterus mengalami penurunan setiap hari dan berhenti mengalami penurunan pada hari ke-20 dengan diameter 19,3 mm. Penelitian ini memperlihatkan bahwa proses involusi uterus kambing dapat diamati dengan metode USG transkutaneus.
The Administration of Epididymis Extract Increased the Testosterone Concentration without Affects the Dihydrotestosterone Concentration in Local Male Goat Nanda Yuliansyah; Muslim Akmal; Tongku Nizwan Siregar; Sri Wahyuni; Mahdi Abrar; Syafruddin Syafruddin; Gholib Gholib; Farida Athaillah
The International Journal of Tropical Veterinary and Biomedical Research Vol 2, No 2 (2017): Vol. 2 (2) November 2017
Publisher : The Faculty of Veterinary Medicine of Syiah Kuala University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (281.671 KB) | DOI: 10.21157/ijtvbr.v2i2.9469

Abstract

This study was aimed to determine the effect of epididymis extract (EE) on the testosterone and dihydrotestosterone (DHT) level of local male goat. An experimental study was performed using a completely randomized design (CRD) pattern of one-way analysis of variance (ANOVA). 15 local male goats aged 1.5 years with body weight 14-16 kg were used in this study. The K0 group as a control group, injected with only 1 ml physiological saline, while each KP1, KP2, KP3, and KP4 groups treated with multilevel EE dose, ie 1, 2, 3, and 4 ml / goat for 13 consecutive days. At the end of treatment (day 14th), testes, epididymis (caput, corpus, and cauda) and ductus deferens samples were taken through the close-castration method for examining the testosterone and DHT concentration by using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) technique. Data gathered were later analyzed using ANOVA followed by Tukey’s HSD in SPSS 16.0 for Windows. The result showed that the average concentration of testosterone on K0, KP1, KP2, KP3, and KP 4 in testis respectively were 10.00±2.64 ng/ml; 7.66±2.51 ng/ml; 10.00±6.55 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 11.66±7.37 ng/ml; caput epididymis; 5.00±1.73 ng/ml; 2.33±1.52 ng/ml; 5.00±2.64 ng/ml; 1.33±0.57 ng/ml; 5.66±1.15 ng/ml; corpus epididymis; 1.33±0.57 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 4.00±2.64 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 4.33±2.30 ng/ml; cauda epididymis: 1.00±0.00 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 1.66±0.57 ng/ml; 1.00 ± 0.00 ng/ml; 2.00±1.73 ng/ml; ductus deferens: 3.66±2.51 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 3.00±1.00 ng/ml; 1.00±0.00 ng/ml and 3.66±1.15 ng/ml. While the average concentration of DHT on K0, KP1, KP2, KP3, and KP 4 in testis respectively; 10.00±2.64 ng/ml; 7.66±2.51 ng/ml; 10.00±6.55 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 11.66±7.37 ng/ml; caput epididymis; 5.00±1.73 ng/ml; 2.33±1.52 ng/ml; 5.00±2.64 ng/ml; 1.33±0.57 ng/ml; 5.66±1.15 ng/ml; corpus epididymis; 1.33±0.57 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 4.00±2.64 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 4.33±2.30 ng/ml; cauda epididymis: 1.00±0.00 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 1.66±0.57 ng/ml; 1.00 ± 0.00 ng/ml; 2.00±1.73 ng/ml; ductus deferens: 3.66±2.51 ng/ml; 0.66±0.57 ng/ml; 3.00±1.00 ng/ml; 1.00±0.00 ng/ml and 3.66±1.15 ng/ml. Statistical analysis showed that the administration of EE only increased testosterone concentration in testes had significant effect (P 0.05). From this study, it can be concluded that the EE has the potential to improve spermatogenesis and sperm quality through increasing the testosterone concentration in the local male goats.
6. Administration of Centella Leaf Extract (Centella asiatica (L.) Urban) for Decreasing cAMP Responsive Element Modulator (CREM) Expression in Testicular Seminiferous Tubule of Male Rats (Rattus norvegicus) Susi Darmayanti; Sri Wahyuni; Muslim Akmal; Tongku Nizwan Siregar; Sugito Sugito
The International Journal of Tropical Veterinary and Biomedical Research Vol 1, No 2 (2016): Vol. 1 (2) November 2016
Publisher : The Faculty of Veterinary Medicine of Syiah Kuala University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (186.092 KB) | DOI: 10.21157/ijtvbr.v1i2.6689

Abstract

The objective of this study was to determine the effect of centella leaf extract administration on decreased of the molecule cAMP responsive element modulator (CREM) expression in the testicular seminiferous tubules of male rats (Rattus norvegicus). Eight rats, aged 3.5 months with 150-250 grams of body weight (BW) were used in this study. All rats were divided randomly into four groups as if K0 as a control group whereas K1, K2, and K3 were given the centella leaf extract with doses 125, 250, and 500 mg / kg body weight respectivelly that given once daily for 30 days. At the end of the treatment, rats were sacrificed and their testes were collected and subsequently fixed in buffered neutral formalin (BNF) 10% as fixative solution for histological preparation. The CREMs expressions were detected using immunohistochemical methods. The results showed that the number of CREM expression in the seminiferous tubules significantly differ (P 0.05) between K0 and the treatment group (K1, K2, and K3). Conclusion, the administration of centella leaf extract with of the dose 125, 250, and 500 mg/kg BW can decreased CREM expression spermatids of testicular seminiferous tubules in male rat.
Respons Ovarium Kelinci Lokal Bunting Semu yang diinduksi dengan Kopulasi Tiruan Syafruddin Syafruddin; Bagus Setyawan; Mulyadi Adam; Roslizawaty Roslizawaty; Tongku Nizwan Siregar
Al-Kauniyah: Jurnal Biologi Vol 16, No 1 (2023): AL-KAUNIYAH JURNAL BIOLOGI
Publisher : Department of Biology, Faculty of Science and Technology, Syarif Hidayatullah State Islami

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/kauniyah.v16i1.21834

Abstract

Kelinci bunting semu diperlukan untuk kegiatan yang berkaitan dengan mekanisme endokrinologi, terapi, dan transplantasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui keberhasilan induksi bunting semu dengan metode kopulasi tiruan pada kelinci lokal. Penelitian ini mwnggunakan sembilan ekor kelinci betina lokal dan satu ekor kelinci jantan lokal, berumur 1–1,5 tahun, dan bobot badan 1,8–2,2 kg yang dibagi  dalam tiga kelompok perlakuan (n= 3), yakni, kelompok kelinci yang diinjeksi dengan 0,1 mL NaCl fisiologis dan tanpa perkawinan (K1, kontrol negatif), kelinci yang mendapat induksi dengan kopulasi tiruan (K2), dan kelinci yang mendapatkan injeksi 100 IU PMSG secara intramuskuluar dan dikawinkan dengan pejantan tiga hari kemudian dan diikuti dengan injeksi 75 IU hCG secara intravena (K3, kontrol positif). Hasil penelitian diamati jumlah dan ukuran folikel serta korpus luteum dengan pemeriksaan histologis menggunakan pewarnaan HE. Jumlah folikel pada kelompok K1; K2; dan K3 masing-masing adalah 5,9 ± 1,45; 0,63 ± 0,35; dan 2,06 ± 1,50 (P <0,05). Pada kelompok K1, tidak terdapat kelinci yang ovulasi. Namun, pada kelompok K2 dan K3 seluruh kelinci berhasil ovulasi. Pada kelompok K2 dan K3 yang berhasil ovulasi, terdapat perbedaan yang signifikan (P <0,05), yaitu jumlah korpus luteum pada K2 (4,83 ± 2,65) dan pada K3 (7,63 ± 0,57), sedangkan ukuran korpus luteum pada K2 adalah 0,68 ± 0,20 dan pada K3 adalah 1,38 ± 0,16 mm. Disimpulkan bahwa kopulasi tiruan dapat menginduksi bunting semu pada kelinci lokal.AbstractPseudo-pregnant rabbits are required for activities related to endocrinology, therapy, and transplantation mechanisms. This study aims to determine the success of pseudopregnancy induction with artificial copulation methods in local rabbits. In this study, 9 local female rabbits and 1 local male rabbit aged 1–1.5 years-old and 1.8–2.2 kg body weight were used, which were divided into three treatment groups (n= 3). The rabbit in group K1 (negative control) were injected with 0.1 mL of physiological NaCl and were not mated. The rabbits in K2 were induced with artificial copulation by inserting a cotton bud of 1 cm into vagina at five o'clock in the morning, while the rabbits in K3 (positive control) received injection of 100 IU PMSG intramuscularly and mated with males three days post injection and then followed by injection of 75 IU hCG intravenously. The number and size of follicles and corpus luteum were determined by histological examination with HE staining. The number of follicles in the K1 group; K2; and K3 were 5.9 ± 1.45; 0.63 ± 0.35; and 2.06 ± 1.50, respectively (P <0.05). There was no ovulation observed at rabbit in K1 but all rabbits ovulated successfully in K2 and K3. The number of CL (4.83 ± 2.65 and 7.63 ± 0.57) and the size of CL (0.68 ± 0.20 and 1.38 ± 0.16 mm) were significantly difference (P <0.05) in groups K2 and K3, respectively. It was concluded that artificial copulation could induce pseudopregnancy in local rabbits.
LEVEL STEROID SAPI ACEH YANG DIINDUKSI DENGAN PREGNANT MARE’S SERUM GONADOTROPIN (PMSG) DAN FOLLICLE STIMULATING HORMONE (FSH) Amiruddin A; Tongku Nizwan Siregar; Teuku Armansyah; Hamdan H; Aris munandar; Muhammad Rifki
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 7, No 2 (2013): September
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v7i2.923

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh induksi superovulasi dengan pregnant mare’s serum gonadothropin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH) terhadap peningkatan level steroid sapi aceh. Penelitian ini menggunakan 6 ekor sapi aceh betina dengan status tidak bunting, minimal 2 bulan pasca partus, sudah pernah beranak, dan sehat secara klinis. Sapi dibagi atas dua kelompok, masing-masing 3 ekor untuk tiap kelompok. Pada kelompok I, sapi diinjeksi dengan 1.500 IU PMSG pada hari ke-9 yang diikuti dengan penyuntikan 5 ml prostaglandin pada hari ke-11. Pada kelompok II, hari ke-9 sampai hari ke-12, sapi diinjeksi dengan FSH dua kali sehari (pagi dan sore, 08.00 dan 16.00 WIB) menggunakan dosis bertingkat yakni 3-3, 2-2, 1-1, dan 0,5-0,5 ml. Pada hari ke-11 sapi diinjeksi dengan 2,5 ml prostaglandin (pagi dan sore, 08.00 dan 16.00 WIB). Koleksi darah untuk pemeriksaan estrogen dilakukan ketika sapi memperlihatkan gejala berahi (saat inseminasi) setelah pemberian PMSG dan FSH yang diikuti dengan pemberian prostaglandin (berahi sesudah superovulasi) sedangkan koleksi darah untuk pemeriksaan konsentrasi progesteron dilakukan pada hari ke-7 setelah inseminasi. Pengukuran konsentrasi estrogen dan progesteron dilakukan dengan metode enzymelinkedimmunosorbanassay (ELISA). Konsentrasi estrogen pada saat estrus setelah induksi superovulasi dengan PMSG dan FSH masing-masing adalah 89,46±2,46 dan 54,62+9,91 pg/ml sedangkan konsentrasi progesteron pada hari ke-7 setelah inseminasi masing-masing adalah 14,78±2,33 dan 17,40±5,8 ng/ml. Hormon PMSG mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam meningkatkan konsentrasi estrogen pada saat berahi tetapi hormon FSH mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan hormon PMSG dalam meningkatkan konsentrasi progesteron hari ke-7 setelah inseminasi.
THE IMPROVEMENT OF SEMEN QUALITY AND TESTOSTERONE LEVEL OF BALI CATTLE AFTER PROSTAGLANDIN F2α ADMINISTRATION Eka Meutia Sari; Satria Tanjung; Dewi Ratna Sari; Muslim Akmal; Tongku Nizwan Siregar; Cut Nila Thasmi
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 13, No 4 (2019): December
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v13i4.14821

Abstract

This study aimed to determine the effect of prostaglandin F2α (PGF2α) administration on improving semen quality and testosterone levels on Bali cattle. This study used 3 Bali cattle aged 2, 3.5, and 5 years old. The sample used in this study was Bali cattle semen. In this study, the Latin Square Design was used with three different treatments were administered over three time periods. The treatments performed were P1 (5 mL physiological NaCl), P2 (25 mg prostaglandin), and P3 (37.5 mg prostaglandin) while treatment period was three weeks of treatment administration, which were 1st. 2nd, and 3rd week. Blood collected through coccygea vein 30 minutes after treatment to measure testosterone levels using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) technique. Statistical analysis showed that PGF2α administration at a dose of 25 mg and PGF2α at a dose of 37.5 mg had no effect (P0.05) on volume, color, pH, consistency, concentration, and motility of Bali cattle spermatozoa. The volume of semen obtained from P1; P2; and P3 were 6.5±0.9; 6.3±0.6; and 6.2±1.2 mL, respectively. The color of the semen in P1, P2, and P3 were beige and milky white. The pH in groups P1; P2; and P3 were 6.7±0.6; 7.1±0.2; and 6.5±0.2, respectively. Spermatozoa concentration in P1; P2; and P3 were 1,328±96.43 x 106 cells/mL; 1,354±102.19 x 106 cells/mL; and 1,353.3±88.55 x 106 cells/mL, respectively. Spermatozoa motility in P1; P2; and P3 were 73.3±2.8%; 71.6±2.8%; and 73.3±2.8%, respectively. Testosterone levels in P1 and P3 were 5.05±0.22 and 6.74±1.38 ng/mL, respectively (P0.05). Based on the results of this study, it was concluded that the administration of PGF2α does not affect semen quality but can increase the level of testosterone on Bali cattle.
PERSENTASE BERAHI DAN KEBUNTINGAN KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE) SETELAH PEMBERIAN BEBERAPA HORMON PROSTAGLANDIN KOMERSIAL Hafizuddin Hafizuddin; Wenny Novita Sari; Tongku Nizwan Siregar; Hamdan Hamdan
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 5, No 2 (2011): September
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v5i2.366

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan efektivitas pemberian hormon prostaglandin komersial yang berbeda terhadap persentase berahi dan kebuntingan kambing peranakan ettawa. Kambing betina yang digunakan mempunyai kriteria umur 2,5-3,5 tahun, sehat, tidak bunting, minimal 2 bulan pasca partus, sudah pernah beranak, dan mempunyai bobot badan yang relatif sama. Di samping itu digunakan 2 ekor kambing jantan untuk membantu deteksi berahi. Hewan percobaan dibagi atas 3 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor kambing. Kelompok perlakuan I diinjeksi dengan 2,5 ml Lutalyse (dinoprost tromethamine 5 mg/ml dan benzil alkohol 1,65%), kelompok perlakuan II diinjeksi dengan 0,5 ml Prostavet (etiproston 5 mg/2 ml dan ethylen dioxy 15 mg/2 ml), dan kelompok perlakuan III diinjeksi dengan 1,5 ml Capriglandin (dinoprost tromethamine 5,5 mg/ml dan benzil alkohol 12,0 mg/ml). Penyuntikan dilakukan 2 kali secara intramuskuler dengan interval 10 hari setelah penyuntikan pertama. Kambing-kambing yang memperlihatkan gejala berahi dikawinkan secara inseminasi buatan. Diagnosis kebuntingan dilakukan dengan menggunakan USG 30 hari setelah inseminasi. Data onset berahi dianalisis menggunakan analisis varian, sedangkan persentase berahi dan kebuntingan dianalisis secara deskriptif. Onset berahi ketiga kelompok perlakuan masing-masing adalah 40,8±0,57 36,0±0,57 dan 50,4±1,52 jam (P0,05). Persentase berahi pada ketiga kelompok adalah sama yakni 100%, sedangkan persentase kebuntingan pada kelompok I, II, dan III masing-masing adalah 100, 80, dan 60%. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa onset dan persentase berahi tidak dipengaruhi oleh ketiga prostaglandin komersial yang berbeda tetapi berpengaruh terhadap persentase kebuntingan kambing PE.
PROFIL HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON PADA SIKLUS BERAHI KAMBING LOKAL (Estrogen and Progesterone Profile in Aceh Local Goat Estrous Cycle ) Tongku Nizwan Siregar
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 3, No 2 (2009): September
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v3i2.3827

Abstract

The aim of this research was to find out the normal estrogen and progesterone profile in local goat estrous cycle.  Five female Aceh local goats which the criteria clinically in good condition, have been giving birth before, 1.5-3.0 years old, and showed minimal twice regularly estrous cycle. All samples were synchronized with 0.5 ml cloprostenol (Estrone, Bioveta) using randomly infection pattern. The data obtained were analyzed descriptively. Blood serum was collected for examination of estrogen and progesterone content on 0, 7, 14, and 21 day of estrous cycle (day 0 of estrous cycle). Hormone analysis was conducted using ELISA. The results showed that estrogen and progesterone profile on day 0, 7, 14, and 21 were 62.21; 28.61; 29.84; 79.89 pg/ml and 0.0; 8.6; 14.7; 0.0 ng/ml respectively.Keywords: estrogen, progesterone, estrous cycle, Aceh local goats
PERBANDINGAN INTENSITAS BERAHI SAPI ACEH YANG DISINKRONISASI DENGAN PROSTAGLANDIN F2 ALFA DAN BERAHI ALAMI Hafizuddin Hafizuddin; Tongku Nizwan Siregar; Muslim Akmal; Juli Melia; Husnur rizal; Teuku Armansyah
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 6, No 2 (2012): September
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v6i2.296

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan intensitas berahi sapi aceh antara yang disinkronisasi berahi dengan prostaglandin F2 alfa (PGF2α) dan berahi alami. Dalam penelitian ini digunakan 20 ekor sapi aceh betina yang dibagi atas dua kelompok. Kriteria sapi yang digunakan adalah umur 5-8 tahun, mempunyai bobot badan 150-250 kg, dan mempunyai minimal dua siklus reguler. Sapi yang digunakan mempunyai skor kondisi tubuh dengan kriteria baik, yaitu 3 atau 4 pada skala skor 5. Pada Kelompok I (KI) sapi disinkronisasi berahi mengunakan PGF2α sebanyak 5 mg/ml secara intramuskular. Pada kelompok II (KII) sapi dibiarkan memperlihatkan gejala berahi alami. Penilaian intensitas berahi dilakukan dengan memberi skor 1, 2, dan 3, berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Kune dan Solihati (2007). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan intensitas berahi sapi aceh baik yang disinkronisasi berahi dengan PGF2α dan sapi yang mengalami berahi alami dengan skor intensitas berahi masing-masing adalah 2,40±0,84 dan 2,70±0,48.
DETECTION OF SERUM MACRO MINERALS CONCENTRATION IN REPEAT BREEDING ACEH CATTLE Cut Nila Thasmi; Husnurrizal Husnurrizal; Muslim Akmal; Sri Wahyuni; Tongku Nizwan Siregar
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 14, No 2 (2020): June
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v14i2.16543

Abstract

The purpose of this study was to determine the macro minerals concentration in serum of repeat breeding (RB) Aceh cattle. In this study 16 Aceh cattle were examined; they consisted of 7 fertile Aceh cattle (P1) and 9 Aceh cattle with RB (P2), all of which were 3-8 years old with abody condition score (BCS) of 3-4. Serum collection was carried out for examining the level of serum minerals, including magnesium, phosphorus, sodium, potassium, chloride, and calcium. Data was analysed using T-test. The levels of magnesium, phosphorus, sodium,potassium, chloride, and calcium in P1 vs P2 were 2.18±0.60 vs. 2.20±0.34 mg/dL; 6.18±1.34 vs. 6.48±0.74 mg/dL; 142.71±5.09 vs.142.44±2.29 mmol/L; 4.81±0.76 vs. 4.76±0.51 mmol/L; 104.57±4.35 vs. 107.67±7.36 mmol/L; and 9.07±0.45 vs. 9.90 ± 0.60 mg/dL (P0.05), respectively. It was concluded that the concentration of serum macro minerals do not affect the incidence of RB in Aceh cattle.
Co-Authors Abbas, Muhammadar Abdullah Abdul Harris Adhea Prestiya Ahsan, Muhammad Maulana Aisyah Fadillah Tunnisa Al Azhar Al-Azhar - Amalia Sutriana Amiruddin - Amiruddin A Amiruddin A Andre Afriadi Rahman Anwar Anwar Anwar Anwar Arie Febretrisiana Aris munandar Arman Sayuti Arman Sayuti Arman Sayuti Aulanni'am, Aulanni'am Azhari A Azhari Azhari Bagus Setyawan Basuki B. Purnomo Budianto Panjaitan Budianto Panjaitan Budianto Panjaitan Budianto Panjaitan Budianto Panjaitan Citra Chyntia Helwana Cut Dahlia Iskandar Cut Nila Thasmi Cut Nila Thasmi Cut Nila Thasmi Daffa Gustia Putra Akbar Daisy Wowor, Daisy Dasrul Dasrul Dasrul Dasrul Delli Lefiana Dewi Ratna Sari Dian Masyitah Dian Nurcahaya Dwinna Aliza Dwinna Aliza Dwinna Aliza Eka Meutia Sari Eka Meutia Sari Elfi Satria Suryani Erdiansyah Rahmi Erdiansyah Rahmi Fadli A. Gani Farida Athaillah Fuza Khoiriah Gholib Gholib Ginta Riady Ginta Riady Hafizuddin Hafizuddin Hafizuddin Hafizuddin Hafizuddin Hafizuddin Hafizuddin Hafizuddin Hafnati Rahmatan Hamdan . Hamdan h Hamdan H Hamdan Hamdan Hamdan Hamdan Hamdan Hamdan Hamny Sofyan Hasanuddin Hasanuddin Hermawaty Tarigan Herrialfian . Herrialfian Herrialfian Husnur rizal Husnurrizal Husnurrizal . Husnurrizal Husnurrizal Husnurrizal Husnurrizal Husnurrizal, Husnurrizal Idawati Nasution Iin Agustina Indah Kesuma Siregar Ira Khubairoh Marpaung Jalaluddi J Jalaluddin - Joharsyah J Juli Melia KARTINI ERIANI Ketut Adnyane Mudite Khairil Khairil Lilis Suryani M. Aris Widodo Mahdi Abrar Mahdi Abrar Mauridatun Ramli Mefrianti Efendi Muhammad Adlim Muhammad Fathan Rizky Athallah Muhammad Hambal Muhammad Hambal Muhammad Jalaluddin Muhammad Rifki Mulkan Mulkan Mulyadi Adam Mulyadi Adam Mulyadi Adam Mulyadi Adam Mulyadi M Muslim Akmal Muslim Akmal Muslim Akmal Muslim Akmal Nanda Yulian Syah Nazaruddin Nazaruddin Nellita Meutia Novi Afriani Nur Afriani Nur Novika Ayuni Rambe Nuzul Asmilia Putra, Dedi Fazriansyah R Roslizawaty Rahmandi r Raihatul Jannah Rasmaidar . Rasmaidar Rasmaidar Razali Daud Razali Daud Razali Razali Reni Ayunanda Riani Desky Rinidar R Roslizawaty R Roslizawaty Roslizawaty Roslizawaty Roslizawaty Rusli Sulaiman S Syafrudddin S Syafruddin Saifan Nur Satria Tanjung Siti Rizki Hardyana Siregar Sri Wahyuni Sri Wahyuni Sri Wahyuni Sri Wahyuni Sri Wahyuni Sri Wahyuni Srihadi Agungpriyono Sugito Sugito Sugito Sugito Suriadi S Susi Darmayanti Sutiman B. Sumitro Syafruddin - Syafruddin S Syafruddin S Syafruddin Syafruddin Syafruddin Syafruddin Syafruddin Syafruddin Syafruddin Syafruddin T. Armansyah T. Armansyah Teuku Armansyah Teuku Armansyah Tria Deviana Putri Wahyuni, Sri Wenny Novita Sari Wida Puspita Arum Yezi Gita Rahayu Yusmadi Yusmadi YUSRA YUSRA Zainuddin Z ZK Abdurahman Baizal Zuhrawati Zuhrawati Zulkifli Z Zuraidawati -