Tulisan ini menganalisis Putusan Nomor 460/K/AG/2019 dari perspektif nalar profetik dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum oleh nazhir perseorangan yang menelantarkan tanah wakaf. Putusan Mahkamah Agung tersebut dilatarbelakangi oleh gugatan penggantian nazhir perseorangan yakni YK dan DD yang diajukan oleh SA (nazhir badan hukum) dan KRA (ahli waris wakif). Dengan dasar pertimbangan surat pernyataan wakif tanggal 23 Mei 2013 tentang penggantian nazhir perseorangan menjadi nazhir badan hukum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis filosofis dengan pendekatan deskriptif analitis untuk menguraikan pertimbangan hukum Mahkamah Agung dan konsep keadilan transendental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan Mahkamah Agung telah memenuhi prinsip-prinsip penalaran profetik. Selain itu, majelis hakim mempertimbangkan keabsahan formal penggantian nazhir perseorangan menjadi nazhir berbadan hukum dan prinsip-prinsip keadilan wakaf yang mengharuskan penggunaan tanah wakaf untuk pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial keagamaan. Prinsip-prinsip ini terkait dengan aspek ‘nilai’ dan ‘norma’. Mahkamah Agung memutuskan bahwa seorang nazhir perorangan telah bertindak secara ilegal karena aset wakaf tersebut telah disalahgunakan selama kurang lebih 28 tahun. Selain itu, nazhir perorangan juga dianggap lalai dan gagal memanfaatkan harta benda wakaf untuk tujuan yang diinginkan oleh wakif. Akibatnya, wakaf mengalami kerugian yang signifikan karena hilangnya potensi manfaat dari harta benda wakaf tersebut. Selain itu, keputusan Pengadilan Tinggi Agama Samarinda mengenai penggantian nazhir perseorangan menjadi nazhir berbadan hukum dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena tidak mengikuti prosedur yang benar. Keputusan tersebut didasarkan pada kontekstualisasi dari aspek sosio-religius, sosio-filosofis, dan sosio-kultural.