AbstractThis article aims to investigate the hegemonic strategy of the authoritarian regime of New Order in doing cultural violence by exploiting the discourse of Virtue in the world of puppetry. The materials observed were from Cempala magazine published by the Indonesian Puppetry Association (PEPADI) from 1996 to 1999. The focus of the study were metaphors which were used in the articles in forms of puppetry narratives and idioms. The data obtained were compared with Wijaya Herlambang’s reading of literary works and films in Post-1965 Cultural Violence, and Pierre Bourdieu’s thoughts on symbolic violence. The results show that cultural violence has been done by the New Order by using the discourse of Virtue in the puppetry tradition through the standardization of puppetry styles. Cultural violence has been done by an extension of the authority of the puppetry organization through producing narratives as efforts to legitimize power.AbstrakTulisan ini bertujuan melacak strategi hegemoni rezim otoriter Orde Baru dalam melakukan kekerasan budaya melalui eksploitasi wacana keadiluhungan dalam dunia seni pedalangan. Bahan pengamatan adalah majalah Cempala yang diterbitkan oleh Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Pusat dari tahun 1996 – 1999. Setiap edisi majalah dibaca berdasarkan cara pandang kajian budaya, berfokus pada metafor yang digunakan berupa narasi dan idiom wayang. Data yang diperoleh kemudian disandingkan dengan pembacaan Wijaya Herlambang atas karya sastra dan film dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965, dan pemikiran Pierre Bourdieu mengenai kekerasan simbolik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kekerasan budaya dilakukan Orde Baru dengan menggunakan wacana keadiluhungan dalam tradisi seni pedalangan melalui standarisasi gagrag pedalangan. Kekerasan budaya dilakukan oleh kepanjangan otoritas organisasi pedalangan dengan memproduksi narasi sebagai upaya melegitimasi kekuasaan.