Perkawinan bukanlah semata-mata merupakan media bagi kepentingan dua orang mempelai, melainkan keluarga mereka juga mempunyai peran yang sangat penting. Unsur kerelaan perempuan atas calon suaminya sudah dianggap cukup sebagai bahan pertimbangan bagi kepentingan perkawinannya. Oleh karena itu, Tidak semua wali nikah diberikan hak ijbar karena kesempurnaan kasih sayang mereka berbeda-beda, sehingga hak ijbar dikhususkan terhadap wali yang paling sempurna kasih sayang yaitu ayah dan kakek.Fokus dalam penelitian ini adalah, bagaimana konsep hak ijbar wali nikah menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah dan, bagaimana hak ijbar wali nikah dalam tinjauan sadd al-dzari’ah. Berdasarkan fokus penelitian maka, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui konsep hak ijbar wali nikah menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah dan untuk mengetahui hak ijbar wali nikah dalam tinjauan sadd al-dzari’ah menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah.Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hak ijbar di sini merupakan hak seorang wali baik itu ayah ataupun kakek untuk mengawinkan anaknya tanpa menunggu kerelaan yang dikawinkan itu. Ada dua pendapat mengenai hak ijbar wali nikah ini yaitu, pertama; menurut ulama Hanafiyah hak wali ijbar adalah perwalian yang bersifat memaksa ditunjukkan kepada wanita yang masih kecil, baik wanita tersebut gadis ataupun janda, dan begitu juga wanita yang telah dewasa namun ia tidak cakap hukum seperti kurang akal, kedua; menurut mazhab Syafi’iyah hak wali ijbar adalah wali (bapak atau kakek ketika tidak ada bapak), yang berhak menikahkan anak gadisnya meskipun tanpa persetujuannya, baik gadis tersebut sudah baligh atau belum baligh.Kata Kunci: Hak Ijbar, Wali Nikah, Sadd Al-Dzari’ah