Articles
Jenis Dan Struktur Tropik Level Ikan Di Danau Tempe Kabupaten Soppeng Propinsi Sulawesi Selatan
Umar, Nur Asia;
Hatta, Muhammad
Jurnal Ilmiah Ecosystem Vol. 21 No. 3 (2021): ECOSYSTEM Vol. 21 No 3, September - Desember Tahun 2021
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Bosowa
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35965/eco.v21i3.1315
Penelitian berjudul Jenis dan Struktur Trofik Level Ikan di Danau Tempe Kabupaten Soppeng Propinsi Sulawesi Selatan yang dilakukan selama 4 bulan penelitian (Februari, maret, April dan Juni) tahun 2017, bertujuan untuk mengetahui transfer energy di perairan Danau tempe berjalan sesuai dengan sistem jejaring makanan dan manfaat penelitian ini untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan diperairan Danau Tempe. Hasil penelitian menujukkan bahwa struktur trifik level Beberapa ikan yang tertangkap di perairan Danau Tempe adalah minimum 2 dan maksimum berfarisasi menurut jenis ikan dan waktu pengamatan. Disimpulkan bahwa sumberdaya alam diperairan danau tempe berupa fitoplankton dan zooplankton sebagai produser primer dan consumer primer masih mendukung untuk tingkatan trofik diatasnya yaitu ikan South Sulawesi, which was conducted for 4 months of research (February, March, April and June) in 2017, aims to determine the transfer of energy in the waters of Lake Tempe runs according to the food network system and the benefits of this research for optimal and sustainable management and utilization of fish resources. in the waters of Lake Tempe. The results showed that the trific level structure of some fish caught in the waters of Lake Tempe was a minimum of 2 and a maximum of varying according to the type of fish and the time of observation. It was concluded that the natural resources in the waters of Lake Tempe in the form of phytoplankton and zooplankton as primary producers and primary consumers still support the higher trophic levels, namely fish.
Bedah mayat (autopsi) ditinjau dari perspekif hukum positif Indonesia dan hukum Islam
muhammad hatta;
Zulfan Zulfan;
Srimulyani Srimulyani
Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol 19, No 1 (2019)
Publisher : State Institute of Islamic Studies (IAIN) Salatiga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.18326/ijtihad.v19i1.27-52
Dalam hukum positif Indonesia, autopsi forensik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Ketiga undang-undang tersebut membenarkan melakukan tindakan autopsi dengan tujuan untuk menegakkan keamanan, dan keadilan bagi masyarakat. Hasil pemeriksaan autopsi forensik akan tertuang dalam sebuah laporan tertulis dalam bentuk visum e repertum dapat digunkan sebaga alat bukti di pengadilan. Dalam hukum islam, autopsi forensik dilarang karena dapat merusak mayat dan melanggar kehormatan mayat. Namun, ada beberapa ulama membenarkan autopsi forensik dengan alasan untuk mewujudkan kemaslahatan ummat (mashalih mursalah) baik di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Autopsi Jenazah menyebutkan bahwa pada dasarnya autopsi dilarang atau haram, namun dalam keadaan Darurat atau mendesak maka diperbolehkan. In Indonesia positive law, a autopsy is regulated in the Criminal Code, Law No. 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure Code and Law Number 36 of 2009 concerning Health. The three laws justify carrying out autopsy actions with the aim of enforcing security, and justice for the community. The results of a forensic autopsy examination will be contained in a written report in the form of a post mortem report that can be used as evidence in court. In Islamic law, forensic autopsies are prohibited because they could damage a corpse and violate the honor of a corpse. However, there are some scholars who justify the forensic autopsy on the grounds of realizing the benefit of the ummah (mashalih mursalah) in the fields of security, justice and health. Based on the Fatwa of the Indonesian Ulema Council Number 6 of 2009 concerning the Body Autopsy states that basically autopsies are prohibited or haram, but in an emergency or urgent condition it is permissible.
The Position of Expert Witnesses in Medical Malpractice Cases in Indonesia
Muhammad Hatta
Al-Ahkam Volume 28, Nomor 1, April 2018
Publisher : Faculty of Sharia and Law, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (260.048 KB)
|
DOI: 10.21580/ahkam.2018.18.1.2306
Medical malpractice is one of the most difficult professional errors to prove. In solving medical malpractice cases, law enforcement is always assisted by doctors by connecting experts to reveal the truth with their expertise. The position of doctors as experts is very important and strategic. However, it is not easy for a doctor who wants to become a expert witness because the relationship of the suspect is a colleague. If the doctor want to be an expert witness then his testimony in court is not objective or impressed protect his colleagues. This study suggests that in the completion of medical malpractice cases in court can apply the system of proof by changing the proof to the doctor. In addition, this study also suggests to resolve medical malpractice cases that can be solved through the way of mediation before pursuing litigation settlement. In the aspect of Islamic law, the position of expert witness (ra`yu al-khābir) is very important to explain or interpret a case that is vague and difficult to prove. However, an evidentiary system unable to prove the medical malpractice case then Islamic law can justify by using other methods that can bring benefit in general.[]Malpraktik medik adalah salah satu kesalahan professional yang sangat sulit dibuktikan. Dalam menyelesaikan kasus malpraktik medik, penegak hukum selalu dibantu oleh dokter sebagai saksi ahli untuk mengukapkan kebenaran sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Kedudukan dokter sebagai saksiahli sangat penting dan strategis. Namun, tidak mudah mendapatkan dokter yang mau menjadi saksi ahli terhadap tersangka karena saksi ahli dengan tersangka adalah teman sejawat. Apabila dokter mau menjadi saksi ahli maka kesaksiannya di pengadilan dinilai tidak objektif atau terkesan melindungi teman sejawatnya. Penelitian ini menyarankan supaya dalam penyelesaian kasus malpraktik medik di pengadilan dapat menerapkan sistem pembuktian terbalik dengan memindahkan beban pembuktian kepada dokter. Selain itu, penelitian ini juga menyarankan supaya penyelesaian kasus malpraktik medik dapat diselesaikan melalui jalur mediasi sebelum menempuh penyelesaian secara litigasi. Dalam aspek hukum islam, kedudukan saksi ahli (ra`yu al-khābir) sangat penting untuk menerangkan atau menafsirkan suatu perkara yang kabur dan sulit dibuktikan. Namun, apabila sistem pembuktian dengan menggunakan saksi ahli tidak mampu membuktikan perkara malpraktik medik maka hukum islam dapat membenarkan menggunakan metode lain yang dinilai dapat mendatangkan maslahat secara umum.
Saksi Mahkota dalam pembuktian pidana kasus Narkotika
Muhammad Syahputra;
Muhammad Hatta;
Zulfan Z
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 4, No 2 (2021): April
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.29103/jimfh.v4i2.4075
A crown witness is a witness who comes or is taken from one of the suspects or other defendants who jointly committed a criminal act, and in which case the witness is given a crown. The crown given to a witness with the status of a defendant is in the form of negating the prosecution of his case or the imposition of a very light charge if the case is submitted to court or is forgiven for wrongdoing. The formulation of the problem in this research is the strength of the testimony of the crown witness in proving narcotics trafficking and the existence of human rights if he is placed as the crown witness in proving the narcotics trafficking. This type of research is an empirical juridical research, namely an integrative and conceptual method of analysis to identify, process and analyze documents to understand the meaning, significance, and relevance that produces descriptive data in the form of written or spoken words from the people or observed behavior. . The results showed that the testimony of the crown witness was considered strong and as strong as the testimony of other witnesses because he was also under oath. The strength of the testimony of the crown witness in proving the narcotics trade in his position as the crown witness has not been regulated separately in the existing law. Crown witness itself is a term that can be interpreted as a defendant who has the status of being a witness in the case of another defendant who has both committed a criminal act, namely in the event that the case files are separated (splitsing) on the separation of the case files during examination based on Article 141 of the Criminal Procedure Code. Human rights are very much considered in the judicial process when the crown witnesses give information such as the absence of intervention that makes the crown witnesses depressed. The existence of human rights when placed as a crown witness in proving narcotics trafficking, where the crown witness is presented before the court because of the splitsing mechanism regulated in Article 142 of the Criminal Procedure Code (KUHAP). By splitting the case files into several stand-alone cases, between one defendant and another defendant, each of them can be used as a mutual witness. Meanwhile, if they are combined in one file and in a trial examination, they cannot be used as mutual witnesses between one another. It is recommended to the Government, especially the legislators, that if indeed this crown witness is an important tool to reveal a legal act, then it should make legislation that specifically regulates the existence of Crown Witness.
Tindak Pidana Malpraktek Profesi medis
Jemmy Saifandi;
Sumiadi S;
Muhammad Hatta
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 4, No 1 (2021): Januari
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.29103/jimfh.v4i1.4264
Tindak pidana malpraktek profesi medis dalam kehidupan masyarakat saat ini merupakan suatu tindakan profesi medis yang bertentangan dengan standar operasional prosedur (SOP), Undang-Undang, dan kode etik yang berlaku, baik disengaja maupun kelalaian yang mengakibatkan kondisi pasien semakin memburuk, atau bahkan kematian. Pemerintah telah berupaya dalam mengatasi kasus tindak pidana malpraktek profesi medis, Negara bertanggungjawab mengatur dan melindungi hak atas kesehatan masyarakat secara optimal yang diwujudkan dengan cara diciptakannya Peraturan Perundang-Undangan terkait malpraktek profesi medis, dengan pertanggungjawaban hukum terhadap tindak pidana malpraktek profesi medis tersebut. Akan tetapi Meskipun telah terdapat beberapa Peraturan Perundang-Undangan yang terkait tindak pidana malpraktek profesi medis akan tetapi jumlah malpraktek profesi medis masih terus terjadi. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yang merupakan penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian ini bersifat deskriptif. Bentuk penelitian ini adalah analisis dilakukan guna memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai keadaan atau fakta yang ada. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan terkait malpraktek profesi medis telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Pertanggungjawaban terhadap tindak pidana malpraktek profesi medis harus dapat dibuktikan dengan adanya kesalahan. Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diatur apabila profesi medis terbukti melakukan kelalaian atau kesalahan profesi medis. Maka pertanggungjawaban hukum malpraktek profesi medis terbagi tiga yaitu, pertanggungjawaban administrasi, pertanggungjawaban perdata, dan pertanggungjawaban pidana. Saran dalam penelitian ini, Terkait malpraktek profesi medis diharapkan pemerintah lebih mempertajam juga memperberat sanksi pidana terutama pidana penjara/badan dan pidana denda serta pidana administrasi bagi pelaku tindak pidana malpraktek medis agar menimbulkan efek jera. Kata Kunci: Tindak Pidana, Malpraktek, Profesi Medis
Pemenuhan Hak Kesehatan Terhadap Narapidana Pengidap COVID-19 (Corona Virus Desease) (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gutsa Kota Medan)
Fadillah Manza Pane;
Muhammad Hatta;
Dedy Syahputra
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 4, No 3 (2021): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.29103/jimfh.v4i3.5750
Hak atas kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia, kondisi kesehatan yang baik sangat berpengaruh terhadap meningkatnya produktifitas narapidana, narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana. Di lapas tanjung gusta pihak pengurus belum menjalankan program kesehatan sehingga terdapat narapidana yang mengidap Covid-19. Tujuan penelitian ini yaitu, untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk-bentuk hak narapidana yang mengidap COVID-19 di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Kota Medan. Untuk mengetahui dan menjelaskan hambatan dalam pemenuhan hak kesehatan terhadap narapidana yang mengidap penyakit COVID-19 di lembaga pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Kota Medan. Untuk mengetahui dan menjelaskan Solusi dalam pemenuhan hak kesehatan terhadap narapidana yang mengidap penyakit COVID-19 di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Kota Medan. Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis empiris. Adapun sumber data penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian lapangan. Lokasi penelitian ini yaitu di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Kota Medan. Hasil penelitian dari penulisan ini menunjukkan bahwa: 1) Bentuk-bentuk hak narapidana yang mengidap covid-19 di lembaga pemasyarakatan kelas I tanjung gusta kota medan yaitu: melakukan test kesehatan, lacak dan isolasi mandiri, berhak melakukan rujukan ke unit pelayanan teknis pemasyarakatan yang di rujuk sebagai pelaksanaan isolasi mandiri, berhak mendapatkan penanganan ke rumah sakit rujukan dan berhak melakukan koordinasi kasus kematian jika di temukan kasus kematian covid-19. 2) Hambatan dalam pemenuhan hak kesehatan terhadap narapidana yang mengidap virus covid-19 di lembaga pemasyaraktan kelas I tanjung gusta kota medana yaitu: faktor kapasitas di lembaga pemasyrakatan, faktor biaya operasional, faktor personil dan tenaga kesehatan dan faktor sarana dan prasarana. 3) Solusi dalam pemenuhan hak kesehatan terhadap narapidana yang mengidap virus covid-19 di lembaga pemasyarakatan tanjung gusta kota medan yaitu: Pemerintah segera menambahkan jumlah personil tenaga kesehatan di Lembaga Pemasyaraktan kelas I Tanjung Gusta Kota medan. Kata Kunci: Hak kesehatan, Narapidana, Covid-19, Lembaga pemasyarakatan.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP LARANGAN PENGGUNAAN PUKAT HARIMAU (TRAWL)
Siska Ananda;
Sumiadi s;
Muhammad Hatta
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 2, No 2 (2019): April
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.29103/jimfh.v2i2.4049
Pukat harimau merupakan alat penangkap ikan yang menggunakan jaring-jaring, penggunaan pukat harimau ini merupakan tindakan yang dilarang oleh pemerintah. Dampak buruk penggunaan pukat harimau akan menyebabkan kerusakan sumber daya alam seperti rusaknya terumbu karang, mengancam kepunahan ikan di laut serta merugikan nelayan tradisional. Meskipun larangan penggunaan pukat harimau telah dilarang, namun para nelayan hingga saat ini masih menggunakan pukat harimau dalam menangkap ikan di laut, para nelayan sering mengabaikan peraturan hukum yang ada di Indonesia ini, padahal telah disebutkan dalam pasal 85 jo pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan bahwa menangkap ikan dengan menggunakan pukat harimau merupakan perbuatan tindak pidana. Penelitian ini akan membahas pokok masalah bagaimanakah penegakan hukum terhadap larangan penggunaan pukat harimau, bagaimanakah hambatan dalam penegakan hukum terhadap larangan penggunaan pukat harimau, dan bagaimanakah upaya dalam penegakan hukum terhadap larangan penggunaan pukat harimau, khususnya larangan penggunaan pukat harimau yang terjadi di perairan Gampong Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis sosiologis. Data diperoleh melalui kegiatan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Analisis dilakukan dengan cara deskriptif (descriptif analysis). Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap larangan penggunaan pukat harimau yang terjadi di wilayah perairan Kota Lhokseumawe dilakukan secara represif yaitu hanya melakukan penyidikan dan belum pernah diselesaikan sampai ke pengadilan. Sedangakan secara preventif dilakukan dengan melakukan patroli dan pembinaan. Hambatan yang dihadapi petugas Polair yaitu diakibatkan karena kurangnya kerjasama antar pihak yang berwenang dalam mencegah dan memberantas penggunaan pukat harimau serta kurangnya partisipasi dari masyarakat setempat. Upaya yang dilakukan oleh petugas Polair agar masyarakat tidak menggunakan pukat harimau dalam menangkap ikan di laut yaitu dengan melakukan pengawasan lebih baik dan petugas berusaha menjalin hubungan baik dengan masyarakat di wilayah perairan Gampong Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Diharapkan agar penegak hukum bekerjasama dengan masyarakat pesisir pantai serta berkoordinasi dengan baik dengan pihak-pihak terkait. Selain itu, pemerintah harus segera merealisasikan pemberian jaring pukat yang ramah lingkungan sebagai pengganti pukat harimau agar tindak pidana penggunaan pukat harimau dapat dicegah dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
THE BENEFITS OF COMMUNICATION IN HEALTH SERVICES IN INDONESIA: A LEGAL STUDY
Muhammad Hatta;
Tengku Noor Azira Tengku Zainudin;
Ramalinggam Rajamanickam;
Yati Nurhayati
International Journal of Law, Environment, and Natural Resources Vol. 1 No. 2 (2021): October Issue
Publisher : Scholar Center
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (249.993 KB)
|
DOI: 10.51749/injurlens.v1i2.13
In the principle of informed consent, doctors were obliged to establish communication with patients before carrying out medical treatments. Information from the doctor became a guideline or consideration for patients in making a choice (freedom to choose) and gave approval to the doctor to carry out medical action to them. The obligation of doctors to effectively communicate has been regulated in Article 35 and Article 45 of Law No. 29 of 2004 concerning Medical Practice and further strengthened by Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia No. 290/ Menkes/ Per/ III/ 2008 concerning Approval of Medical Measures. The effectiveness of communication in health services was an act of caution in medical treatments. Before the medical treatment was carried out, the patient should already knew about the disease, the chances of healing, the risk of medical treatment and the patients were also given alternative methods of other treatments so that the patients has information about the illness and therapy that doctors would do. If communication between patients and doctors is effective, it could prevent medical malpractice.
THE LEGAL POSITION OF CANING PUNISHMENT IN ACEH
Zulfan Zulfan;
Muhammad Hatta
International Journal of Law, Environment, and Natural Resources Vol. 1 No. 2 (2021): October Issue
Publisher : Scholar Center
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (276.736 KB)
|
DOI: 10.51749/injurlens.v1i2.14
Amongst the punishments that have been implemented in the Islamic criminal law is caning punishment. The caning punishment in Aceh is carried out directly and opens to the public. However, some Islamic countries carry out caning in private such as in prisons. In Aceh, the implementation of caning that has been carried out openly is based on Aceh Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat Law and Qanun No. 7 of 2013 concerning Jinayat Procedural Law. However, in 2015, the implementation of the caning was carried out behind closed doors like in prisons. This is in accordance with the Governor Regulation Number 5 of 2018 about the Implementation of 'Uqubat Whip’ in the Correctional Institutions. Changes in the implementation of the caning punishment led to the pros and cons among the society. Many believe that the implementation of caning in a closed manner will affect the effectiveness of the punishment in reducing the number of shari'ah violations. Although there are many factors that influence the number of crime in society, the punishment and the implementation of the punishment itself are considered as the most important factors
Criminal Act Of Travel Document Fraud Reviewed Based On Law Number 6 Year 2011 On Immigration
Teuku Putra Azis;
Muhammad Hatta;
Jumadiah
International Journal of Law, Environment, and Natural Resources Vol. 2 No. 1 (2022): April Issue
Publisher : Scholar Center
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
The crime of document fraud committed by Malaysian foreign nationals is charged with Article 126 letter c and Article 127 of Law Number 6 of 2011 concerning Immigration. The form of immigration crime committed was passport forgery so that the perpetrator was sentenced to 1 year in prison and a fine of IDR 1.000.000. However, the sentence is considered too low so that it does not provide a deterrent effect to the perpetrators of immigration crimes. Supposedly, the judge can decide on a heavier sentence based on the provisions in Article 126 letter c and Article 127 of Law Number 6 of 2011 concerning Immigration.