Komunikasi politik di Papua mencerminkan pertemuan unik antara modernisasi demokrasi dan sistem simbolik tradisional. Politik di Papua tidak hanya dipahami sebagai perebutan kekuasaan, tetapi juga sebagai media ekspresi identitas budaya dan legitimasi kolektif masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan dukungan wawancara etnografis bersama tokoh adat, tokoh agama, dan aktor politik. Analisis dilakukan melalui teori strukturasi Giddens, teori komunikasi antarbudaya Gudykunst, dan antropologi simbolik Geertz untuk memahami reproduksi makna dalam praktik kampanye politik. Temuan menunjukkan bahwa kemenangan pasangan Matius-Aryoko pada Pilgub Papua 2025 dipengaruhi oleh kemampuan mereka mengintegrasikan narasi budaya, modal kepercayaan sosial, dan simbol lokal, seperti noken dan ritual adat, ke dalam pesan politik yang persuasif. Strategi ini menjadikan kampanye sebagai performa budaya yang memperkuat kohesi sosial dan legitimasi politik. Komunikasi politik berbasis budaya di Papua berfungsi sebagai negosiasi dialogis antara kearifan lokal dan proyek demokrasi nasional. Kandidat yang mampu memadukan simbol kultural dengan etika komunal memperoleh legitimasi moral dan penerimaan publik yang lebih luas. politik berbasis budaya menjadi jalan transformatif bagi nasionalisme Papua, yang bergerak dari pinggiran menuju pusat wacana kebangsaan Indonesia. Kata Kunci: Komunikasi Politik; Legitimasi Budaya; Papua;Kearifan Lokal; Nasionalisme Transformatif