Program pemagangan merupakan salah satu inisiatif strategis yang diinisiasi oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai bagian dari upaya peningkatan kompetensi tenaga kerja. Dalam implementasinya, program ini terbagi ke dalam dua jenis, yakni Pemagangan Dalam Negeri dan Pemagangan Luar Negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta Bab III Perjanjian Pemagangan, Pasal 10 ayat (2) huruf (e) yang mengatur mengenai besaran uang saku, sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Namun, pelaksanaan program ini belum sepenuhnya terealisasi secara optimal oleh seluruh pelaku industri. Fenomena di Kabupaten Karawang menunjukkan bahwa tidak semua perusahaan menjalankan program pemagangan secara konsisten dan sesuai ketentuan. Bahkan, dalam beberapa kasus, peserta magang tidak memperoleh kompensasi uang saku yang proporsional dengan hak-haknya sebagai peserta. Kondisi tersebut memunculkan keresahan dan menjadi dasar bagi penulis untuk mengkaji lebih lanjut mengenai bagaimana posisi dan peran Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang dalam menjamin kepastian hukum terkait pemberian uang saku, dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan bagi peserta magang di sektor industri. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yakni melalui analisis terhadap teori-teori hukum, asas-asas keadilan, serta regulasi yang mengatur ketenagakerjaan. Temuan dalam studi ini menunjukkan adanya persoalan mendasar terkait absennya regulasi yang secara eksplisit mengatur angka ideal uang saku yang diberikan kepada peserta magang. Ketidakjelasan ini pada akhirnya menimbulkan ketimpangan, terutama dalam kaitannya dengan standar Upah Minimum Kabupaten Karawang, dan mencerminkan belum terpenuhinya asas kesetaraan dalam pelaksanaan program pemagangan di tingkat lokal.Adanya Perbup Karawang No. 19 tahun 2025 yang mengatur tentang Program Pemagangan di dalam Negeri juga menuai pro dan kontra karena sejatinya tidak mengikat untuk dijalankan, mengingat tidak mengatur jelas tentang sanksi apabila program pemagangan ini tidak dijalankan apalagi terkait besaran uang saku yang diatur dalam Pasal 17 huruf e yakni besaran uang saku sebesar 80% dari upah minimum Kabupaten Karawang yang justru apabila tidak dijalankan maka tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi bagi pelanggar aturan tersebut maka perlu dikaji ulang aturan perbup Karawang tersebut tentu dengan menyesuaikan adanya aturan dari pemerintah pusat mengenai pembaharuan UU terkait Ketenagakerjaan yang saat ini sedang dikaji dan akan dibuatkan naskah akademiknya. Suatu aspek yang mempengaruhi hambatan adalah masih menuai pro dan kontra di internal perusahaan antara serikat ialah dan management, dengan paradigma upah murah, dan sarana prasarana yang belum memadai selanjutnya dapat berpotensi menjadi permasalahan atau Perselisihan Hubungan Industrial.