Menyampaikan pendapat, masukan, dan teguran telah dijamin oleh Konstitusi. Selain itu, kebebasan berpendapat juga bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang sudah diratifikasi melalui peraturan perundang-undangan. Pasal 310 ayat (3) KUHP menegaskan bahwa: “tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri”. Dengan demikian, tidak semua perbuatan subyek hukum dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik sehingga tidak sepatutnya dibawa ke ranah hukum.Problematika di atas salah satunya terjadi pada perkara hukum Saiful Mahdi (selanjutnya disingkat SM), seorang akademisi di Universitas Syiah Kuala (selanjutnya disingkat Unsyiah) Banda Aceh yang divonis melalui pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Media massa banyak memberitakan dan mengulas tentang kasus ini sehingga mendapatkan perhatian publik. Besarnya atensi publik terhadap kasus ini akhirnya direspon oleh Presiden dan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).Tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis kewenangan amnesti Presiden pada delik pencemaran nama baik melalui media sosial terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1909 K/PID.SUS/2021 Juncto Nomor 104/PID/2020/PT BNA Juncto Nomor 432/Pid.Sus/2019/PN Bna dan untuk Memahami urgensi pemberian amnesti dalam kasus pencemaran nama baik melalui media sosial yang dikaitkan dengan hak kebebasan berpendapat. Tulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur ilmiah yang dijalankan dalam rangka menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum yang dilihat dari sisi normatifnya.Hasil dari penelitian ini menujukkan Kewenangan amnesti merupakan salah satu hak yudikatif Presiden sebagai suatu bentuk pembagian kekuasaan (bukan pemisahan kekuasaan). Sebelum amandemen UUD 1945, seluruh hak milik Presiden adalah kewenangan absolut dari Presiden. Namun setelah hasil amandemen UUD 1945, kewenangan Presiden tersebut harus dikonsultasikan dengan DPR. Presiden memiliki kewenangan dalam memberikan amnesti terhadap SM dalam perkara pencemaran nama baik dengan dasar pertimbangan kemanusiaan dan perlindungan terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.Pemberian amnesti oleh Presiden terhadap kasus-kasus pencemaran nama baik yang berkaitan dengan kritik terhadap jalannya roda pemerintahan sangat perlu dan mendesak di Indonesia terutama demi melindungi hakikat berdemokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi Kata Kunci : Pencemaraan nama baik,,Saiful Mahdi, Presiden dan Amnesti