Gelar "Gus" dalam lanskap sosio-kultural Indonesia secara tradisional merupakan kapital simbolik yang merepresentasikan otoritas warisan. Namun, kehadiran media sosial yang disruptif seperti TikTok telah menciptakan arena baru bagi negosiasi otoritas tersebut. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Miftah Maulana Habiburrahman (Gus Miftah) merepresentasikan dan menegosiasikan ulang otoritas tradisionalnya melalui strategi konten di TikTok, serta mengkaji dampaknya terhadap pergeseran makna otoritas keagamaan. Hasil analisis menunjukkan Gus Miftah menggunakan empat strategi utama: memanfaatkan silsilah sebagai fondasi otoritas tradisional, mengadaptasi konten dakwah ke dalam format hiburan yang sesuai dengan logika TikTok, membangun otoritas karismatik melalui interaksi yang egaliter dan merakyat, serta menggunakan dakwah kontroversial untuk meneguhkan citra inklusifnya. Fenomena ini menghasilkan model hibrida otoritas yang memadukan legitimasi tradisional, karisma personal, dan popularitas digital, serta menandai pergeseran lokus otoritas dari institusional ke personal-populer (dai-influencer). Meskipun mendorong wacana demokratisasi, fenomena ini juga membawa risiko komersialisasi dan pendangkalan makna, yang menyoroti pentingnya literasi keagamaan digital di era kontemporer.