Transformasi digital dalam Islam di Indonesia bukan hanya soal media shift, tapi cultural shift. Pola otoritas yang dulu berbasis sanad, pesantren, dan legitimasi tradisional kini dipertarungkan dalam ruang algoritma yang dikendalikan oleh likes, views, dan shares. Dakwah berubah dari proses dialogis-ritual ke bentuk performatif-visual yang menekankan estetika (editing, grafis, tone visual). Artikel ini menelaah pergeseran otoritas dakwah dari pola berbasis sanad dan institusi klasik menuju narasi personal yang ditopang oleh algoritma media sosial. Ustaz Adi Hidayat (UAH) dalam konteks ini, menampilkan model dakwah yang masih menekankan kontinuitas tradisi berupa struktur keilmuan, kedalaman teks, dan otoritas yang merujuk pada sanad, meski tetap dikemas dengan gaya visual modern. Sementara itu, Felix Siauw menggunakan strategi populis: narasi singkat, sloganistik, dan mudah dipakai ulang oleh audiens dalam bentuk meme atau quote-sharing. Perspektif yang digunakan dengan metode netnografi, observasi media visual, dan wawancara semi-struktural untuk menangkap bagaimana simbol Islam dimaknai ulang. Simbol Islam di ruang digital tidak hadir sebagai “pesan tunggal”, tetapi sebagai arena representasi, di mana audiens menegosiasikan makna: apakah melihatnya sebagai otoritas keilmuan, identitas gaya hidup, atau bahkan komoditas budaya. Artikel ini menganalisis bagaimana dakwah digital membentuk makna keagamaan melalui simbol-simbol visual yang dikonstruksi dan dinegosiasikan oleh penonton. Temuan menunjukkan bahwa media sosial bukan sekadar sarana penyebaran pesan, tetapi ruang aktif yang membentuk ulang otoritas dan makna keislaman. Literasi simbolik dibutuhkan agar kemasan dakwah tidak mengaburkan pesan spiritualnya, melainkan justru memperkuat kedalaman makna yang disampaikan. Studi ini berkontribusi pada pemahaman baru tentang bagaimana Islam direpresentasikan, dikonsumsi, dan dipertarungkan secara visual dalam budaya populer digital Indonesia.